Liputan6.com, Jakarta - Riset kesehatan dasar atau riskesdas menunjukkan bahwa tren obesitas dan diabetes di Indonesia meningkat dua kali lipat sepanjang satu dekade.
Obesitas meningkat dari 10,3 persen (2007) menjadi 21,8 persen (2018), dan diabetes naik dari 5,7 pada 207 melonjak ke 10,9 persen pada 2018.
Menurut peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Shita Dewi, meningkatnya jumlah individu yang mengalami obesitas dan diabetes tidak hanya berdampak pada produktivitas masyarakat, tapi juga beban pembiayaan pengobatan yang pemerintah tanggung melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam jangka panjang.
Advertisement
Laporan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) pada 2017 menunjukkan bahwa 10,8 juta peserta adalah pengidap diabetes. Pembiayaan layanan penyakit katastropik (penyakit yang butuh biaya tinggi) mencapai Rp14,6 triliun atau 21,8 persen dari total anggaran pelayanan kesehatan.
Baca Juga
Lebih lanjut, dalam situasi pandemi ini, orang dengan penyakit tidak menular memiliki risiko lebih tinggi untuk terinfeksi dan mengalami keparahan akibat COVID-19.
“Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah untuk meningkatkan upaya-upaya pencegahan penyakit tidak menular,” kata Shita dalam keterangan pers Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), ditulis Senin (11/10/2021).
Akibat Minuman Manis
Salah satu penyebab tingginya angka obesitas dan diabetes adalah minuman bergula dalam kemasan (MBDK) atau minuman manis.
Indonesia menjadi negara dengan konsumsi MBDK ketiga tertinggi di Asia Tenggara dengan konsumsi sebanyak 20,23 liter per orang per tahun.
Maka dari itu, untuk mengendalikan konsumsi MBDK maka beberapa pihak mengusulkan adanya penerapan cukai.
Sejalan dengan itu, CISDI melihat adanya peluang memasukkan cukai MBDK pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 setelah disahkannya Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Kamis (7/10).
Project Lead Food Policy CISDI, Ayu Ariyanti, mengatakan, meski cukup disayangkan cukai MBDK tidak secara eksplisit dimasukkan dalam UU HPP, tetapi ia optimis masih ada peluang menambahkannya ke daftar Barang Kena Cukai (BKC) pada tahun depan.
“Ini sejalan dengan paparan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengatakan bahwa pemerintah membuka kesempatan penambahan BKC dalam penyusunan RAPBN,” katanya dalam keterangan tertulis.
“Karenanya, kami mendesak pemerintah untuk segera menindaklanjuti UU HPP dengan mengajukan cukai MBDK demi meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia,” sambungnya.
Advertisement
Cukai Dorong Perubahan Perilaku
Ayu khawatir penambahan dan penerapan cukai MBDK akan tertunda seperti cukai plastik. Padahal, sangat penting bagi Indonesia untuk segera mengendalikan konsumsi minuman manis yang memiliki kaitan erat dengan prevalensi diabetes dan obesitas, lanjutnya.
Lebih lanjut, cukai adalah salah satu instrumen kebijakan yang dapat mendorong perubahan perilaku, baik perilaku konsumen maupun produsen.
Pendapatan dari cukai yang di-earmarked untuk sektor kesehatan juga berpotensi menjadi sumber baru untuk pembiayaan kesehatan. Cukai menjadi salah satu opsi kebijakan yang membuktikan peran multisektor untuk mendukung upaya pemerintah dalam mengendalikan penyakit tidak menular, pungkasnya.
Infografis Obesitas
Advertisement