Liputan6.com, Jakarta Paxlovid sudah mengantongi izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai obat COVID-19.
"Paxlovid yang disetujui berupa tablet salut selaput dalam bentuk kombipak, yang terdiri dari Nirmatrelvir 150 mg dan Ritonavir 100 mg dengan indikasi untuk mengobati COVID-19 pada orang dewasa yang tidak memerlukan oksigen tambahan dan yang berisiko tinggi terjadi progresivitas menuju COVID-19 berat," ujar Kepala BPOM RI, Penny K Lukito melalui siaran pers pada Minggu, 17 Juli 2022.
Baca Juga
Terkait hal ini, ahli epidemiologi Dicky Budiman memberikan tanggapan. Menurutnya, Paxlovid memiliki efektivitas hingga 89 persen dalam menurunkan risiko sakit parah pada pasien COVID-19. Hal ini sudah dibuktikan oleh riset dan uji klinik.
Advertisement
“Namun ada syaratnya, efektivitasnya akan terbangun seperti hasil riset (89 persen) kalau dikonsumsi di lima hari pertama atau kurang dari 5 hari sejak terinfeksi COVID. Jadi isunya di sini adalah deteksi dini. Dan bicara deteksi dini di Indonesia itu masih PR besar,” ujar Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara dikutip Selasa (19/7/2022).
Karena, lanjut Dicky, deteksi dini mencakup literasi, testing, dan tracing untuk menemukan kasus-kasus baru dengan cepat. Sedangkan, Paxlovid jika diberikan lebih dari lima hari setelah infeksi maka sudah tidak terlalu efektif. Artinya, pasien tetap bisa mengalami gejala parah atau bahkan meninggal.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Keterbatasan Paxlovid
Dicky juga menyampaikan beberapa keterbatasan Paxlovid lainnya. Dari sisi harga, obat ini terbilang mahal dan jumlahnya terbatas.
“Selain itu, dalam konsumsinya juga ini kan obat yang masih dalam uji investigasi khususnya pada pasien yang sudah divaksinasi, bagaimana dampaknya, bagaimana efeknya, efek sampingnya juga masih dalam uji.”
“Jadi pemberian Paxlovid ini harus betul-betul diprioritaskan pada kelompok atau orang yang memang berisiko tinggi mengalami gejala parah maupun kematian.”
Kelompok risiko tinggi seperti lanjut usia (lansia) dan komorbid menjadi kelompok yang harus dilindungi, selain dengan vaksinasi juga dengan Paxlovid. Dengan kata lain, penggunaan Paxlovid harus sangat dibatasi hanya pada kelompok tersebut.
“Karena, jika ini digunakan secara umum dan tidak terkendali, dampak bahaya lain dari penggunaan Paxlovid ini adalah adanya resistensi, adanya varian subvarian yang resisten terhadap Paxlovid ini.”
Jika virus resisten terhadap obat ini maka akan merugikan. Pasalnya, orang yang tadinya bisa dicegah kematiannya atau keparahannya menjadi tidak bisa karena virusnya sudah resisten atau memiliki ketahanan terhadap obat.
Advertisement
Anjuran Dosis
Dalam konteks tersebut, maka penggunaan yang selektif harus atas rekomendasi atau pengawasan dokter. Di sisi lain, kemampuan literasi pada kelompok rentan harus bagus dan deteksinya harus cepat, kata Dicky.
Sebelumnya, BPOM RI telah resmi mengeluarkan Izin Penggunaan Darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) untuk Paxlovid sebagai obat COVID-19 di Indonesia.
Paxlovid merupakan obat berbentuk tablet yang dikembangkan dan diproduksi oleh Pfizer. Sebelumnya, BPOM juga telah menerbitkan EUA untuk obat antivirus Favipiravir, Remdesivir, antibodi monoklonal Regdavimab, dan Molnupiravir.
Penny mengungkapkan bahwa terdapat anjuran dosis untuk penggunaan Paxlovid yang dapat dikonsumsi selama dua kali sehari dalam lima hari.
"Adapun dosis yang dianjurkan adalah 300 mg Nirmatrelvir (dua tablet 150 mg) dengan 100 mg Ritonavir (satu tablet 100 mg) yang diminum bersama-sama dua kali sehari selama 5 (lima) hari,” kata Penny.
Berdasarkan hasil kajian terkait keamanan, Paxlovid secara umum aman dan dapat ditoleransi. Efek samping yang berpotensi muncul juga masih dalam kategori ringan dan sedang.
Efek Samping
Efek samping dengan kategori ringan dan sedang yang paling sering dilaporkan adalah dysgeusia atau gangguan indra perasa (5,6 persen), diare (3,1 persen), sakit kepala (1,4 persen), dan muntah (1,1 persen).
Sedangkan dari sisi efikasi, hasil uji klinik fase 2 dan 3 menunjukkan bahwa Paxlovid dapat menurunkan risiko hospitalisasi (rawat inap) atau kematian sebesar 89 persen pada pasien dewasa COVID-19 yang tidak dirawat di rumah sakit dengan komorbid (penyakit penyerta).
Komorbid yang berkaitan dengan peningkatan risiko ini seperti lansia, obesitas, perokok aktif, riwayat penyakit jantung, diabetes, atau gangguan ginjal.
Dalam kesempatan tersebut, Penny juga mengapresiasi kontribusi dan dukungan yang diberikan oleh pihak terkait seperti Tim Ahli Komite Nasional Penilai Obat serta asosiasi klinisi yang telah mengkaji secara intensif hingga disetujuinya EUA Obat Paxlovid tablet salut selaput.
Penggunaan Paxlovid di Indonesia juga akan terus dipantau oleh BPOM dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI kedepannya.
Badan POM juga melakukan pengawasan terhadap rantai pasokan Paxlovid agar keamanan, khasiat, dan mutu obat yang beredar dapat dipertahankan, serta mencegah penggunaannya secara ilegal.
Advertisement