Liputan6.com, Jakarta - Indonesia sedang menghadapi krisis dokter spesialis, baik dari kekurangan produksi dokter spesialis dan persebaran yang tidak merata. Alhasil, daerah-daerah khususnya di luar Pulau Jawa sangat minim dokter spesialis, bahkan tak jarang fasilitas kesehatan di pelosok tanpa kehadiran dokter spesialis.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Moh. Adib Khumaidi menyampaikan, permasalahan kekurangan dokter spesialis kerap didiskusikan bersama Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin.
Baca Juga
Diakui Adib, dirinya sudah bertemu beberapa kali sebelumnya dengan Menkes Budi Gunadi.
Advertisement
“Kami diskusi terus (dengan Menkes Budi Gunadi Sadikin), bahkan kemarin-kemarin sudah ketemu juga,” ucapnya usai acara ‘Media Briefing: Pendidikan Kedokteran dan Distribusi serta Proses Pendidikan Kedokteran Spesialis’ di Kantor PB IDI Jakarta, ditulis Sabtu (17/12/2022).
Demi mengatasi kekurangan dokter spesialis, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berupaya melakukan peningkatan kapasitas jumlah sumber daya manusia (SDM) kesehatan tersebut. Salah satunya, melalui sistem pendidikan kedokteran Academic Health System (AHS).
Academic Health System merupakan sebuah model kebijakan yang mengakomodir potensi masing-masing institusi ke dalam satu rangkaian visi yang berbasis pada kebutuhan masyarakat.
Konsep ini merupakan integrasi pendidikan kedokteran bergelar dengan program pendidikan profesional kesehatan lainnya yang memiliki rumah sakit pendidikan atau berafiliasi dengan rumah sakit pendidikan, sistem kesehatan, dan organisasi pelayanan kesehatan.
“Sebenarnya untuk penerapan AHS, kami, IDI juga terlibat. Soal produksi dan distribusi dokter spesialis juga kami dilibatkan dengan Kemenkes,” lanjut Adib.
“Ya pokoknya soal masalah namanya kebutuhan dokter spesialis itu, kami sudah ikut terlibat dan dilibatkan.”
Bantu Kemenkes Mendata Dokter Spesialis
Saat ini, lanjut Moh. Adib Khumaidi, IDI membantu Kemenkes melalui Dirjen Tenaga Kesehatan sedang mendata jumlah dokter spesialis yang tersebar di Indonesia. Kolaborasi pendataan juga dilakukan dengan bantuan dari organisasi profesi di bawah naungan PB IDI.
“Berkaitan dengan data, kami juga sedang membantu Kemenkes melalui Dirjen Tenaga Kesehatan untuk melakukan sebuah pendataan dokter,” terangnya.
“Kami sudah berproses untuk kolaborasi antara Kemenkes, IDI, tenaga kesehatan, organisasi profesi kedokteran di bawah IDI juga.”
Sebagaimana data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) per 30 Agustus 2022, total jumlah dokter yang memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sebanyak 254.894. Jumlah ini mencakup total akumulatif seluruh dokter umum, dokter gigi, dokter gigi spesialis, dan dokter spesialis (dari berbagai bidang) yang mempunyai STR.
Dari jumlah tersebut, rinciannya antara lain, jumlah dokter spesialis ada 48.167 yang memiliki STR. Untuk dokter umum sudah ada 161.779 di seluruh wilayah Indonesia. Sementara itu, jumlah dokter gigi yang memiliki STR sebanyak 39.953 dan dokter spesialis gigi ada 4.995.
“Yang jelas, masalah Academic Health System, distribusi, kemudian berkaitan di dalam institusi pendidikan kedokteran, RS Pendidikan, kami diskusi bersama dengan Kemenkes serta stakeholder yang lain juga, misalnya institusi pendidikan kedokteran,” beber Ketua Umum PB IDI Adib.
Advertisement
Jamin Dokter Spesialis Kembali Daerah
IDI turut berperan membantu untuk menjamin para dokter spesialis dapat kembali ke daerah masing-masing dan mengabdi di sana. Upaya ini sudah dilakukan dengan bantuan IDI Wilayah dan IDI Cabang yang tersebar.
Upaya yang dilakukan, yakni mengadvokasi pemerintah daerah, baik bupati maupun wali kota untuk mendukung (support) dokter spesialis kembali ke daerah.
“Saya beberapa kali ke daerah. Di Jawa Barat, misalnya, saya meminta kepada teman-teman IDI Jabar, tolong cari putra putri daerah yang disupport, direkomendasikan supaya disupport untuk kembali ke daerah. Ini dilakukan mengadvokasi ke bupati dan wali kota. Itu contoh sudah terealisasi di lapangan,” tutur Moh. Adib Khumaidi.
“Itu usaha yang kami lakukan, sifatnya support, membantu teman-teman dengan mengadvokasi pimpinan daerah. Karena kalau dari organisasi profesi enggak membantu dan menjamin nanti dia (dokter spesialis) akan balik ke daerah, maka risikonya dia enggak balik ke daerah.”
Advokasi kepada pemerintah daerah terus dilakukan IDI yang juga bertujuan agar kebijakan pimpinan daerah tetap bisa berkelanjutan dan menjamin dokter spesialis dapat mengabdi di daerahnya.
“Jangan sampai bupati dan wali kotanya ganti, terus enggak diterima gitu dokter spesialis yang balik ke daerahnya karena kebijakan pimpinan yang beda. Nah, kalau IDI Cabang bantu support, mereka ya Insya Allah akan kembali ke daerah. Itu langkah-langkah yang dilakukan teman-teman di daerah,” pungkas Adib.
Penambahan Program Studi Spesialis
Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia Setyo Widi Nugroho menambahkan, ada tiga upaya yang dapat dilakukan untuk menambah produksi dokter spesialis. Namun, upaya menambah pembukaan Fakultas Kedokteran baru bukan termasuk dalam upaya produksi dokter spesialis.
“Membuka Fakultas Kedokteran tidak berkaitan dengan produksi dokter spesialis karena ada syarat besar yang harus dipenuhi. Misalnya, penghitungan proporsi dosen dan mahasiswa. Ada juga Fakultas Kedokteran Pembina,” jelasnya.
“Produksi dokter spesialis memang ada jalan, yakni tiga jalan utama. Bagaimana menambah jumlah spesialis, strategi bagaimana. Tiga jalan itu ya penerapan sistem Academic Health System, penambahan program studi spesialis, dan memberikan bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang sekolah di luar negeri untuk bisa melakukan pengabdian di Indonesia.”
Bagi WNI dokter spesialis dari luar negeri yang ingin melakukan pengabdian di Indonesia, menurut Widi dapat melalui cara adaptasi terstruktur. Utamanya, pembentukan komite bersama dengan Kemenkes, bukan Kolegium yang mengatur.
“Kami, Kolegium itu bagian dari menjaga kualitas. Marilah kita siapkan supaya persebaran dokter tidak hanya banyak di Jakarta,” tutup Widi.
“Kita concern menyiapkan distribusi dokter spesialis. Tapi ya pimpinan daerah selama ini tidak mengusulkan butuh (dokter spesialis) sekian. Ini yang harus kita selesaikan untuk mendorong semua untuk ikut mengasesmen dan mendorong pemenuhan dokter spesialis.”
Advertisement