Kasus Gangguan Ginjal Akut Picu Legislator Daerah Desak DPR Sahkan RUU POM

Legislator daerah mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan pemerintah pusat untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pengawas Obat dan Makanan (RUU POM) yang sempat tertunda.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 01 Des 2022, 17:00 WIB
Diterbitkan 01 Des 2022, 17:00 WIB
Pedagang Pasar Pramuka Kena Imbas Larangan Penjualan Obat Sirup Anak
Pedagang melayani calon pembeli di salah satu toko di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, Minggu (23/10/2022). Untuk diketahui, saat ini para pedagang farmasi di Pasar Pramuka sudah tidak lagi menjual lima obat sirup yang dirilis oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akibat diduga melebihi ambang batas kandungan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Legislator daerah mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan pemerintah pusat untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pengawas Obat dan Makanan (RUU POM) yang sempat tertunda.

Hal ini menyusul adanya kasus kematian anak akibat gangguan ginjal akut atau acute kidney injury (AKI) yang diduga karena cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) pada obat sirup anak.

Menurut Ketua DPRD Kota Bogor Atang Trisnanto, pengawasan terhadap peredaran obat dan makanan menjadi sesuatu yang sangat krusial karena menyangkut kesehatan dan keselamatan jiwa.

“Kami di daerah berharap adanya intervensi pemerintah untuk memastikan obat maupun makanan yang beredar di tengah masyarakat memenuhi status aman, sehat, utuh, dan halal,” tuturnya mengutip keterangan pers Kamis (1/12/2022).

Menurut Atang, kasus ini dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama adalah tentang pengawasan yang kurang optimal dari instansi terkait yang menurutnya bukan hanya BPOM saja. Namun juga Kementerian Kesehatan maupun Kementerian Perdagangan sebagai penanggung jawab langsung terhadap impor bahan baku obat serta penjamin mutu keamanan.

“Kedua, saya melihat adanya kesenjangan dalam mengawasi pelaku industri farmasi yang nakal. Pengawasan terhadap industri farmasi harus dilakukan secara kontinu dan tanpa pandang bulu. Dalam konteks obat, berlaku zero fault, tidak boleh ada kesalahan sedikit karena akibatnya akan fatal.”

Ketiga adalah terkait kewenangan BPOM. RUU POM saat ini masih belum menjadi prioritas, terbukti masih belum masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Padahal, isu keamanan obat merupakan isu yang terkait langsung dengan keselamatan dan kesehatan masyarakat.

Kewenangan BPOM Masih Terbatas

Belum masuknya RUU POM sebagai Prolegnas mengindikasikan bahwa obat dan makanan bukan sebagai prioritas masalah masyarakat, lanjut Atang. Untuk itu, pembahasan RUU POM ini penting untuk segera dilakukan.

“Kami di daerah juga kesulitan apabila ada keinginan untuk melakukan proteksi terhadap ancaman peredaran obat dan makanan yang membahayakan melalui kebijakan khas lokal lewat penyusunan Perda, tapi UU sebagai payung hukumnya belum ada.”

Ke depan perlu dikuatkan kelembagaan yang bisa melakukan pengawasan sekaligus juga penindakan. Saat ini BPOM bertindak sebagai pengawas peredaran obat dan makanan, tapi kewenangannya terbatas.

“Lembaga tersebut ke depan harus diberi ruang kewenangan untuk mengakses bahan-bahan baku atau kandungan bahan baku yang diimpor oleh importir melalui Kementerian Perdagangan.”

Bahan baku berbahaya tidak boleh sama sekali digunakan untuk industri farmasi maupun industri makanan. Selain itu, lembaga ini juga perlu diberikan kewenangan penindakan.

“Karena, pengawasan tanpa kewenangan penindakan tidak akan efektif seperti yang selama ini terjadi.”

BPOM Minim Otoritas

Senada dengan itu, anggota DPRD Kota Batam Rohaizat mengatakan bahwa kasus ini sudah menjadi isu nasional dan harus menjadi perhatian para pemegang kebijakan baik di pusat maupun daerah.

Baru-baru ini BPOM Batam juga menarik 81.000 obat sirup yang mengandung cemaran tersebut dari setiap apotek dan toko obat yang ada di kota ini.

“Kami di Batam memandang bahwa kasus ini merupakan fenomena gunung es. Peristiwa ini menunjukkan betapa BPOM masih minim otoritas dalam melakukan pengawasan obat dan makanan,” kata Rohaizat mengutip keterangan yang sama.

“Contohnya adalah masuknya bahan khusus seperti EG dan DE ke Indonesia tanpa melalui pengawasan BPOM karena dianggap bahan ini diperuntukkan juga industri-industri lain.”

Pengawasan Jual Beli Obat Daring

Anggota Komisi III DPRD Kota Batam tersebut pun mendesak pemerintah pusat dan DPR RI untuk serius menggolkan RUU POM. Pasalnya, semakin lama dibiarkan kasus-kasus model seperti ini akan terjadi lagi.

“BPOM harus diberikan otoritas yang lebih luas sebagai pengawas dan regulator, harusnya BPOM juga diberi wewenang untuk melakukan penindakan hukum atas distributor dan pelaku industri farmasi yang nakal.”

Selain itu, tambanya, BPOM juga perlu diberi wewenang dalam melakukan pengawasan terhadap jual beli obat secara online. Menurutnya, masyarakat saat ini dengan mudah mendapatkan obat dari luar negeri, padahal obat-obat tersebut tidak memiliki izin edar dan belum melalui proses pengujian laboratorium.

“Apa yang terjadi jika nanti ada kasus kematian yang disebabkan oleh konsumsi obat yang dibeli lewat daring? BPOM bisa kembali menjadi pihak yang disorot. Karena itu, kewenangan melakukan pemblokiran terhadap situs penjualan obat online harus diberikan pada BPOM.”

“Meski ini ranahnya Kemkominfo, saya pikir sudah harusnya diserahkan pada BPOM khusus untuk obat dan makanan. Adapun Kemkominfo bisa fokus ke situs-situs lain non obat,” pungkasnya.

Infografis BPOM Pidanakan Produsen Farmasi Biang Kerok Gagal Ginjal Akut
Infografis BPOM Pidanakan Produsen Farmasi Biang Kerok Gagal Ginjal Akut (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya