Hati-hati, Pestisida Susu Bisa Sebabkan Parkinson di Hari Tua

Pestisida dalam susu yang diminum 10 tahun lalu bisa jadi penyebab penyakit parkinson yang diderita pasien saat ini.

oleh Risa Kosasih diperbarui 12 Des 2015, 09:00 WIB
Diterbitkan 12 Des 2015, 09:00 WIB
Studi: Konsumsi Susu Bisa Tingkatkan Risiko Terserang Parkinson
Minum susu bisa jadi salah satu penyebab yang meningkatkan risiko terserang parkinson.

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah laporan baru-baru ini menunjukkan bahwa pestisida dalam susu yang diminum 10 tahun lalu bisa jadi penyebab penyakit parkinson yang diderita pasien saat ini. Penelitian melibatkan pria berdarah campuran Amerika-Jepang yang sering meminum susu berpestisida ini.

Mereka minum susu setidaknya dua gelas sehari, dan punya sejumlah sel otak 40 persen lebih rendah di daerah otak tertentu yang disebut substantia nigra setelah 30 tahun kemudian.

Dikutip dari laman Health Aim, pada Sabtu (12/12/2015) sore, para peneliti mengatakan kalau hilangnya sel-sel di daerah tertentu merupakan gejala utama dari penyakit parkinson, sebelum gangguan fungsi gerak tubuh lainnya muncul. Hasil menelitian dibandingkan terhadap orang-orang yang hanya minum susu kurang dari dua gelas per harinya.

Rata-rata laki-laki yang berpartisipasi dalam riset ini berusia 54 tahun saat bergabung. Tapi perlu diketahui, studi ini tidak mencari hubungan antara hilangnya sejumlah sel otak, tingkat konsumsi susu pada mereka yang tidak pernah merokok.

Sebelumnya, memang telah ada penelitian yang menunjukkan kalau perokok punya risiko lebih rendah terkena parkinson. Sedangkan pria yang mengonsumsi susu, ditemukan jejak heptaklor epoksida, zat utama dalam pestisida dalam tubuhnya.

Pestisida terdeteksi ada dalam kandungan susu lewat tanaman di Hawaii yang digunakan untuk pengendalian hama. Namun pada 1988, pemerintah Amerika Serikat melarang penjualan pestisida untuk membatasi penjualannya.

Robert D. Abbott, dari Shiga University of Medical Science, di Otsu, Jepang, merupakan penulis utama studi ini. Penelitiannya telah dipublikasikan dalam Journal of Neurology.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya