Liputan6.com, Jakarta Sejauh mata memandang, hanya tersisa lahan gambut dan hamparan tanah yang menghitam. Pohon sawit yang ditanam di lahan gambut tak lagi kokoh berdiri. Sapuan warna cokelat dan akar pun menghitam. Rupanya si jago merah mengamuk, melahap habis puluhan hektar lahan gambut.
Gambaran itulah yang terjadi di Desa Tumbang Nusa dan Tanjung Taruna, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Sebagaimana disampaikan Ketua Kelompok Ahli Badan Restorasi Gambut (BRG) Azwar Maas melalui paparannya, emisi kebakaran lahan gambut menyebabkan pencemaran air sungai atau kali.
Advertisement
Air sungai yang mengalir di sisi lahan gambut terlihat hitam dan berbusa.
"Kebakaran kali ini terjadi pertama kali pada 2 Juli 2019 . Kebakaran dimulai dari KM 30 hingga KM 25 Jalan Palangka Raya, Banjarmasin (sebelah timur jalan atau sebelah kiri menuju Banjarmasin dari Palangka Raya)," jelas Azwar dalam paparan presentasi yang diterima Health Liputan6.com, ditulis Minggu (1/9/2019).
Padahal, Desa Tanjung Taruna merupakan salah satu desa cakupan BRG yang berfokus perlindungan terhadap gambut.
Mengutip laporan berjudul Profil Desa Peduli Gambut "Laporan Pemetaan Sosial Desa Tanjung Taruna, Kecamatan Jabiren, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2018" yang dipublikasikan BRG, Desa Tanjung Taruna termasuk desa yang mengalami kebakaran besar pada 2015.
Sekitar 75 persen kondisi lahan gambut di Tanjung Taruna terbakar. Hanya tersisa 25 persen gambut yang masih dalam keadaan bagus. Kebakaran ini mengakibatkan perubahan kondisi ekologis di Desa Tanjung Taruna.
Simak Video Menarik Berikut Ini:
Karbon Dioksida dan Gas Rumah Kaca
Api melalap lahan gambut di Desa Tumbang Nusa dan Tanjung Taruna dari arah selatan ke utara, sesuai arah angin. Jalaran kebakaran mencapai radius 9x2 km persegi. Angin mendorong si jago merah ke area yang lebih luas.
Upaya pemadaman dilakukan pemerintah daerah setempat dengan mengerahkan regu pemadam kebakaran (damkar). Tampak pada foto, tim damkar menyemprotkan air menggunakan selang besar. Namun, hanya hujan yang mampu meredakan.
"Api baru padam setelah hujan deras pada 14 dan 15 Agustus 2019. Hujan menghentikan kebakaran setelah berlangsung lebih dari seminggu. Masih tersisa titik bara yang terlihat jelas di malam hari. Sisa kayu atau bahan gambut juga masih berupa kayu," Azwar menjelaskan.
Kebakaran lahan gambut di atas termasuk salah satu contoh kasus yang terjadi di Indonesia. Di beberapa wilayah di seperti Sumatera dan beberapa area Kalimantan, yang menjadi persebaran gambut juga tak luput dari kebakaran. Yang perlu diperhatikan adalah dampak asap kebakaran lahan gambut yang dapat menjadi penyumbang perubahan iklim.
Hal tersebut ditandai dengan emisi gas rumah kaca (GRK), yakni peningkatan karbon dioksida (CO2). Gas rumah kaca muncul dari aktivitas manusia dan kejadian sehari-hari di lingkungan. Asap kebakaran hutan dan lahan ikut menyumbang emisi gas rumah kaca.
"Emisi gas rumah kaca yang ditandai peningkatan karbon dioksida berhubungan langsung dengan aktivitas manusia. Di setiap sektor, seperti penggunaan hutan dan lahan juga mengeluarkan emisi," tutur perwakilan FAO Indonesia Adam Gerrand di Kantor United Nations Jakarta saat ditemui Health Liputan6.com.
Mengutip Medical News Today, karbon dioksida dalam bentuk gas asphyxiant (gas beracun) memotong pasokan oksigen normal untuk bernapas, terutama di ruang terbatas. Paparan konsentrasi karbon dioksida tinggi yang mencapai 10 persen atau lebih berakibat buruk.
Kondisi tersebut membuat seseorang tidak sadar, kejang-kejang, bahkan kematian. Tingginya kadar karbon dioksida juga dapat merusak janin yang sedang berkembang.
Advertisement
Jutaan Ton Karbon Dioksida
Dalam pemaparan presentasi berjudul Nature-based Solutions for Climate Change - Big Potential for Forest and Peatlands, Adam menjelaskan jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kebakaran hutan lahan Indonesia.
Bahwa emisi GRK selama seminggu yang terjadi di 1,6 persen daratan Indonesia setara 5 sampai 10 persen emisi GRK tahunan Indonesia, menurut data Center for International Forestry Research (CIFOR).
Ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut secara besar-besaran pada 2015, khususnya di Riau, jutaan ton karbon dioksida dihasilkan.
"Emisi gas rumah kaca dari kebakaran lahan gambut pada 2015 itu melepaskan lebih dari 11 juta ton karbon dioksida per hari. Angka ini lebih besar dari total emisi bahan bakar fosil harian negara-negara Uni Eropa-28, yang mana GRK yang dilepaskan 8,9 juta ton karbon dioksida," tegas Adam.
Di sisi lain, analisis satelit FAO menunjukkan, sebagian besar kebakaran hutan dan lahan pada 2013 berasal dari kawasan non-hutan (82 persen), yakni semak belukar, kelapa sawit, akasia). Dari area yang terbakar, sekitar setengah (52 persen) berada di wilayah konsesi untuk perkebunan kelapa sawit dan perkebunan akasia (84.717 hektar).
"60 persen di antaranya (lahan} ditempati petani kecil dan setengah lainnya (48 persen) berasal dari konsesi luar yang disengketakan. Ini menunjukkan sengketa tanah mungkin bertanggung jawab atas kebakaran 2013," Adam menjelaskan.
Kurangi Emisi dari Gambut
Indonesia telah melakukan berbagai upaya dalam restorasi lahan gambut. Upaya ini mengurangi emisi dari kebakaran lahan gambut. BRG dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerja sama melakukan restorasi. BRG menyebut, pendekatan restorasi lahan gambut dikenal dengan 3R (Rewetting, Revegetasi, Revitalisasi).
Dari buku berjudul Panduan Teknis Revegetasi Lahan Gambut yang diterbitkan BRG pada 2017, Rewetting (Pembasahan kembali gambut) dilakukan melalui pembangunan infrastruktur pembasahan gambut antara lain sekat kanal (canal blocking), penimbunan kanal (canal backfilling), dan sumur bor (deep wells). Revegetasi gambut berupa intervensi aktif seperti pembuatan persemaian, pembibitan dan penanaman.
Ada juga intervensi non-aktif, yakni mempromosi regenerasi alami (natural regeneration) dan promosi agen penyebar benih (seeds dispersal mechanism). Revitalisasi dilakukan dengan cara mengembangkan kegiatan-kegiatan sumber mata pencaharian alternatif dan berkelanjutan. Pengelolaan ramah gambut baik berbasis lahan (land-based), berbasis air (water-based), dan berbasis jasa lingkungan (environmental services-based).
“Ketiga restorasi gambut membutuhkan pemantauan. Secara umum, sebagian besar pemantauan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu data berbasis lapangan dan satelit. Contoh data berbasis lapangan mencakup hal-hal seperti tingkat air tanah, yang mengukur seberapa jauh kadar air di bawah permukaan tanah,” Adam menegaskan.
“Contoh data satelit termasuk area tutupan dan perubahan vegetasi, misalnya apakah ada deforestasi, titik api atau area terbakar. Pemantauan yang lebih baru sekarang ini terkait kelembaban tanah. Ini sedang dikembangkan.”
Advertisement
Olah Lahan Gambut Tanpa Bakar
Salah satu upaya yang dapat dilakukan masyarakat dalam mengelola lahan gambut, yakni tanpa bakar. Kisah sukses mengelola lahan gambut datang dari Akhmad Tamanruddin atau kerap disapa Pak Taman. Ia memiliki lahan gambut di Kalampangan, Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
“Lahan yang di sana lebih rendah dibandingkan di sini (lahan miliknya),” ucap Pak Taman sambil menunjuk lahan tetangga sebelah yang sedang digarap pada Jumat (16/8/2019)
Pak Taman menceritakan, lahan yang rendah disebabkan dulunya lahan gambut dibakar terlebih dahulu oleh pemiliknya untuk membuka lahan. Cara membakar lahan dianggap mendapatkan kesuburan tanah.
Berbeda dengan dirinya, lahan milik Pak Taman terlihat tinggi, tertata rapi, dan tampak beragam tanaman yang ditanam di lahan seluas dua hektar tersebut.
Ia tidak menggunakan teknik membakar untuk mendapatkan kesuburan tanah, tetapi membuat media tanam (mineral dressing). Media itu terdiri atas tanah subur, dolomit (suatu mineral karbonat anhidrat yang terbentuk dari kalsium magnesium karbonat), kotoran ternak serta pupuk organik.
"Cara saya mengolah lahan gambut tanpa bakar dengan tahapan lahan gambut yang sudah bersih dari akar pakis (kalakai) dibuat guludan (baluran) yang lebarnya maksimal sedepa. Agar guludan dapat dibersihkan dari kedua sisi," ujar Taman sesuai keterangan tertulis yang diterima Health Liputan6.com.
"Selanjutnya, buat lubang tanam dengan jarak menyesuaikan kebutuhan tanaman yang akan ditanam. Misal, untuk cabai 40 x 40 cm. Selanjutnya, lubang tanam diberi media tanam yang sebelumnya sudah kita siapkan sebanyak satu genggam per lubang tanam.”
Upaya yang dilakukan Pak Taman untuk mengalahkan sifat asam gambut. Teknik tersebut melalui pendekatan agroforestry. Taman menjadi salah satu binaan dari Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Banjarbaru, Kalimantan Tengah sejak 2004.
Peneliti Balai Litbang LHK Banjarbaru Marinus Kristiadi Harun menyampaikan, pendekatan agroforestry yang dikelola Pak Taman memanfaatkan tanaman keras seperti Jelutung Rawa (Dyera pollyphylla) serta tanaman pertanian lain (cabai, jagung dan ubi kayu).
"Lahan gambut di milik Pak Taman secara teori termasuk kawasan kubah gambut, namun terlanjur dijadikan sebagai lahan pertanian intensif," jelas Marinus.
"Oleh karena itu, sistem agroforestry menjadi salah satu sistem budidaya yang turut dipromosikan Balai Litbang LHK Banjarbaru sebagai sistem yang ramah lingkungan. Sistem ini mampu menjembatani fungsi produksi dan fungsi perlindungan (konservasi) di lahan gambut.”