Liputan6.com, Jakarta - Lebih dari 1 di antara 8 orang dewasa yang lebih tua telah melaporkan tanda-tanda kecanduan makanan, dengan mengeluhkan bahwa makanan olahan menyebabkan masalah dalam hidup mereka setiap minggu, dilansir dari sebuah studi dari University of Michigan.
Seorang profesor psikologi, Ashley Gearhardt mengungkap, penelitian telah menunjukkan bahwa otak manusia merespons makanan olahan dengan kuat, terutama pada makanan-makanan yang mengandung gula, lemak, dan pati.
Baca Juga
“Adiksi sama kuatnya dengan yang terjadi pada kecanduan rokok, alkohol, dan zat adiktif lainnya,” ungkap Ashley.
Advertisement
Ashley menuturkan, seperti halnya kecanduan merokok atau minum, penting bagi kita untuk mengidentifikasi dan membantu orang-orang yang telah terjerat dalam pola makan yang tidak sehat, dengan cara mendukung mereka.
Kecanduan makanan olahan yang berlebihan dua kali lebih sering dialami oleh wanita dibandingkan pria, menurut laman WebMD.
Hasil penelitian University of Michigan juga mengungkap, orang yang mengalami kelebihan berat badan karena kecanduan makanan dilaporkan memiliki kesehatan mental yang kurang baik, atau merasa terisolasi.
Dalam penelitian universitas Amerika Serikat tersebut, peneliti menyarankan orang dewasa yang lebih tua untuk melakukan skrining secara rutin dalam konteks kecanduan makanan, agar mereka dapat dirujuk untuk mendapatkan konseling gizi.
Mengapa Orang Kecanduan Makanan?
Konsumsi makanan yang sangat disukai dapat memicu lepasnya dopamin, hampir sama dengan efek yang diberikan dari konsumsi obat-obatan, menurut laman WebMD.
Seiring berjalannya waktu, sinyal dopamin otak dapat memicu dorongan kuat untuk makan lagi, dan siklus ini terus berulang. Oleh karena itu, orang yang kecanduan makanan cenderung kehilangan kontrol ketika makan.
Kecanduan makanan dapat berujung pada fenomena obesitas, tetapi juga dapat terjadi pada orang-orang dengan berat badan yang terus normal.
Dilansir dari laman yang sama, meningkatnya berat badan dan kerusakan hubungan interpersonal dapat menjadi konsekuensi dari kecanduan makanan. Meski begitu, mereka tetap dapat terus makan dan kesulitan berjuang untuk menghentikan adiksi, sekalipun mereka sangat ingin melakukannya.
Advertisement
Menyembuhkan Kecanduan Makanan
Menurut pelaksana survei penelitian, Jeffrey Kullgren, keinginan dan perilaku seputar masalah makan bersumber pada unsur kimia otak dan bisa juga pewarisan genetik.
“Beberapa orang mungkin memerlukan bantuan tambahan, seperti halnya orang-orang yang ingin berhenti merokok atau minum alkohol,” ungkap salah satu peneliti tersebut.
Dilansir dari WebMD, penelitian terus dilakukan untuk mempelajari dan mencari pengobatan bagi kecanduan makanan.
Beberapa pakar dari laman tersebut berpendapat, dibandingkan kecanduan lainnya seperti alkohol, pemulihan kecanduan makanan bisa jadi lebih sulit dilakukan.
Meski begitu, dokter, psikolog, dan nutrisionis dapat membantu pasien menghentikan pola makan berlebihan.
Berdasarkan laman WebMD, saat ini terdapat program yang membantu perlahan-lahan memulihkan kecanduan makanan, misalnya Food Addicts Anonymous.
Program ini menggunakan prinsip-prinsip program 12 langkah bersamaan dengan diet ketat, seperti menghindari gula, tepung terigu, dan gandung.