[Kolom Pakar] Prof Tjandra Yoga Aditama: Tiga Usul tentang Kematian di Masa Omicron

Kementerian Kesehatan RI pada 22 Feb 2022, menyampaikan total kasus kematian COVID-19 sejak wabah Omicron merebak mencapai 2.484 jiwa.

oleh Prof Tjandra Yoga Aditama diperbarui 19 Des 2022, 20:55 WIB
Diterbitkan 23 Feb 2022, 15:00 WIB
Prof Tjandra Yoga Aditama
Prof Tjandra Yoga Aditama. Dok.pribadi

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan RI pada 22 Feb 2022, menyampaikan total kasus kematian COVID-19 sejak wabah Omicron merebak mencapai 2.484 jiwa. Dari yang meninggal itu maka 46% memiliki komorbid, dengan kata lain lebih dari separuhnya  (54%) tidak memiliki komorbid.

Artinya penyakit memberat sampai menuju kematian memang tidak sepenuhnya karena adanya komorbid. Disebutkan juga bahwa yang meninggal 53% adalah lansia.

Data ini kembali menunjukkan bahwa hampir separuh (47%) yang meninggal bukanlah kelompok umur lansia, jadi ancaman penyakit berat sampai meninggal memang dapat terjadi di berbagai kelompok umur. Kita tentu menyadari bahwa mungkin saja ada gabungan antara yang lansia, dengan komorbid, dan belum divaksinasi lengkap pula.

Memang kita sepenuhnya setuju dengan penjelasan bahwa angka kematian kini jauh lebih rendah daripada waktu varian Delta tahun lalu, tetapi ada dua hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, setiap nyawa yang hilang tentu amat berharga dan tidak dapat tergantikan dengan apapun juga. Kedua, angka kematian terus naik dari hari ke hari. Kita amat berduka karena pada 11 Februari 2022 ada 100 orang warga kita yang wafat karena COVID-19, dan tidak sampai seminggu maka pada 17 Februari angkanya naik dua kali lipat menjadi 206 kasus, dan pada 18 Februari naik lagi jadi 216 yang meninggal.

 

Duka cita mendalam

Memang tanggal 19, 20 dan 21 Februari angkanya turun dibawah 200 orang, tetapi kemarin 22 Februari 2022 kita tentu berduka cita mendalam dengan wafatnya 257 warga kita, jumlah tertinggi di masa Omicron.

Pada 6 Januari 2022 ada 4 warga yang wafat karena COVID-19, jadi sekarang sudah meningkat lebih 50 kali lipat. Sekali lagi kita sepenuhnya sepakat bahwa jumlah yang wafat ini jauh lebih rendah daripada waktu Delta yang lalu karena memang varian Omicron tidaklah seberat Delta, tetapi dua pertimbangan di atas untuk memandang kematian ini perlu kita resapkan, tidak semata-mata hanya melihat perbandingan angkanya saja.

Karena itu kembali kita usulkan tiga hal dalam pengendalian kematian ini. Pertama, melakukan analisa mendalam di 4 aspek,

1) audit kematian untuk menentukan “cause of death (COD)”,

2) analisa perjalanan penyakit sejak tertular, timbul gejala ringan sampai berat dan meninggal,

3) jenis varian dan bila mungkin jenisnya (BA.1 atau BA.2 dll),

4) empat apakah ada “patient’s delay”, “health service delay” dan kalau ada berapa lama “total delay”.Ke dua, karena BOR sekarang masih sekitar 30% dan itupun belum dari kapasitas maksimal maka baiknya sekarang mereka yang ringan tetapi punya risiko menjadi berat sebaiknya dirawat inap di RS saja.

Nanti kalau BOR jauh meningkat maka baru aturan dikembalikan lagi menjadi hanya kasus sedang dan berat.Usul ke tiga yang meliputi 3 aspek,

1) tentu pembatasan sosial dan perilaku 3/5 M  harus tetap dijaga ketat,

2) Tes dan Telusur terus ditingkatkan secara merata, dan

3) vaksinasi harus terus digalakkan, termasuk booster yang sampai 22 Feb 2022 cakupannya baru 4,24%.

 

 

 

**Penulis adalah Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI / Guru Besar FKUI, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Mantan DirJen P2P dan Mantan Kepala Balitbangkes Kementerian Kesehatan

Infografis 6 Cara Efektif Hadapi Potensi Penularan Covid-19 Varian Omicron. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis 6 Cara Efektif Hadapi Potensi Penularan Covid-19 Varian Omicron. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya