Liputan6.com, Jakarta - Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melaporkan bahwa kasus gangguan ginjal akut misterius atau Acute Kidney Injury Unknown Origin (AKIUO) kini menjadi 192.
“Totalnya ada 192, ini bukan berarti kasus barunya tiba-tiba melonjak, bukan ya. Tapi ini data yang baru dilaporkan ke kami yah karena kita tahu data IDAI ini dari laporan anggota sehingga datanya ya memang update-nya kadang banyak,” ujar Ketua IDAI Piprim Basarah dalam konferensi pers virtual, Selasa (18/10/2022).
Baca Juga
Angka ini terhitung sejak Januari hingga hari ini, yakni 18 Oktober 2022. Berikut rincian penambahan kasus per bulan:
Advertisement
- Januari 2 kasus
- Februari nihil
- Maret 2 kasus
- April 0 kasus
- Mei 6 kasus
- Juni 3 kasus
- Juli 9 kasus
- Agustus 37 kasus
- September 81 kasus.
“Mohon maaf ini data anggota jadi bukan data real time yang bisa ikuti secara seksama. Walaupun ini angkanya terlihat tinggi tapi ini kumulatif dari sebelumnya.”
Dari 20 Provinsi
Ia menambahkan bahwa data ini dilaporkan dari 20 provinsi. Hingga sore ini, provinsi yang menyumbang kasus terbanyak adalah:
- DKI Jakarta 50 kasus
- Jawa Barat 24 kasus
- Jawa Timur 24 kasus
- Sumatera Barat 21 kasus
- Aceh 18 kasus
- Bali 17 kasus.
Sedangkan, provinsi lainnya menyumbang 1 hingga 2 kasus.
Kasus gangguan ginjal akut masih didominasi kelompok usia bawah lima tahun atau balita. Sedangkan, di Jakarta, kasus tertua terjadi pada anak usia 8 hingga 9 tahun.
“Komposisi kasusnya masih sama, balita 1 sampai 5 tahun. Gejala klinisnya juga sama, memenuhi kriteria gangguan ginjal akut misterius,” kata Piprim.
Penyebab Belum Ditemukan
Piprim juga menegaskan bahwa hingga kini penyebab gangguan ginjal akut masih belum ditemukan.
“Kalau bicara masalah penyebab, ini kan masih ada beberapa teori ya. Ada yang MISC, ada juga kecurigaan terhadap obat-obatan yang mengandung etilen glikol ini juga sedang kita periksa.”
Artinya, hingga kini belum konklusif atau belum dapat disimpulkan penyebab tunggal dari gangguan ginjal akut. Belum bisa disebut pula bahwa penyebabnya adalah obat batuk paracetamol sirup, katanya.
“Kita belum berani menyimpulkan ke satu penyebab tunggal, masih investigasi.”
“Akan tetapi memang belajar dari adanya kasus Gambia belajar juga dari kecurigaan etilen glikol yang salah satunya dilaporkan paracetamol sirup, maka sebagai kewaspadaan dini IDAI mengeluarkan rekomendasi tidak menggunakan dulu paracetamol sirup.”
Advertisement
Terkait Kasus Gambia
Kasus gangguan ginjal akut yang masih misterius ini dikait-kaitkan pula dengan kasus kematian 70 anak di Gambia. Anak-anak tersebut meninggal dunia akibat cedera ginjal akut usai meminum obat batuk buatan India.
Terkait hal ini, Sekretaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi IDAI Eka Laksmi Hidayati mengatakan bahwa pihaknya menyadari adanya kasus di Gambia.
“Kami juga menyadari ada data mengenai kejadian yang mirip di Gambia, kami juga sudah menginvestigasi berbagai obat-obat,” ujar Eka dalam konferensi pers virtual, Selasa (11/10/2022).
Hasil investigasi IDAI menyatakan, tidak ada obat-obatan yang serupa dengan obat batuk buatan India yang diduga menyebabkan kematian anak-anak Gambia.
“Mungkin ini akan ada rilis juga dari Kementerian Kesehatan bahwa tidak ada obat-obatan yang serupa dengan yang di Gambia.”
Ia menambahkan, obat batuk yang diproduksi di India itu tidak beredar di Indonesia.
“Obat-obat yang diproduksi di India itu tidak beredar di Indonesia, bahan baku obat di Indonesia juga tidak ada yang berasal dari India,” jelas Eka.
Soal Isu Penghentian Paracetamol
Belum lama, beredar kabar soal Piprim yang disebut hentikan sementara penggunaan paracetamol cair untuk anak.
Menurut Piprim, pernyataan soal penghentian sementara paracetamol cair tidak benar.
“Mohon maaf tidak seperti itu beritanya, saya cerita kasus di Yogyakarta itu ada kakak adik. Kakaknya yang minum paracetamol sirup dia enggak apa-apa, adiknya yang enggak minum obat apa-apa dia kena AKI dan meninggal,” ujar Piprim.
“Makanya kita enggak bisa bilang ini gara-gara paracetamol sirup, belum tentu. Makanya hati-hati kita menyimpulkan. Walaupun saya menyebut sebagai kewaspadaan dini, enggak bisa kemudian diartikan dilarang.”
Ia juga menggarisbawahi bahwa melarang atau menarik obat bukanlah wewenang IDAI.
Advertisement