Kemandirian Terbatas, Pasien COVID-19 Anak Perlu Didampingi Satu Pengasuh

Sulit bagi pasien COVID-19 anak yang menjalani isolasi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari secara mandiri.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 08 Sep 2020, 14:00 WIB
Diterbitkan 08 Sep 2020, 14:00 WIB
Imunisasi Anak
Dokter dengan Alat Pelindung Diri menunjukkan vaksin polio pada ibu di Rumah Vaksinasi Sawangan, Depok, Selasa (16/6/2020). Orang tua diminta tidak menunda pemberian imunisasi pada anak-anak yang masih harus menerima imunisasi lengkap, meskipun Covid-19 belum berakhir. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Orang yang terinfeksi COVID-19 perlu menjalankan perawatan intensif baik di rumah maupun di rumah sakit. Saat isolasi, orang dewasa dapat memenuhi kebutuhan sederhana secara mandiri. Namun, bagi anak-anak, hal tersebut bisa sangat menyulitkan.

Anak kemandiriannya masih terbatas perlu didampingi. Pihak rumah sakit akan mengarahkan bagaimana cara pendampingan anak selama isolasi,” kata dokter spesialis anak RSU Hasanah Graha Afiah, Depok, Farabi El Fouz, M.kes dalam sebuah acara pada 12 Mei 2020.

Pihak rumah sakit akan mengarahkan cara pendampingan anak selama isolasi, seperti memilih salah satu orangtua atau pengasuh yang akan tinggal bersama anak di ruang isolasi. Jika sudah dipilih, satu pengasuh itu akan dilengkapi dengan alat pelindung diri (APD).

Pengasuh tidak akan diperbolehkan keluar-masuk ruang isolasi selama masa perawatan anak. Di masa perawatan ini, pengasuh sangat berpotensi terkena COVID-19.

“Jika pengasuh merasakan gejala COVID-19, harus segera melapor ke pihak rumah sakit,” Farabi menekankan.

Simak Video Berikut Ini


Pengalaman Seorang Ibu Dampingi Anaknya Selama Isolasi

Divalah dan Lia
Divalah (kiri) penyandang seckel syndrome. Foto: Dokuen Pribadi Lia Octoratrisna.

Infeksi COVID-19 sempat dialami oleh penyandang seckel syndrome sekaligus microcephaly, Divalah (17). Seckel syndrome adalah disabilitas bawaan yang disebabkan kelainan genetik, sedangkan microcephaly adalah ukuran kepala yang lebih kecil dari anak pada umumnya.

Menurut penuturan sang ibu, Lia Octoratrisna (48), gejala COVID-19 pada putrinya berawal setelah mereka melakukan perjalanan dari Jakarta Pusat pada 8 Maret lalu.

“Pulang dari daerah Jakarta Pusat ada gejala seperti batuk. Sudah diberi obat tapi tidak kunjung sembuh,” ujar Lia kepada Disabilitas Liputan6.com di penghujung bulan Juni 2020.

Gejala tersebut membuat Lia khawatir dan memutuskan untuk karantina mandiri. Dia belum berani membawa anaknya ke rumah sakit karena masih merebaknya COVID-19.

“Tanggal 15 Maret, selain batuk ada sesak napas dan pada 26 maret dirawat di rumah sakit, kata dokter ada pneumonia,” Lia menambahkan.

Pada 30 Maret 2020, Diva melakukan swab test (tes usap) kemudian pulang ke rumah dan karantina mandiri selama dua minggu. Namun, tujuh hari setelah keluar dari rumah sakit, gejala batuk datang lagi sampai akhirnya hasil tes keluar pada 12 April 2020 dan menyatakan positif COVID-19.

Kabar tersebut sempat membuat Lia panik. Dia menghubungi Puskesmas di hari berikutnya.

“Tanggal 13 saya laporan ke puskesmas, mereka memberi arahan, obat dan vitamin," kata dia.


Pengalaman di Wisma Atlet

Wisma Atlet
Wisma Atlet Kemayoran disulap menjadi RS Darurat Penanganan COVID-19. (Dok Kementerian PUPR)

Pada 20 April 2020, Diva dibawa ke Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet. Hari pertama di Wisma Atlet, Lia melakukan rapid test dan hasilnya non-reaktif.

“Mungkin ini mukjizat Tuhan jadi saya bisa merawat Diva. Saya meminta pihak Wisma Atlet untuk membiarkan saya merawatnya karena memang anak saya tidak dapat melakukan segala hal sendiri,” katanya.

Keduanya ditempatkan di satu kamar yang sama dan tidak dicampur dengan pasien lainnya. Selama di Wisma Atlet keduanya diberi vitamin.

Dua hari kemudian, keduanya melakukan swab test dan dalam 10 hari kemudian hasilnya keluar. Mereka dinyatakan negatif. Pada 5 Mei 2020 mereka dapat pulang ke rumah dengan melakukan tes ulang sebelum pulang.

“Memang anak berkebutuhan khusus itu lebih rentan, saya sekarang lebih baik menunda terapi kecuali sangat penting dan melakukan terapi di rumah,” katanya.

Lia berpesan kepada para ibu yang memiliki anak difabel untuk tetap menjalankan segala protokol kesehatan seperti jaga jarak dan menggunakan masker. Konsumsi makanan bergizi, vitamin, dan jaga pikiran agar tetap stabil.

“Saya harap ibu-ibu yang memiliki ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) tidak terlalu panik tapi tetap harus waspada,” Lia menambahkan..

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya