Dibanding MERS dan SARS, Virus Corona Wuhan Dinilai Tidak Mematikan

Dibanding MERS dan SARS, virus corona Wuhan tidak masuk kategori mematikan.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 26 Jan 2020, 13:00 WIB
Diterbitkan 26 Jan 2020, 13:00 WIB
Virus Corona Hantui Perayaan Tahun Baru Imlek
Seorang pria berbelanja dekorasi untuk perayaan Tahun Baru Imlek di sebuah pasar di Provinsi Anhui, China, 23 Januari 2020. China menutup sebuah kota berpenduduk lebih dari 11 juta orang dalam upaya memerangi wabah virus corona, tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya. (AP/Mark Schiefelbein)

Liputan6.com, Jakarta Virus corona baru dari Wuhan, Tiongkok tidak masuk kategori mematikan bila dibandingkan Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan severe acute respiratory syndrome (SARS). Pandangan tersebut disampaikan dokter spesialis penyakit dalam sekaligus pakar penyakit infeksi dan tropis, Erni Juwita Nelwan.

"Tidak mematikan, apalagi ini (virus corona Wuhan) bukan human coronavirus sebenarnya. Kalau human corona (MERS, SARS), rata-rata lebih agresif sehingga korban yang terpapar lebih cepat meninggal. Kalau (virus corona) yang Wuhan enggak begitu," jelas Erni saat ditemui di Kantor PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jakarta Pusat, ditulis Minggu (26/1/2020).

 

Center for Disease Control and Prevention (CDC), mengikuti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menyebut virus corona jenis baru dengan 2019-nCoV. Temuan 2019-nCoV yang bermula di Wuhan pun dilaporkan semakin banyak di negara-negara lain, seperti Korea Selatan, Jepang, Vietnam, Taiwan, Malaysia, Singapura, Hong Kong, Prancis, dan Amerika Serikat.

Disebutkan juga virus corona Wuhan biasa ditemukan pada ular dan kelelawar. Pada kasus virus corona 2019-nCoV, beberapa ilmuwan menduga kemunculannya karena mutasi virus dan perilaku kelelawar dimakan ular, kemudian ular dimakan oleh manusia.

"Ya, tidak biasanya corona ini menginfeksi manusia karena masuk kategori zoonotik atau penyakit yang biasanya menular dari hewan ke hewan. Sehingga tidak terlalu berefek besar pada manusia. Lagi pula orang-orang yang dilaporkan mengalami gejala virus corona Wuhan, misal demam dan sesak malah boleh langsung pulang, setelah diberikan obat menangani gejalanya," Erni menjelaskan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Simak Video Menarik Berikut Ini:


Penularan yang Sangat Cepat

Virus Corona
Persebaran virus corona Wuhan dapat dipantau lewat peta online yang dibuat tim Systems Science and Engineering, Johns Hopkins Center, diakses pukul 10.50 WIB. (Printscreen gisanddata.maps.arcgis.com)

Lantas mengapa banyak pemberitaan menulis bahwa virus corona Wuhan disebut mematikan? Erni menjawab, penyebutan kata 'mematikan' karena 2019-nCOV penularannya sangat cepat. Menular melalui udara, virus corona Wuhan memiliki masa inkubasi 2-14 hari pada manusia.

Data Systems Science and Engineering, Johns Hopkins Center, yang diakses Health Liputan6.com pada Minggu (26/1/2020) pukul 10.50 WIB mencatat, 1.438 kasus yang terkonfirmasi virus corona.

Dilihat dari fatalitas atau angka kematiannya, virus corona Wuhan belum masuk kategori yang mematikan. Misal, dari 830 orang yang terinfeksi, angka kematiannya 25 orang. Bisa dibilang mematikan jika angka perbandingannya dari 100 orang yang terjangkit, 77 orang diantaranya meninggal dunia. 

Penjelasan yang kurang lebih senada juga sampaikan Erni. "Orang selalu menyalahkan virusnya. Disebut virus mematikan. Padahal, kalau dilihat tadi, ketakutan terjadi kalau yang meninggal banyak sekali. Mungkin bolehlah kalau yang seperti itu (disebut) mematikan," Erni menegaskan.

Orang-orang yang meninggal dunia akibat 2019-nCOV rata-rata karena mereka memiliki riwayat penyakit lain. Contohnya, diabetes, lupus, dan imunitas yang rendah.

"Betul, kalau virus yang masuk 2, sama virus yang masuk 10, tentu lebih berat kalau masuknya 10 virus. Tapi perjalanan sakit seseorang yang mengalami gejala virus corona baru bisa saja dari hari ke hari sembuh. Bahkan besok sembuh atau lusa sembuhnya, tergantung sistem imun orang yang bersangkutan," lanjut Erni, yang berpraktik di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.


MERS

Ilustrasi wabah MERS (Liputan6.com/Sangaji)
Ilustrasi wabah MERS (Liputan6.com/Sangaji)

Coronavirus adalah virus yang umum ditemui pada banyak spesies hewan berbeda, termasuk unta dan kelelawar. Virus ini sangat jarang sekali menginfeksi manusia lalu menular di antara mereka. Mengutip laman CDC, MERS dan SARS termasuk jenis coronavirus yang menjangkiti manusia.

Laporan CDC, ketika MERS dan SARS menular ke manusia, diperkirakan terjadi melalui percikan cairan pernapasan yang dihasilkan oleh orang yang terinfeksi. Ini ditandai dari batuk atau bersin, mirip dengan penularan influenza dan patogen pernapasan lainnya yang menyebar.

Penyebaran MERS dan SARS antara manusia umumnya terjadi kontak dekat. Wabah MERS dan SARS di masa lalu sangat kompleks sehingga membutuhkan respons kesehatan masyarakat yang komprehensif. Baik MERS dan SARS telah diketahui menyebabkan penyakit parah pada manusia.

Kasus MERS dilaporkan pertama kali di Arab Saudi pada 2012 dan menyebar ke beberapa negara lain, termasuk Amerika Serikat. Kebanyakan orang yang terinfeksi MERS-CoV mengembangkan penyakit pernapasan yang parah, termasuk demam, batuk, dan sesak napas setelah 14 hari bepergian dari Arab Saudi atau negara-negara sekitarnya. Banyak dari mereka meninggal dunia.


SARS

Penyebab Penyakit SARS
Penyakit SARS (Sumber: iStockphoto)

SARS pertama kali dilaporkan di Asia pada Februari 2003. Penyakit ini menyebar ke lebih dari 20 negara di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, dan Asia. Setelah tahun 2004, belum ada kasus SARS yang diketahui dilaporkan di negara mana pun di dunia, menurut data CDC.

Gejala SARS biasanya dimulai dengan demam, kadang-kadang dikaitkan dengan menggigil atau gejala lain (sakit kepala, perasaan tidak nyaman, nyeri pada tubuh). Awalnya, beberapa orang juga memiliki gejala pernapasan ringan. Sekitar 10-20 persen pasien mengalami diare.

Setelah 2-7 hari, pasien SARS mengalami batuk kering, tidak produktif atau merasa sesak nafas. Gejala-gejala mungkin disertai atau berkembang menjadi hipotermia, yang mana kadar oksigen dalam darah rendah (hipoksia). Sebagian besar pasien mengalami pneumonia.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya