Liputan6.com, Jakarta - Membesarkan seorang remaja menjadi tantangan sendiri bagi orangtua. Saat anak menginjak usia remaja, para orangtua akan dijejalkan berbagai problematika khas remaja.
Orangtua pun dituntut mampu membimbing anaknya mengatasi problematika tersebut. Seperti memberikan tips ketika anak remajanya untuk pertama kali jatuh cinta pada lawan jenis, dan lain sebagainya.
Baca Juga
Namun, para orangtua tidak perlu khawatir, karena nyatanya, membesarkan seorang remaja tidak akan terlalu rumit.
Advertisement
"Sebenarnya, ada beberapa jawaban mudah dalam mengasuh remaja. Perlu lebih banyak waktu dan energi untuk mengetahui mengapa anak Anda berperilaku seperti itu, apa yang mungkin mereka perjuangkan, dan bagaimana Anda harus menanggapinya," ujar Psikolog anak yang berbasis di Boston Amerika Serikat, Ellen O'Donnell, PhD dikutip laman Insider.
O'Donnell menjelaskan, cara mengasuh remaja yang salah, biasanya terjadi karena para orangtua termakan mitos-mitos pengasuhan remaja yang beredar luas, terutama di internet.
Maka dari itu, penting bagi orangtua mengetahui mitos-mitos ini, agar mereka dapat membesarkan anak remajanya dengan tepat. Dilansir laman Insider, berikut 5 mitos membesarkan seorang remaja:
Simak Juga Video Berikut Ini
Remaja Laki-Laki Akan Selalu Nakal
1. Berbicara kepada remaja tentang seks, membuat mereka ingin melakukan lebih banyak seks
Psikolog anak dari New York City Lea Lis mengatakan, banyak orangtua keliru, karena percaya bahwa mendiskusikan seks dengan anak-anak mereka atau mendidik mereka tentang alat kontrasepsi, akan memotivasi mereka untuk menjadi lebih aktif secara seksual.
Namun, Lis menjelaskan, berdasarkan studi di tahun 2019, ketika remaja melakukan percakapan yang sehat tentang seks dengan orangtua mereka, hal itu justru dapat membantu mengurangi kemungkinan mereka terlibat dalam perilaku seksual berisiko, seperti kehamilan di luar pernikahan, dan tertular berbagai penyakit seksual.
2. Remaja laki-laki akan selalu nakal
Gagasan ini disebut Lis, adalah generalisasi terhadap semua laki-laki, dan merupakan stereotip yang sudah ketinggalan zaman.
"Gagasan bahwa anak laki-laki tidak dapat mengontrol dirinya, dan 'dilahirkan untuk menjadi nakal' tidak hanya sepenuhnya tidak benar tetapi juga melanggengkan mitos tentang gender," kata Lis.
Lis mengatakan, bisa sangat berbahaya untuk mengandalkan pola pikir ini dalam hal mengasuh remaja laki-laki, karena hormon melonjak dan kadar testosteron mereka meningkat sepuluh kali lipat.
Menurut American Psychological Association (APA), menganut "ideologi maskulinitas tradisional" telah terbukti membatasi perkembangan psikologis laki-laki, membatasi perilaku mereka, menyebabkan konflik peran gender, dan secara negatif mempengaruhi kesehatan mental dan fisik mereka.
APA juga melaporkan bahwa jika orang tua terus menggunakan pola pikir ini, maka akan meningkatkan kemungkinan remaja laki-laki terlibat dalam penyerangan atau penindasan.
Advertisement
Hukuman Fisik Diangap Lebih Efektif
3. Hukuman fisk lebih efektif
Lis mengatakan, hukuman fisik malah bisa memaafkan perilaku agresif atau kekerasan pada anak-anak. Sementara O'Donnell menyebut, hukuman fisik akan mengikis kepercayaan pada hubungan orangtua dan remaja.
Berdasarkan studi di tahun 2006, remaja yang lebih cenderung terlibat dalam perkelahian dan intimidasi, melaporkan bahwa orangtua mereka menggunakan hukuman fisik sebagai metode pendisiplinan.
Sedangkan remaja yang menganggap orangtua mereka tidak menyetujui kekerasan fisik, cenderung tidak menggunakan perilaku negatif tersebut.
Daripada menghukum anak remaja secara fisik ketika mereka berperilaku tidak baik, APA merekomendasikan untuk berfokus pada memuji perilaku positif yang mereka lakukan.
Namun, jika remaja berperilaku sedemikian rupa sehingga membahayakan diri mereka sendiri atau orang lain, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) menyarankan, agar tidak mengabaikan remaja tersebut.
Kemudian, beri tahu mereka bahwa perilaku mereka tidak baik, coba dan terapkan konsekuensi negatif, seperti mengambil salah satu hak istimewa mereka.
Tak Hilang Kesabaran
4. Orangtua yang baik tidak kehilangan kesabaran
Para ahli menyarankan agar para orang tua tidak menahan diri pada standar yang tidak realistis. Sebagai manusia yang tidak sempurna, orangtua terkadang kehilangan kendali saat merasa kewalahan.
Alih-alih menyerah pada rasa malu atau rasa bersalah, orangtua disarankan untuk mengakui dan meminta maaf kepada anak remajanya, jika amarah orangtua telah melebihi batas.
Dalam beberapa kasus, ketika perilaku remaja tidak pantas, tetapi tidak berbahaya bagi siapa pun atau diri mereka sendiri, Lis mengatakan lebih baik mengabaikan anak remaja tersebut, daripada berteriak-teriak pada mereka.
Berdasarkan studi di tahun 2013, "disiplin verbal yang keras" sangat merusak untuk remaja, yang cenderung memiliki masalah perilaku dan bertingkah laku jika mereka mengalami teriakan.
5. Bertengkar di depan remaja akan berdampak buruk bagi kesehatan mentalnya
Para ahli setuju, bahwa sulit untuk mencegah pasangan suami istri untuk tidak bertengkan di depan anaknya. Maka dari itu, menurut O'Donnell, orangtua harus mencontohkan jenis konflik yang sehat.
"Situasi ini (pertengkaran orang tua), bisa menjadi pelajaran hidup terbesar bagi remaja," ujar Lis.
Sebuah studi di tahun 2006 terhadap anak-anak yang berusia antara 9 sampai 18 tahun, menemukan bahwa konflik orangtua tidak berbahaya jika mampu diselesaikan.
Namun, ketika konflik ini tetap tidak terselesaikan, anak-anak dapat merespons dengan depresi, kecemasan, atau masalah perilaku lainnya. Korelasi antara perselisihan antar orangtua dan ketidakamanan emosional bahkan lebih kuat pada remaja daripada anak-anak yang lebih kecil.
Seorang penulis utama studi tersebut menyimpulkan, bahwa orangtua harus selalu berupaya menemukan penyelesaian untuk perkelahian mereka, dan mengomunikasikan penyelesaian tersebut kepada remaja mereka.
(Penulis: Rizki Febianto)
Advertisement