35 Juta Orang Jadi Korban Perbudakan Modern

Diperkirakan sebanyak 35,8 juta orang laki-laki, perempuan, dan anak-anak di seluruh dunia pada saat ini terjerat sebagai korban perbudakan

oleh Gabriel Abdi Susanto diperbarui 19 Nov 2014, 11:30 WIB
Diterbitkan 19 Nov 2014, 11:30 WIB
Budak Pekerja di Inggris
Foto: Daily Mail

Liputan6.com, Jakarta Diperkirakan sebanyak 35,8 juta orang laki-laki, perempuan, dan anak-anak di seluruh dunia pada saat ini terjerat sebagai korban perbudakan modern, baik melalui perdagangan manusia, pekerja paksa, kerja ijon, kawin paksa atau perbudakan seks komersial.

Perkiraaan tersebut didasarkan pada Indeks Perbudakan Dunia (GSI) 2014, yaitu laporan penelitian tahunan yang meliputi 167 negara di dunia dan diterbitkan oleh Walk Free Foundation, organisasi hak asasi manusia dunia yang bertujuan untuk mengakhiri perbudakan modern dalam satu generasi.

Dari 35,8 juta tersebut lebih dari 23,5 juta orang di Asia menjadi korban perbudakan modern. Angka ini setara dengan hampir dua pertiga jumlah korban perbudakan di dunia. India (1,141%), Pakistan (1,130%), dan Kamboja (1,029%) memiliki tingkat prevalensi tertinggi se-Asia. Di Asia Timur pada khususnya, Kamboja diikuti oleh Mongolia (0,907%), Thailand (0,709%), dan Brunei (0,709%). Dua macan ekonomi Asia Timur, Tiongkok dan Jepang, menempati peringkat ke-19 dan 20 di kawasan Asia. Negara atau wilayah di Asia Timur dengan tingkat prevalensi perbudakan terendah di kawasan Asia adalah Hong Kong (0,187%), Singapura (0,1%), dan Taiwan (0,013%),masing-masingke-23, 24, dan 25. Hanya dua negara yang memiliki kinerja lebih baik di kawasan Asia, yaitu Australia dan Selandia Baru (ke-26 dan 27).

Dalam angka absolut, Tiongkok memiliki jumlah tertinggi korban perbudakan modern di Asia Timur, yaitu 3.241.400 orang, yang diikuti oleh Indonesia (714.100), Thailand (475.300), dan Vietnam (322.200).

Menurut laporan tersebut, di seluruh Asia, korban perbudakan baik perorangan maupun semua anggota keluarga terjadi melalui kerja paksa karena terjerat utang dalam bidang konstruksi, pertanian, pembuatan bata, pabrik dan konveksi pakaian, yang menunjukkan bahwa pekerja kasar digunakan pada tahap produksi. Banyak juga yang menjadi pekerja paksa karena pindah ke Timur Tengah.

Menanggapi temuan laporan tersebut, Andrew Forrest, Direktur Utama dan Pendiri Walk Free Foundation mengatakan, ada anggapan bahwa perbudakan adalah persoalan dari zaman yang telah silam atau akibat dari negara-negara yang hancur karena perang dan kemiskinan. Temuan ini justru menunjukkan bahwa perbudakan modern ada di setiap negara saat ini.

“Kita semua bertanggung jawab atas keadaan yang paling mengerikan tersebut karena perbudakan modern itu ada dan kesengsaraan luar biasa yang dirasakan saudara-saudara kita sesama manusia. Langkah pertama dalam menghapus perbudakan adalah dengan menelitinya. Dan dengan informasi yang sangat penting tersebut, kita semua harus bertindak bersama-sama, baik pemerintah, pengusaha, dan masyarakat madani untuk mengakhiri bentuk eksploitasi manusia yang paling parah ini,” kata Andrew, Rabu (19/11/2014).

Inovasi pada Indeks Perbudakan Dunia 2014 adalah memasukkan tindakan pemerintah yang berkaitan dengan perbudakan modern. Untuk pertama kalinya, GSI memberi telaah atas tanggap pemerintah berdasarkan lima tujuan yang perlu diupayakan oleh setiap negara untuk mencapainya guna menghapus perbudakan modern. Hal ini termasuk mengenali dan mendukung para korban, cara kerja pengadilan pidana yang tepat, koordinasi dan pertanggungjawaban pada tingkat pemerintah pusat, menangani sikap, tatanan dan kelembagaan masyarakat sehingga perbudakan modern timbul, dan rencana aksi untuk pemerintah dan perusahaan.

Dari 25 negara yang diteliti di Asia, 24 di antaranya memiliki perundang-undangan yang memidanakan bentuk-bentuk perbudakan modern. India telah melaksanakan reformasi perundang-undangan secara mendasar untuk mendukung pemidanaan terhadap perbudakan modern. Sementara itu, Mongolia dan Vietnam menerapkan undang-undang khusus antiperdagangan manusia pada tahun 2012. Korea Utara adalah satu-satunya negara di Asia maupun dunia yang belum secara gamblang menganggap bentuk-bentuk perbudakan modern sebagai tindak pidana.

“Perbudakan modern adalah kejahatan tersembunyi, tetapi disayangkan sulit untuk diukur. Tetapi, Walk Free Foundation menjadi titik terang dalam mengatasi kejahatan yang mengerikan ini dengan penelitian inovatif dan setiap tahun dengan metodologi yang bahkan semakin mantap. Kita semua berterima kasih atas komitmen Andrew Forrest terhadap persoalan ini", kata Mo Ibrahim, pendiri Mo Ibrahim Index dan Mo Ibrahim Foundation.

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya