Liputan6.com, Jakarta - Akibat infeksi COVID-19 pada anak, kini terdapat kondisi yang disebut MIS-C (Multisystem Inflammatory Syndrome in Children).
Dokter Spesialis Anak dr. Lucia Nauli Simbolon, M.Sc, Sp.A menjelaskan, MIS-C merupakan kondisi dimana banyak organ tubuh yang mengalami peradangan pada anak yang sebelumnya terkena COVID-19. Keluhannya pun beragam mulai dari ringan ke berat, seperti demam, nyeri, sulit bernapas, kebiruan atau pucat, yang dapat menyebabkan kondisi kritis hingga dapat menyebabkan anak meninggal dunia.
Baca Juga
“Terdapat sekitar 0,14% anak yang dinyatakan MIS-C, sedikit ya sepertinya, tapi jangan sampai anak terkena, akan sedih sekali,” imbuhnya, saat Webinar Ruang Keluarga SoKlin Antisep yang bertajuk “PTM di Tengah Kasus Omicron yang Beranjak Naik, Bagaimana OrangTua Menyikapinya?”.
Advertisement
Oleh karena itu, kata Lucia, kita wajib menjaga kesehatan anak. Orang tua harus menumbuhkan gaya hidup aktif terhadap anak.
“Anak-anak direkomendasikan bergerak aktif 1 jam sehari, sedangkan dewasa 30 menit sehari untuk aktivitas fisik,” tegasnya. Orang tua juga harus membatasi waktu gawai anak-anak, memastikan anak memiliki tidur yang cukup dan berkualitas, makanan bergizi dan seimbang, cairan cukup, pemanfaatan energi secara tepat, mendapatkan dukungan mental dan sosial, serta vaksinasi secara lengkap," jelasnya.
Pentingnya Vaksinasi
Menurut Lucia, varian virus corona terus bermutasi sehingga vaksinasi sangat dianjurkan untuk mencegah keparahan penyakit akibat COVID-19.
"Meskipun data pastinya belum lengkap untuk Omicron, namun yang jelas pemberian vaksinasi COVID-19 91% efektif mencegah terjadinya kejadian MIS-C pada anak. Oleh kerenanya, kita harus merubah gaya hidup menjadi lebih bersih dan sehat,” katanya.
Ia juga menuturkan, sejauh ini tidak ada efek samping yang berbahaya untuk vaksinasi anak. “Kondisi kesehatan anak dipengaruhi oleh multi-faktor ya, mulai dari asupan bergizi dan seimbang, minum yang cukup, prokes, serta vaksinasi berbagai penyakit,” terang dr. Lucia.
Selain vaksinasi, menurutnya, pelaksanaan PTM dalam kelompok belajar kecil memudahkan proses contact tracing jika terdapat kasus positif.
“Batasi interaksi yang tidak berarti. Jam masuk dan keluar diatur bertahap, sehingga tidak ada kerumuman. Selain itu, perhatikan secara lebih kondisi kesehatan anak yang memiliki penyakit komorbid, dimana obesitas sudah termasuk komorbid,” terangnya.
Sesuai rekomendasi IDAI, selain penerapan protokol kesetahan yang baik dan tepat, pelaksanaan PTM terbatas dapat dilakukan dengan catatan bahwa semua guru dan petugas sekolah sudah divaksinasi dengan lengkap. Begitu pula dengan para peserta didik yang dapat hadir hanya jika sudah divaksin lengkap dan tanpa komorbid.
Ia menambahkan, idealnya anak usia 12-18 tahun dapat menjalani PTM terbatas 100% dengan catatan tidak adanya peningkatan kasus COVID-19 dan tranmisi lokal Omicron.
"Untuk anak usia 6-11 tahun, proses pembelajaran idealnya dilaksanakan secarahybrid (50% luring dan 50% daring) dan untuk usia 6 tahun ke bawah belum dianjurkan pelaksanaan PTM. Sekolah dan pemerintah memberikan kebebasan kepada orang tua untuk memilih PTM atau belajar secara daring, tidak boleh ada paksaan," pungkasnya.
Advertisement