Liputan6.com, Jakarta Sebuah studi kecil di Prancis yang dirilis baru-baru ini menemukan hasil pemindaian MRI pasien COVID-19 parah menunjukkan tanda-tanda kelainan mata.
Studi baru tersebut menunjukkan pasien COVID-19 berat mungkin berisiko mengalami masalah mata yang serius. Penelitian tersebut menganalisis 129 pasien yang dirawat di rumah sakit akibat COVID-19 di Prancis, yang menjalani pemindaian otak dengan magnetic resonance imaging (MRI).
Baca Juga
Pemindaian MRI khususnya untuk menunjukkan kelainan yang disebut "nodul" di bagian belakang mata pasien, yang bisa menjadi tanda peradangan atau kerusakan langsung pada mata, kata pemimpin penulis studi Dr. Augustin Lecler, seorang profesor di University of Paris, dikutip dari Livescience.
Advertisement
Penelitian tersebut menemukan 9 orang responden memiliki nodul di makula (berfungsi untuk penglihatan sentral, atau melihat dengan jelas apa yang di hadapan pasien) dan 8 orang responden memiliki nodul bilateral, maksudnya nodulnya ada di kedua mata.
"Masalah mata yang kami temukan berpotensi sangat serius karena terjadi di wilayah makula, yang merupakan wilayah yang bertanggung jawab untuk memberi penglihatan yang jelas dan kemampuan untuk melihat detail yang halus. Jika bertahan, itu berpotensi menyebabkan kehilangan penglihatan yang parah atau bahkan kebutaan," kata Lecler, ahli neuroradiologi di Foundation Adolphe de Rothschild Hospital di Paris.
Â
Simak Video Berikut Ini:
Skrining mata
Berdasarkan temuan tersebut, maka pasien COVID-19 yang parah mungkin perlu menjalani skrining untuk masalah mata, saran peneliti yang tercantum di makalah mereka yang diterbitkan Selasa (16 Februari) di jurnal Radiology.
Peneliti mencatat kemungkinan masalah pada mata yang serius diantara pasien di unit perawatan intensif (ICU) luput dari perhatian karena dokter berfokus pada pengobatan gejala penyakit yang mengancam jiwa.
"Sangat penting untuk diingat bahwa masalah mata bisa tidak dikenali di ICU, dan dokter harus waspada dalam mengidentifikasi terlebih dahulu jika ada masalah orbital (mata) untuk melindungi penglihatan pasien," Dr. Claudia Kirsch, kepala divisi dari neuroradiologi di Northwell Health Zucker Hofstra School of Medicine di Manhasset, New York, tulisnya dalam editorial terkait di jurnal Radiology.
Sebelumnya, COVID-19 pernah dikaitkan dengan gejala mata, seperti konjungtivitis, atau mata merah, serta kerusakan retina mata, yang dikenal sebagai retinopati. Namun studi kali ini yang pertama melaporkan keterkaitan COVID-19 dengan kelainan mata berdasarkan hasil pemindaian MRI.
Dikutip dari CNN, penyebab pasti dari nodul ini tidak jelas, tetapi bisa menjadi tanda kerusakan akibat penyumbatan pembuluh darah atau pendarahan di mata.
Bagaimana virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 dalam menyebabkan kerusakan mata juga tidak diketahui. Mungkin virus ini dapat menginfeksi mata secara langsung karena sel di retina terdapat reseptor yang disebut Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2), yaitu enzim yang menempel pada permukaan luar (membran) sel, yang memungkinkan virus masuk ke dalam sel. Kerusakan penglihatan juga bisa disebabkan oleh respons peradangan tubuh terhadap penyakit.
Penulis juga tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa nodul adalah akibat dari sakit parah. Secara khusus, mereka mencatat bahwa pasien yang menghabiskan waktu di ICU, artinya mereka yang diintubasi dengan selang pernapasan, berisiko mengalami kelainan mata karena peningkatan tekanan pada mata. Sebagian besar pasien dalam penelitian ini adalah mereka yang diintubasi di ICU selama beberapa waktu.
Penelitian ini masih terbatas karena para peneliti tidak menindaklanjuti pasien untuk menentukan apakah kelainan itu bersifat sementara, atau apakah mengakibatkan perubahan penglihatan. Penelitian ini bersifat retrospektif, karena para dokter meninjau catatan pasien setelah kejadian, dan tidak mengikutinya pada waktunya.
Namun, penelitian lebih lanjut kini tengah diproses untuk menindaklanjuti pasien-pasien ini. Sekaligus mereka mempelajari pasien tambahan dengan COVID-19 parah menggunakan MRI serta tes mata yang komprehensif. Mereka juga melakukan penelitian serupa pada pasien dengan kasus COVID-19 ringan, untuk melihat apakah masalah ini khusus untuk kasus penyakit yang parah, kata Lecler.
Advertisement