Liputan6.com, Jakarta - Mantan Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama menanggapi terkait COVID-19 varian Delta Plus atau varian AY.4.2.
Menurutnya, hal pertama yang perlu dipahami dari varian Covid satu ini adalah penggunaan istilah AY.4.2 yang lebih spesifik.
“Varian ini boleh saja disebut Delta Plus, tapi saya lebih menganjurkan penyebutannya menyertakan AY.4.2 karena ini adalah turunan lain dari Delta Plus yang pernah ditemukan," kata Tjandra kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon.
Advertisement
Baca Juga
"Istilah AY.4.2 lebih spesifik karena bukan tidak mungkin akan ada lagi teman-teman dari varian Delta yang disebut Delta Plus,” Tjandra menambahkan.
Hal kedua, varian ini memang sudah dilaporkan di Malaysia dan Singapura. Namun, sejauh ini Kementerian Kesehatan belum mengumumkan secara resmi bahwa varian AY.4.2 ada di Indonesia.
“Apakah mungkin atau tidak mungkin, saya tentu saja tidak tahu," katanya.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
#sudahdivaksintetap3m #vaksinmelindungikitasemua
Usulan Tjandra
Sementara belum terdeteksi di Indonesia, Tjandra mengusulkan untuk memperbanyak pemeriksaan whole genome sequencing (WGS).
“Supaya kalau ada, akan bisa terdeteksi.”
Varian AY.4.2 relatif baru sehingga antisipasinya belum diketahui banyak. Namun, yang sudah diketahui pasti adalah 10 hingga 15 persen lebih mudah menular.
“Terkait dia lebih berat atau enggak kita belum tahu, apa dia memengaruhi vaksin atau enggak kita belum tahu, tapi kita tahu 10 sampai 15 persen lebih mudah menular, jadi antisipasinya untuk masyarakat umum tetap protokol kesehatan dengan ketat.”
Tjandra menambahkan, tingkat keganasan dan hal-hal lain terkait AY.4.2 tidak hanya belum di ketahui di Indonesia tapi juga di seluruh dunia.
“Saya enggak bicara Indonesia saja, dunia juga belum tahu apa lebih ganas atau tidak.”
Advertisement
Menurut Ahli Lain
Senada dengan Tjandra, Direktur Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Profesor Amin Soebandrio mengatakan bahwa keganasan COVID-19 varian Delta Plus AY.4.2 belum bisa digambarkan karena belum terdeteksi di Indonesia.
“Saat ini karena belum ada di Indonesia, kita tidak bisa menggambarkan data seperti itu. Namun, jika dilihat dari varian Delta pada umumnya, yang terjadi di luar (negeri) itu tidak terjadi di Indonesia,” ujar Amin kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Kamis (11/11/2021).
Artinya, lanjut Amin, tidak semua infeksi COVID-19 yang diakibatkan varian Delta itu berat dan tidak semua yang berat itu karena Delta.
Dengan kata lain, Amin berpendapat bahwa jika Delta Plus AY.4.2 disebut lebih ganas di negara lain, hal ini belum tentu sama jika virus tersebut ada di Indonesia.
“Varian ini dikhawatirkan lebih cepat menular 10 persen ketimbang Delta lainnya, tapi sekali lagi itu tidak selalu dikaitkan dengan berat ringannya kasus,” katanya.
“Karena belum ada di Indonesia, kita belum mengetahui bagaimana perangai varian itu di masyarakat," katanya.
Infografis 6 Cara Hindari COVID-19 Saat Bepergian dengan Pesawat
Advertisement