Studi Ungkap Ada Lebih dari 2.000 Misinformasi yang Beredar Terkait Pandemi COVID-19

Para peneliti menemukan, dalam periode penelitiannya, ada 2.311 laporan terkait rumor, stigma, dan teori konspirasi terkait COVID-19 dalam 25 bahasa dari 87 negara

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 14 Agu 2020, 10:00 WIB
Diterbitkan 14 Agu 2020, 10:00 WIB
Banner Infografis Hoaks di Tahun Politik Kian Marak
Banner Infografis Hoaks di Tahun Politik Kian Marak. (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta Sebuah studi mengungkapkan bahwa terdapat lebih dari dua ribu misinformasi yang beredar di tengah pandemi COVID-19.

"Misinformasi yang dipicu oleh rumor, stigma, dan teori konspirasi bisa memiliki implikasi yang berpotensi serius pada individu dan komunitas jika diprioritaskan alih-alih pedoman berbasis bukti," tulis para penulis studi tersebut dalam American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, dikutip Kamis (13/8/2020).

Mengutip Live Science, penelitian ini dilakukan oleh sekelompok tim ilmuwan sosial, dokter, dan ahli epidemiologi internasional. Mereka meninjau berbagai konten di berbagai media yang beredar mulai dari 31 Desember 2019 hingga 5 April 2020 untuk dianalisa secara deskriptif.

"Kami mengikuti dan memeriksa rumor, stigma, dan teori konspirasi terkait COVID-19 yang beredar di platform daring, termasuk situs agensi cek fakta, Facebook, Twitter, surat kabar daring, serta dampaknya terhadap kesehatan masyarakat," tulis para peneliti pada abstraksi penelitiannya.

"Kami melakukan analisis konten artikel berita untuk membandingkan dan mengontraskan data yang dikumpulkan dari sumber lain."

Dalam studi tersebut, para peneliti mengidentifikasi sebanyak 2.311 laporan terkait rumor, stigma, dan teori konspirasi dalam 25 bahasa dari 87 negara yang diteliti.

Simak Juga Video Menarik Berikut Ini

Datang Secara Bergelombang

Ilustrasi Cek Fakta
Ilustrasi Cek Fakta

Beberapa topik yang mereka temukan seperti klaim yang terkait dengan penyakit, penularan, dan kematian (24 persen), tindakan pengendalian (21 persen), pengobatan dan penyembuhan (19 persen), penyebab dan asal usul penyakit (15 persen), kekerasan (1 persen), dan lain-lain (20 persen).

Selain itu, para penulis studi menyebut, 89 persen bisa diklasifikasikan sebagai rumor atau klaim yang tidak diverifikasi terkait COVID-19 dan 8 persen dimasukkan dalam kategori teori konspirasi atau keyakinan mengenai orang-orang yang bekerja secara rahasia dengan tujuan jahat.

Tidak hanya itu, 3,5 persen dimasukkan sebagai stigma atau laporan mengenai orang yang mengalami diskriminasi karena penyakit, riwayat perjalanan, paparan orang yang terinfeksi, atau keturunan etnis tertentu.

Berbagai "infodemik" ini juga mereka laporkan datang secara bergelombang. Yang pertama terjadi antara 21 Januari hingga 13 Februari, gelombang kedua antara 14 Februari hingga 7 Maret, dan gelombang ketiga, yang disebut paling besar, antara 8 sampai 31 Maret.

Para penulis studi menyatakan, institusi kesehatan harus bisa melacak informasi yang salah terkait COVID-19 secara real time dan melibatkan komunitas lokal serta pemangku kepentingan di pemerintahan untuk menyanggah kesalahan informasi.

"Memantau data media sosial telah diidentifikasi sebagai metode terbaik untuk melacak rumor secara real time dan sebagai cara yang paling mungkin untuk menyanggah informasi yang salah dan mengurangi stigma."

"Namun, deteksi, penilaian, dan tanggapan terhadap rumor, stigma, dan teori konspirasi secara real time merupakan sebuah tantangan."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya