Liputan6.com, Jakarta Ahli epidemiologi Dicky Budiman menjelaskan, untuk mengetahui perkembangan atau berakhirnya masa krisis pandemi COVID-19 di suatu negara dengan melihat 5 indikator.
Kelima indikator itu adalah terkait surveilans, lanskap imunitas, potensi gelombang, tren kemunculan varian, dan terkait masalah ketersediaan obat serta terapi menyeluruh.
Baca Juga
“Dari lima itu, yang pertama adalah dari sisi surveilansnya, apakah COVID-19 masih mendominasi di wilayah itu dibanding infeksi saluran napas lainnya? Kalau tren dominasinya semakin berkurang, berarti baik,” ujar Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara ditulis Selasa (7/6/2022).
Advertisement
Indikator kedua, dilihat dari lanskap imunitas, bagaimana cakupan vaksinasinya, bukan hanya dosis pertama tapi juga dosis kedua dan ketiga.
“Dalam analisa saya, yang proporsinya ideal adalah dua dosisnya di atas 80 persen total populasi dan booster-nya setidaknya 50 persen sebelum akhir tahun ini. Kemudian, 70 persen untuk populasi risiko tinggi yang sudah tiga dosis.”
Indikator ketiga dilihat dari bagaimana gelombang yang terjadi dari varian-varian yang muncul, seperti varian Omicron dan potensi varian lain ke depannya.
“Ini harus dilihat ya, karena ada kecenderungan perubahan siklus. Nah di Juni ini apakah ada potensi-potensi gelombang? Ini yang tentu kaitannya dengan surveilans, maka deteksi dini dan tracing menjadi sangat penting.”
Indikator keempat terkait tren kemunculan varian atau subvarian yang berpotensi mengubah peta situasi. Ini perlu didukung dengan surveilans genomik yang memadai.
“Saat ini, secara global tren virulensinya meningkat, pada BA.4 dan BA.5 tidak melemah tapi meningkat. Beruntungnya, lanskap imunitas kita semakin baik.”
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Ketersediaan Obat dan Terapi Menyeluruh
Indikator kelima adalah terkait ketersediaan obat dan terapi menyeluruh. Ini berkaitan dengan akses terhadap antiviral.
“Ini masih menjadi masalah khususnya bagi negara-negara berkembang atau miskin termasuk Indonesia karena harga mahal dan aksesnya sulit.”
Dicky menyimpulkan, dilihat dari 5 indikator tersebut sebetulnya dunia kini sudah menunjukkan perbaikan, tapi masing-masing indikator itu masih belum seimbang atau belum menunjukkan perkembangan yang sama.
“Dalam konteks Indonesia, setidaknya berita baiknya adalah kita on track dalam kebijakan-kebijakan. Namun, konsistensi dari kebijakan-kebijakan itu masih menjadi isu. Ini yang bisa mengubah situasi.”
“Pelonggaran yang terlalu berlebihan, pengangkatan intervensi, menganggap situasi membaik, ini bisa menimbulkan kembali lonjakan-lonjakan.”
Dicky pun tetap pada analisanya bahwa kemungkinan pencabutan status pandemi paling cepat adalah di akhir tahun ini. Itu pun jika perkembangannya tetap baik dan tidak ada hal-hal yang memicu lonjakan kasus baru.
“Secara prediksi, setidaknya paling cepat, kalau situasi optimis, akhir tahun ini bisa dicabut status pandeminya,” ujar Dicky.
Advertisement
Pencabutan Status Pandemi
Dicky juga mengatakan, status pandemi dapat dicabut ketika sepertiga negara di dunia berada dalam level endemi atau terkendali (sporadis).
“Jika mayoritas negara masih epidemi maka pandeminya masih berjalan lama,” kata Dicky.
Endemi artinya negara masuk ke dalam indikator di mana angka reproduksinya paling tinggi satu, dengan test positivity rate di bawah 5 persen. Kasus kematian juga tidak dalam tren meningkat, semakin menurun atau dalam angka yang rendah,
“Ini adalah kondisi yang memadai untuk masuk ke status endemi. Ini endemi dalam kondisi real-nya, tapi secara global masih pandemi.”
Sedangkan, terkait kondisi terkendali atau sporadis, Dicky menjelaskan bahwa hal ini ditandai dengan tidak adanya kasus selama berbulan-bulan atau berminggu-minggu. Baik kasus kematian maupun kesakitan.
“Ini yang harus dicapai oleh dunia. Kalau sepertiga negara di dunia sudah dalam level terkendali maka status pandemi bisa dicabut.”
Penetapan dan pencabutan status pandemi sendiri adalah kewenangan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Hal ini diatur dalam konvensi International Health Regulation.
“Jadi apapun yang terjadi, sebelum WHO mencabut status pandemi ya secara hukum global COVID ini tetap pandemi.”
Jika Terus Terkendali
Di sisi lain, pencabutan status pandemi memerlukan upaya bersama yang dimulai dari masing-masing negara.
Pencabutan status pandemi menjadi epidemi, endemi, atau terkendali tergantung pada penanganannya, lanjut Dicky.
"Ini bergantung pada bagaimana cakupan vaksinasi. Jika ingin mendekati status terkendali maka setidaknya 90 persen total populasi sudah vaksinasi lengkap, 70 persen sudah tiga dosis, atau 90 persen kelompok berisiko sudah vaksin.”
Peluang pencabutan status pandemi juga tergantung pada surveilans yang terus meningkat ditambah perilaku masyarakat sudah lebih disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Dalam keterangan berbeda, mantan Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama juga memberi tanggapan soal transisi pandemi ke endemi.
"Jelas kasus sudah melandai, kematian sudah ditekan, positivity rate sudah rendah dan reproductive number dikabarkan sudah di bawah satu. Kalau semua angka tetap landai dalam beberapa bulan ke depan maka tentu situasi akan terkendali," ujar Tjandra kepada Health Liputan6.com melalui pesan tertulis pada Sabtu, 14 Mei 2022.
Dia, menambahkan, status endemi dapat dicapai ketika angka-angka tersebut bisa tetap landai dalam beberapa bulan dan tidak ada varian baru COVID-19.
"Kalau angka-angka dapat tetap landai beberapa bulan dan juga kalau tidak ada varian baru," Tjandra Yoga menekankan.
Advertisement