Liputan6.com, Jakarta Kasus disfungsi ereksi mengalami lonjakan selama pandemi COVID-19. Bukan virus yang menyebabkan kondisi ini, melainkan kebiasaan dan perilaku selama pandemi lah yang menyebabkan kasusnya meningkat.
Ahli urologi yang berbasis di Miami, Premal Patel mengatakan, kebiasaan bermalas-malasan yang meningkat selama pandemi COVID-19, secara tidak langsung menyebabkan peningkatan disfungsi ereksi.
Baca Juga
"Ketika kondisi seperti disfungsi ereksi sangat erat kaitannya dengan gaya hidup, saya bisa membayangkan angka itu akan naik," ujar Patel seperti dikutip laman Insider.
Advertisement
"Waktu ekstra yang dihabiskan di sofa selama pandemi, tidak hanya melukai punggung dan leher Anda. Ini juga bisa menjadi berita buruk bagi penis Anda," tambahnya.
Patel menjelaskan, semakin tidak aktif seseorang, maka semakin besar kemungkinan mereka menambah berat badan. Hal ini meningkatkan potensi terkena berbagai masalah jantung.
Dengan adanya masalah pada jantung, maka aliran darah ke penis kemungkinan akan terhambat, sehingga gangguan ereksi mungkin terjadi.
Sementara itu, menurut ahli urologi di California Dr. Aaron Spitz, peningkatan stres akibat pandemi COVID-19, juga telah membuat kasus disfungsi ereksi meningkat.
"Saya melihat lebih banyak pria datang dengan disfungsi ereksi terkait stres. Pandemi adalah situasi yang sangat membuat stres, dan stres memengaruhi kemampuan kita untuk melakukan hubungan seksual," ujar Spitz.
Selain itu, saat stres, Spitz menjelaskan tubuh akan melepaskan adrenalin yang berfungsi mengatasi stres. Adrenalin tersebut, secara tidak langsung akan menghambat penis untuk ereksi maka terjadi disfungsi ereksi.
"Adrenalin itu 'mematikan darah' dari bagian tubuh yang kurang penting seperti penis, telinga, dan jari, sehingga lebih banyak darah bisa mengalir ke jantung, paru-paru, dan otak," ujar Spitz.
Ikuti cerita dalam foto ini https://story.merdeka.com/2303605/volume-5
Gangguan Kecemasan dan Depresi juga Tingkatkan Risiko
Dalam penelitian sebelumnya, dua gangguan kesehatan mental yang sering timbul saat pandemi COVID-19, yakni gangguan kecemasan dan depresi, juga turut berkontribusi pada risiko disfungsi ereksi, terutama untuk pria berusia 20-an dan 30-an.
Penelitian tersebut menunjukkan, orang dengan gangguan kecemasan dan depresi, lebih berpotensi terkena disfungsi ereksi ketimbang mereka yang tidak memiliki masalah kesehatan mental.
Namun, para peneliti belum mampu memberikan alasan kuat, mengapa kesehatan mental berdampak pada ereksi, tetapi jelas bahwa keadaan psikologis seseorang, merupakan faktor utama dalam kepuasan seksual.
Maka dari itu, Patel menyarankan orang-orang yang mengalami disfungsi ereksi, untuk melakukan percakapan terbuka dan jujur kepada pasangannya, tentang bagaimana hal itu memengaruhi kehidupan mereka.
"Saya pikir nomor satu, jika Anda memiliki dokter perawatan primer atau seseorang yang dapat Anda ajak bicara, langkah pertama adalah mengakui bahwa ini adalah masalah, bagaimana hal itu memengaruhi Anda, dan kemudian mengetahui bahwa ada banyak pilihan pengobatan yang baik," saran Patel.
Obat-obatan seperti Viagra, disebut Patel bisa menjadi pilihan. Namun, jika orang tersebut benar-benar ingin sembuh, maka dapat melakukan implan penis.
Sementara bagi mereka yang mengalami disfungsi ereksi karena tekanan mental, maka dapat berbicara dengan terapis atau melakukan latihan untuk meningkatkan kepercayaan diri.
(Penulis: Rizki Febianto)
Advertisement