Liputan6.com, Jakarta Seperti diketahui, persyaratan untuk melakukan tes antigen maupun PCR bagi perjalanan domestik sudah tidak lagi diberlakukan. Pemeriksaan (testing) COVID-19 pun akhirnya mengalami penurunan.
Hal tersebut sebelumnya dikonfirmasi oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI Luhut Binsar Pandjaitan dalam konferensi pers Hasil Evaluasi PPKM pada Senin, 14 Maret 2022 lalu.
Baca Juga
Kolesterol Tinggi dan Mati Rasa pada Kaki, Ini 10 Tanda Bahaya yang Harus Anda Waspadai
Ikuti Kebiasaan Prilly Latuconsina Minum Kopi Hitam, Bantu Turun 10 Kg dan Jaga Kolesterol, Asam Urat, serta Gula Darah
Kolesterol Dilarang Makan Apa? Wamenkes Dante Saksono Ungkap Makanan yang Harus Dihindari untuk Jantung Sehat
"Pemerintah juga menyampaikan bahwa jumlah orang yang diperiksa mengalami penurunan, seiring dengan tidak diberlakukannya lagi syarat antigen untuk perjalanan," ujar Luhut.
Advertisement
Terkait hal tersebut, Epidemiolog Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia, Dicky Budiman mengungkapkan bahwa menurunnya tes COVID-19 sebenarnya jadi hal yang berbahaya.
"Tes menurun drastis dan bahkan terjun bebas. Ini berbahaya sebetulnya, karena meskipun tidak mesti semasif sebelumnya pada masa Delta, tapi tes harus dijaga konsistensinya terutama pada kelompok beresiko," ujar Dicky dalam keterangan pada Health Liputan6.com ditulis Rabu, (23/3/2022).
"Ini menjadi sangat penting. Tes itu kan menjadi mata kita, menjadi radar kita untuk tidak hanya melihat karakter virus tapi keberadaan varian baru, keefektifan dari strategi," tambahnya.
Tak hanya itu, Dicky mengungkapkan bahwa seiring dengan adanya penurunan testing, positivity rate di Indonesia juga masih belum dibawah lima persen.
"Itu menunjukkan bahwa kasus yang terjadi di masyarakat jauh lebih tinggi, lebih besar daripada yang ditemukan," kata Dicky.
Sehingga sebenarnya dalam hal menentukan bahwa Indonesia sudah aman dan siap dalam fase transisi menuju endemi COVID-19 pun menjadi tidak begitu kuat.
Ancaman masih ada
Di sisi lain, Dicky menjelaskan bahwa varian BA.2 yang sedang meningkat di negara lain bukan berarti bahwa Indonesia tidak akan ikut mengalami.
"Kita di global ancamannya meningkat dengan adanya BA.2 yang terbukti (meningkat) di Eropa dan sebagian, ini bisa menjadi pemicu gelombang berikutnya," ujar Dicky.
"Di Indonesia bukan tidak mungkin meskipun misalnya hanya terjadi pada level provinsi dan lebih pada kelompok yang beresiko. Tapi dampaknya bisa serius karena orang bisa masuk rumah sakit, ICU, bisa meninggal," tambahnya.
Meskipun Indonesia dapat dikatakan telah melewati masa-masa kritis, menurutnya, bukan berarti kondisi juga telah sepenuhnya aman dan menyelesaikan pandemi COVID-19.
Advertisement