Liputan6.com, Osaka - Warga negara Indonesia (WNI) yang sudah sembilan tahun tinggal di Jepang, Ivan Prakasa, mengaku tak takut harus menjalani hari-hari seorang diri saat pandemi Corona terjadi.
Ivan, mengungkapkan, dirinya percaya sama pemerintah Jepang dengan segala tindakannya, sehingga rasa aman itu muncul meski tinggal jauh dari orangtua.
Baca Juga
"Kesepian, pasti. Tapi aku sendiri sudah lama di sini. Aku di sini justru lebih was-was ke orangtua yang ada di Indonesia," kata Ivan saat berbincang dengan Health Liputan6.com melalui sambungan telepon.
Advertisement
Pria berkacamata yang saat ini tinggal di Osaka sudah dua minggu bekerja dari rumah. Sewaktu pemerintah Jepang mengumumkan status emergency state (keadaan darurat), bukan memberlakukan lockdown, akibat kasus positif Corona COVID-19 yang terus meningkat, Ivan masih harus masuk kerja.
"Start emergency state condition itu 8 April sampai 6 Mei 2020 (untuk saat ini). Karena di tanggal segitu aku masih handle anak baru, jadinya baru bisa WFHÂ (work from home) di 10 April sampai sekarang," ujarnya.
Menurut Ivan, status kondisi darurat hanya untuk tujuh prefektur dengan kasus positif Corona yang tinggi, di antaranya Tokyo, Osaka, Kanagawa, Chiba, Saitama, Fukoka, dan Yokohama. "Awalnya itu saja, sekarang kalau enggak salah menjadi 13 dari 47," katanya.
Baca juga:Â Lockdown Akibat Corona di Edinburgh, Tak Surutkan Semangat Memasak Makanan Indonesia
Selama status kondisi darurat, lanjut Ivan, pemerintah Jepang hanya mengimbau seluruh masyarakat untuk berada di rumah. Meski demikian warga tetap dibolehkan keluar untuk keperluan belanja makanan, pergi bekerja, mencari perawatan medis, dan berolahraga.Â
"Secara konotasi masih dibilang 'bebas'. Akan tetapi pada dasarnya masyarakatnya itu patuh-patuh. Banyak juga masyarakat yang mengikuti aturan dan menghindari keluar rumah," kata Ivan.
Â
Bantuan Uang Tunai 100.000 Yen untuk Masyarakat Agar Mau di Rumah Saja Selama Pandemi Corona Masih Terjadi
Lebih lanjut, pemerintah Jepang bahkan berencana memberikan bantuan uang tunai sebesar 100.000 Yen atau setara Rp14 juta per individu agar seluruh masyarakat mau di rumah saja, supaya penanganan Corona cepat selesai.
"Sekaligus membantu masyarakat yang ekonominya terpuruk karena Corona," katanya.
Baca juga:Â Asramaku Sediakan Dokter Fisik dan Jiwa Selama Lockdown Akibat COVID-19 di Rusia
Bantuan uang tunai ini, kata Ivan, untuk semua penduduk yang tinggal di Jepang, termasuk orang asing seperti dirinya.
"Kita harus registrasi dulu," kata Ivan.
"Jadi, sistemnya itu pemerintah akan mengirim surat ke masing-masing rumah berdasarkan data penduduk. Nah, dari situ kemudian kita mendaftarkan diri kita. Barulah bantuan itu bisa diterima nantinya," katanya.
Menurut Ivan, nominal sebesar itu bagi masyarakat di Tokyo bisa dikatakan sedikit. Akan tetapi buat warga yang tinggal Osaka kayak dirinya, 100.000 Yen cukup buat hidup selama satu sampai dua bulan.
"Secara apartemen di Osaka (harga) Rp2 juta bisa dapat," katanya sembari tertawa.
Saat ini, Ivan tinggal menunggu formulir sampai ke rumah, plus pembagiannya.
Advertisement
Sempat Kesulitan Mendapatkan Masker Saat Pandemi Corona COVID-19 Terjadi
Ivan, melanjutkan, status emergency state dikeluarkan saat jumlah kasus positif Corona sudah berlipat ganda. Namun, dari jauh-jauh hari, pemerintah sudah mengingatkan seluruh masyarakat bahwa sedang terjadi penyebaran Virus Corona di Jepang, sehingga mereka diminta untuk waspada, dianjurkan pakai masker setiap berada di luar rumah, cuci tangan, dan selalu jaga kesehatan.
"Kita sudah mulai was-was itu dari Januari akhir atau awal Februari," kata Ivan.
"Saat itu terjadi, orang-orang Jepang 'mulai panik' beli masker," Ivan menambahkan.
Ivan sempat kesulitan mendapatkan selembar masker. Dia pun harus putar-putar Osaka dan keliling dari satu stasiun satu ke stasiun lain untuk membelinya. "Akhirnya ketemu. Itu pun dibatasin, hanya bisa satu pack masker doang," ujarnya.
Baca juga:Â Takjub Melihat Penduduk Wina Akhirnya Mau Pakai Masker Selama Pandemi COVID-19
Meskipun 'panik', kata Ivan, masyarakat di Jepang tetap taat aturan saat membeli masker. Tetap mengantre dan tidak gragas.
"Sifat orang Jepang itu prevention, lebih ke mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Dan pakai masker serta cuci tangan pun sudah budaya di sini, sudah mendarahdaging, lah," kata Ivan.
Terlebih kebiasaan cuci tangan, sudah melekat di kehidupan sehari-hari penduduk Jepang. "Kalau kita nonton kartun Sinchan, dia setiap masuk rumah selalu cuci tangan dulu, kalau enggak dimarahin. Ya, kurang lebih begitu gambaran kebiasaan masyarakat di sini," Ivan mencontohkan.
Hanya saja, kebiasaan cuci tangan yang sudah mendarahdaging itu masih ala kadarnya. Semenjak ada Corona, mereka diingatkan untuk mencuci tangan harus selama 20 detik. "Sekarang jadi lebih aware untuk benar-benar cuci tangan, bukan sekadarnya saja," kata Ivan.
Bukti Masyarakat Patuh untuk Berada di Rumah Selama Pandemi Corona Terjadi di Jepang
Menurut Ivan, suasana di Osaka terlihat jauh lebih sepi sejak status darurat nasional diumumkan. Masyarakat cenderung patuh. Mereka tidak akan keluar rumah jika tak terpaksa memang harus ke kantor atau sekadar mencari makan.
Sejak emergency state, tempat karaoke, tempat hiburan, tempat main bowling, dan onsen wajib tutup. Hanya restoran yang masih buka sampai sekarang.
"Restoran itu masih boleh buka tapi ada batasan jam kerja, cuma sampai pukul 08.00 malam. Pemesanan, bill, segala macam, terakhir itu pukul 07.00," kata Ivan.
Bukti orang Jepang patuh sama aturan, kata Ivan, bisa dilihat dari restoran yang tetap terlihat sepi. Kasarnya, yang biasa selalu ramai di saat jam makan siang, antara pukul 12.00 atau 13.00, terakhir Ivan makan di sana di jam yang sama hanya terlihat dua sampai tiga orang saja.
"Sehingga enggak ada penjagaan jarak atau pembatasan jarak gitu di restoran-restoran, karena memang sepi," katanya.
Yang Ivan rasakan berbeda semenjak pandemi Corona, nyaris di semua pintu masuk terdapat hand sanitizer. Hanya saja, ada satu hal yang membuat Ivan bingung, yaitu dilarangnya menggunakan hand dryer.
"Aku engga ngerti juga alasanya. Sejak bulan Februari penggunaan hand dryer itu dilarang. Kayak di kantorku, deh, setiap habis cuci tangan harus dibersihkan menggunakan tisu," katanya.
Saat ini, Ivan mengisi hari-harinya dengan bekerja dari rumah. Ivan sendiri tak tahu bakal berapa lama WFH ini berlangsung. "Kantorku sendiri belum menentukan sampai kapan," ujarnya.
Advertisement