BOR COVID-19 Omicron Masih Terkendali, Epidemiolog Ingatkan soal Kematian di Rumah

Epidemiolog ingatkan pentingnya active case finding untuk menghindari kematian di rumah akibat COVID-19.

oleh Diviya Agatha diperbarui 20 Feb 2022, 09:57 WIB
Diterbitkan 18 Feb 2022, 16:30 WIB
Petugas Medis Tangani Pasien Virus Corona di Ruang ICU RS Wuhan
Han Yi, petugas medis dari Provinsi Jiangsu, bekerja di bangsal ICU Rumah Sakit Pertama Kota Wuhan di Wuhan, Provinsi Hubei, 22 Februari 2020. Para tenaga medis dari seluruh China telah mengerahkan upaya terbaik mereka untuk mengobati para pasien COVID-19 di rumah sakit tersebut. (Xinhua/Xiao Yijiu)

Liputan6.com, Jakarta - Sejak merebaknya kasus Omicron di Indonesia, penanganan COVID-19 banyak dialihkan ke rumah lewat isolasi mandiri (isoman) dan didampingi layanan telemedicine.

Pada Rabu, 16 Februari 2022, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, meski kasus COVID-19 varian Omicron telah melebihi kasus harian pada gelombang Delta, keterisian tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR) di rumah sakit masih terkendali.

Sejauh ini, BOR di RS rujukan COVID-19 masih berada pada angka 33,41 persen dan lebih rendah dibandingkan dengan gelombang Delta pada Juli 2021 lalu.

Terkait hal tersebut pun, Epidemiolog Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengingatkan bahwa hal tersebut tidak dapat menjadi satu-satunya patokan dalam penanganan COVID-19 pada gelombang Omicron.

"Hal lain yang harus dipahami adalah Indonesia itu enggak bisa hanya melihat 'Oh rumah sakit kosong' karena orang Indonesia karakternya enggak mudah ke rumah sakit, karakternya ngobatin sendiri, tinggal di dalam rumah, bukan ke rumah sakit," ujar Dicky pada Health Liputan6.com, Jumat (18/2/2022).

"Nah ini yang harus dipahami. Sehingga kunjungan rumah, active case finding harus aktif dilakukan karena kalau tidak nanti kematian di rumah banyak," tambahnya.

Terlebih, menurut Dicky, potensi tekanan pada masa gelombang Omicron ini juga tetap ada. Terutama dari kelompok rawan seperti lansia, komorbid, dan belum mendapatkan vaksinasi.

Hal tersebut dianggap menjadi bahaya dan harus dimitigasi dengan tepat. Apalagi menurutnya, Indonesia juga belum mencapai titik puncak gelombang Omicron.

"Ini yang berbahaya dan harus dimitigasi. Ini trennya belum melewati puncak juga, baru akan untuk potensi-potensi ledakan. Sehingga harus segera dicegah (kenaikan kasusnya)," kata Dicky.

Skrining kelayakan

Dalam kesempatan yang sama, Dicky menjelaskan bahwa saat pasien COVID-19 menjalani isoman, maka penting untuk melakukan skrining kelayakan.

"Isoman ini juga harus dipastikan dengan adanya screening dengan masalah kelayakan dari sisi teknis dan klinis, sehingga tidak jadi korban."

"Kunjungan rumah, telemedisin, dilibatkan juga relawan dan ormas (organisasi masyarakat) atau organisasi yang bisa membantu. Itu menjadi sangat penting," ujarnya.

Tak hanya itu, ia pun mengungkapkan, hal-hal tersebut harus dibangun dengan strategi komunikasi risiko yang efektif. Sehingga masyarakat pun dapat memahami potensi yang bisa muncul.

"Semua itu harus dibangun dengan strategi komunikasi risiko yang efektif, sehingga terbangun kesadaran (pada masyarakat). Tidak happy talk atau yang enak-enak saja. Sampaikan apa potensi buruknya, kelemahannya, sehingga kita jadi tahu situasi apa yang sedang dihadapi," pungkasnya.

Infografis

Infografis 8 Fakta Covid-19 Varian Omicron
Infografis 8 Fakta Covid-19 Varian Omicron (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya