5 Cara Melawan Stigma Penyakit Kejiwaan

Konsep masalah kejiwaan masih terdengar asing di lingkungan kita. Bahkan tidak jarang ada stigma buruk untuk mereka yang menderitanya.

oleh Indy Keningar diperbarui 03 Mar 2015, 21:00 WIB
Diterbitkan 03 Mar 2015, 21:00 WIB
5 Cara Melawan Stigma Penyakit Kejiwaan
Konsep masalah kejiwaan masih terdengar asing di lingkungan kita. Bahkan tidak jarang ada stigma buruk untuk mereka yang menderitanya.

Liputan6.com, Jakarta Bagi masyarakat, kata "penyakit" hanya bisa diasosiasikan pada keluhan fisik. Padahal, penyakit kejiwaan bukan berarti tidak berbahaya atau mempengaruhi kondisi kesehatan kita. Lebih buruk lagi, mereka yang mengeluh tentang masalah kejiwaan diberi stigma buruk. Seperti dianggap mengada-ada, melebih-lebihkan, atau bahkan dianggap gila.

Bahkan, di Amerika Serikat, dari 18,6 persen orang dewasa yang mengalami penyakit kejiwaan, hanya 13,4 mendapat pertolongan sama sekali. Riset mengenai kesehatan mental yang kurang memadai mengakibatkan berkurangnya jumlah psikiatris. Di Indonesia, jumlah psikiatris bisa dihitung dengan jari di setiap provinsi.

Cara lain melawan stigma penyakit mental adalah dengan mengerti tentang pentingnya dukungan terhadap diri kita atau orang lain yang menderita gangguan kesehatan mental. Pada Clinton Foundation Health Matters Summit di Indian Wells, California, ada beberapa ahli kesehatan jiwa yang mendiskusikan tentang pentingnya melawan stigma pada penderita gangguan kesehatan mental Para ahli ini adalah Mohini Venkatesh dari National Council for Behavior, John MacPhee dari Jed Foundation dan William Emmet dari Kennedy Forum. Seperti dilansir dari laman huffingtonpost, Senin (2/3/2015), Dari hasil diskusi, ada 5 poin tentang apa yang bisa dilakukan untuk membantu kita dan mereka yang mengalami penyakit mental.

1. Berpikir bahwa kunjungan ke ahli kesehatan mental sama dengan kunjungan ke dokter

Menormalisasi kunjungan ke psikiater atau psikolog membuat pasien tidak segan-segan bercerita pada teman-teman dan keluarga mereka bahwa mereka pergi ke dokter. Kenyataannya, penyakit mental bukan tidak memiliki akibat serius pada kondisi fisik. Sehingga, dengan tidak membedakan antara kondisi mental dan fisik, kondisi fisik pasien yang memburuk diakibatkan oleh penyakit mental bisa ditangani di saat yang bersamaan.

2. Pemimpin komunitas harus tahu cara mengenali gejala penyakit kejiawaan.

Bunuh diri merupakan penyebab kematian nomor tiga terbesar pada anak-anak muda  berusia 15 sampai 24 tahun. Dimana grup terbesar adalah mahasiswa. Dari 80 persen dari mahasiswa yang bunuh diri di kampus, mereka tidak pernah berkonsultasi sebelumnya pada ahli kejiwaan, bahkan walau di kampus mereka ada pusat konseling. Guru dan figur penjaga lainnya perlu mengetahui gejala-gejala penyakit kejiwaan seperti depresi dan keinginan bunuh diri pada murid sekolah dan mahasiswa. Ini bertujuan agar mereka segera mendapat pertolongan.

3. Fokus pada "kesehatan mental", bukan "penyakit mental"

Mencegah lebih baik daripada mengobati- pepatah ini bukan hanya berlaku pada kondisi fisik. Di tahun 1999, David Satcher, seorang ahli bedah membuat laporan tentang kesehatan mental. Disebutkan bahwa ada empat komponen kesehatan mental: aktifitas produktif, hubungan yang sehat, beradaptasi pada perubahan hidup dan mengatasi kesulitan. Maka dari itu, penting untuk berfokus pada meningkatkan kesehtan jiwa kita, bukannya menunjuk kondisi mental yang kerap dilabel sebagai "kekurangan" seseorang.

4. Kenali bahwa teman dan keluarga bisa menjadi pendukung

Penerimaan dari lingkungan sangat menolong jika Anda punya masalah kesehatan mental. Ini termasuk meningkatkan kepedulian dan pengertian Anda sendiri saat ada anggota keluarga atau teman yang terkena masalah kejiwaan. 

5. Ketahui bahwa masalah kesehatan bukan sesuatu yang harus disembunyikan

Sesungguhnya, setiap individual terpengaruh oleh kesehatan mental dalam satu atau lain cara. Mungkin ada di antara Anda yang punya pasangan yang menderita depresi, atau sahabat Anda pernah bercerita tentang keinginan bunuh diri. Semakin sering kita berbicara tentang masalah kejiwaan, semakin berkurang stigma buruk bahwa penyakit kejiwaan merupakan sesuatu yang menyimpang, hanya mitos, atau hanya dialami sebagian kecil dan oleh orang-orang yang jauh dari kita. Selain itu, berbicara terbuka tentang masalah kejiwaan membuat Anda atau orang lain yang menderitanya merasa tidak sendiri.

 

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya