Hidup dengan Gangguan Bipolar, Wanita Ini Tak Mau Ambil Pusing

Kondisi hati yang tak menentu adalah hal yang dirasakan penyandang gangguan bipolar (GB).

oleh Bella Jufita Putri diperbarui 23 Jun 2016, 13:00 WIB
Diterbitkan 23 Jun 2016, 13:00 WIB
Dr. dr. Margarita M. Maramis, Sp.KJ(K)
Dr. dr. Margarita M. Maramis, Sp.KJ(K)

Liputan6.com, Jakarta Kondisi hati yang tak menentu adalah hal yang dirasakan penyandang gangguan bipolar (GB). Walau hidup dengan mood yang naik turun ditambah stigma masyarakat terhapap GB, namun wanita berusia 25 tahun ini tak mau ambil pusing.

Wanita yang memiliki nama lengkap Vindy Ariella, mengaku merasakan ada hal yang janggal pada dirinya setelah mengalami kejadian pilu pada tujuh tahun lalu.

Pertama kali merasakan gangguan bipolar, Vindy, tak bisa mengelola dirinya. Namun setelah mendapat pengobatan--hingga kini ia sudah cukup aware jika mood mendadak tak normal.

"Kalo dulu pas awal-awal masih belum ya, karena tahu-tahu sudah begitu. Cuma makin ke sini aku pelajari diri aku sendiri--misal tanda-tandanya kalau sudah mau naik moodnya itu biasanya tuh aku kepingin shopping atau nggak kepingin tidur gitu," ungkapnya kepada Health-Liputan6.com, di Jakarta, Rabu (22/06/2016).

Gangguan bipolar yang terbagi dalam beberapa episode ini tentunya dialami secara bergantian oleh Vindy. Saat mood menaik drastis dikatakan sebagai episode mania atau manik.

Sedangkan saat mood mendadak merosot, episode gangguan bipolar ini disebut dengan depresi. Depresi yang dialami Vindy, biasanya menyebabkan dirinya terlalu banyak tidur dan kehilangan rasa atau minat untuk melakukan sesuatu hal.

Vindy yang merupakan Ketua dari Komunitas Bipolar Care Indonesia, yang berisikan pasien-pasien GB cukup saling membantu untuk mengelola mood di kala episode mereka mulai menyerang.

"Kita biasanya sharing atau terapi kelompok semacam seminar sebulan sekali atau dua bulan sekali.Ada art therapy juga," lanjutnya.

Komunitas yang beranggotakan 200 orang ini datang dengan berbagai hal dan kejadian yang beragam dan membuat mereka akhirnya terdiagnosis dengan gangguan bipolar.

"Mostly sih mereka datang karena nggak dapat dukungan dari keluarga atau teman ya, jadi mereka ngerasa sendirian, akhirnya mereka gabung ke komunitas. Ada juga yang didukung, tapi karena dia ngerasa ingin lebih di support lagi jadi dia gabung. Cuma masalah paling sering ya stigma sih," ujarnya.

Vindy menjelaskan stigma negatif terhadap GB masih terjadi, dan dirasakan oleh mereka. Padahal publik sudah cukup mengetahui apa itu gangguan bipolar atau masalah kejiwaan lainnya. 

"Banyak yang masih bilang dibuat-buat lah atau lebay lah itu masih. Tapi kalau aku pribadi sih nggak pengin ambil pusing ya, jadi aku cuek saja terbuka kalau aku bipolar atau apa. Terserah orang mau ngomong apa, jadi aku ngerasa nggak terstigma, karena aku membebaskan diri dari stigma itu sendiri gitu", tandasnya sambil tertawa.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya