Konsumsi Garam Berlebih Picu Berbagai Penyakit, Pakar Saran Ganti Bumbu yang Rendah Sodium

Konsumsi sodium berlebih menjadi faktor utama penyakit kardiovaskular, stroke, dan lainnya di negara tetangga, Singapura.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 29 Jun 2023, 08:00 WIB
Diterbitkan 29 Jun 2023, 08:00 WIB
Konsumsi Garam Berlebih Picu Berbagai Penyakit, Pakar Sarankan Beralih pada Bumbu Rendah SodiumGambar Ilustrasi Garam
Konsumsi Garam Berlebih Picu Berbagai Penyakit, Pakar Sarankan Beralih pada Bumbu Rendah Sodium. Sumber: Freepik

Liputan6.com, Jakarta Konsumsi sodium berlebih menjadi faktor utama penyakit kardiovaskular, stroke, dan lainnya di negara tetangga, Singapura. Fakta ini diungkap dalam Survei Kesehatan Penduduk Nasional Singapura pada 2020.

Hal ini melatarbelakangi Pemerintah Singapura mendorong warganya beralih dari garam biasa ke alternatifnya yang rendah sodium.

Melansir Channel News Asia (CNA), warga Singapura mengonsumsi rata-rata 3.600 mg sodium. Padahal, batas harian konsumsi sodium yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah 2.000 mg.

Tak hanya di Singapura, konsumsi sodium di Indonesia juga semakin meningkat dan menyebabkan berbagai masalah kesehatan.

Mengikuti saran WHO, Indonesia menerapkan batas konsumsi sodium pada 2.000 mg per hari. Batas ini sudah diatur pula oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI).

Garam Alami Lebih Sehat?

Umumnya, selain mengonsumsi garam biasa, masyarakat cenderung memilih garam alami untuk konsumsi sehari-hari. Misalnya, garam merah muda Himalaya, garam kosher, atau garam laut.

Masyarakat menganggap bahwa garam-garam tersebut lebih sehat. Nyatanya, garam jenis ini tidak mempunyai perbedaan kandungan nutrisi yang signifikan dibanding garam meja biasa. Padahal, harganya lebih mahal dibandingkan dengan garam pada umumnya.

Diketahui bahwa garam merah muda Himalaya mengandung lebih banyak potassium dibandingkan dengan garam meja. Garam kosher mirip dengan garam meja dan tidak mengandung jejak mineral atau yodium.

“Keberadaan mineral ini sangat kecil dan tidak menambah banyak nilai gizi. Lebih baik mendapatkan mineral ini dari makanan sehat lainnya untuk manfaat kesehatan yang lebih nyata," ujar ahli gizi senior di Singapore Polytechnic's Food Innovation and Resource Centre, Carolyn Stephen mengutip CNA, Senin (26/6/2023).

Beralih ke MSG Lebih Baik?

MSG
Konsumsi Garam Berlebih Picu Berbagai Penyakit, apa MSG lebih sehat? Foto: Freepik

Lantas, apakah beralih ke MSG lebih baik bagi kesehatan ketimbang konsumsi garam?

Selama ini, MSG dianggap tidak baik bagi kesehatan. Bahkan, sebagian orang menganggap konsumsi MSG dapat membuat orang menjadi bodoh. Hingga ada istilah “Generasi Micin” yang merujuk pada suatu generasi kurang pintar.

Bukan hanya baru-baru ini, anggapan MSG berbahaya bagi kesehatan dimulai pada 1968-an. Saat itu, seorang dokter AS menulis surat ke jurnal medis berjudul “Chinese Restaurant Syndrome.”

Dalam dokumen tersebut, dia menggambarkan gejala seperti mati rasa di belakang leher, kelemahan umum, dan jantung berdebar. Dia menduga MSG, bersama dengan bahan lain seperti anggur masak dan natrium dalam jumlah tinggi, mungkin menyebabkan gejala ini.

Stigma Negatif Soal MSG Mulai Luntur

ilustrasi MSG/unsplash
Konsumsi Garam Berlebih Picu Berbagai Penyakit, apa MSG lebih sehat? ilustrasi MSG/unsplash

Anggapan ini kini mulai luntur dengan adanya penelitian lanjutan yang baru. MSG atau monosodium glutamat ternyata bisa diproduksi oleh manusia tanpa didapatkan dari makanan.

MSG juga ditemukan di berbagai bahan makanan alami seperti tomat, jamur, dan bawang,

Menariknya, MSG hanya mengandung sekitar 12 persen natrium daripada garam biasanya. Walaupun begitu, rasa gurih (umami) dan asin bisa lebih terasa ketika menggunakan MSG daripada garam.

Penelitian terbaru juga membuktikan bahwa MSG bisa jadi pengganti garam dalam makanan kemasan seperti camilan atau sup. Dengan MSG, kandungan natrium bisa berkurang hingga 30 sampai 50 persen.

Jaga Cita Rasa Makanan Tetap Nikmat Tanpa Banyak Garam

ilustrasi bumbu dan rempah/unsplash
Jaga Cita Rasa Makanan Tetap Nikmat Tanpa Banyak Garam. Ilustrasi bumbu dan rempah/unsplash

Alih-alih konsumsi makanan yang banyak mengandung garam, Presiden Asosiasi Nutrisi dan Diet Singapura, Dr Kalpana Bhaskaran lebih merekomendasikan untuk menggantinya dengan hal lain.

Misalnya dengan penyedap varian rendah sodium. Ini tidak akan terlalu mengorbankan rasa makanan atau membuat makanan menjadi sangat hambar.

Bahkan, penelitian terbaru membuktikan orang yang diet asupan sodium akan lebih suka makanan yang rendah garam.

Menariknya, hanya dibutuhkan dua hingga tiga minggu untuk menyesuaikan makanan yang rendah garam.

Selain penyedap varian rendah sodium, masyarakat juga bisa menggunakan rempah segar, jeruk, cuka, untuk meningkatkan rasa masakan.

Selain itu, bawang merah, bawang putih, jahe, dan rempah-rempah seperti kunyit, merica, dan cabai juga dapat menonjolkan rasa dan aroma sehingga membuat makanan lebih nikmat tanpa perlu tambahan garam.

Kalpana juga menyarankan untuk membaca label nutrisi guna membantu membuat pilihan yang lebih jelas saat membandingkan produk makanan berdasarkan kandungan natriumnya.

“Kurangi konsumsi sodium saat makan di luar. Misalnya, mintalah garam atau saus lebih sedikit saat memesan nasi goreng, tumisan sayur, atau jajanan kaki lima lainnya. Hindari menambah garam yang tersedia di atas meja,” pungkasnya.

infografis Impor Garam
infografis Impor Garam
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya