Liputan6.com, Jakarta - Zat pewarna karmin kerap menjadi perbincangan di media sosial. Hal ini karena karmin merupakan pewarna merah yang berasal dari serangga kutu daun jenis cochineal.
Sebagian besar masyarakat tak mengira bahwa produk susu stroberi hingga kosmetik yang digunakannya sehari-hari ternyata mengandung serangga cochineal. Namun, menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bahan ini memang diperbolehkan untuk digunakan dalam bahan makanan dan lain-lain.
Baca Juga
Hal ini tertera dalam Peraturan Kepala BPOM RI Nomor 37 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BPT) Pewarna.
Advertisement
BPOM menjelaskan bahwa karmin merupakan golongan BTP pewarna alami (natural colour) yang diizinkan untuk digunakan dalam pangan.
Jumlah karmin yang digunakan tergantung jenis makanannya. Misalnya, untuk minuman berbasis susu yang berperisa dan atau difermentasi contohnya susu coklat, eggnog, minuman yoghurt, minuman berbasis whey maka kandungan maksimumnya 100 mg/kg.
Dengan begitu, pewarna karmin dapat digunakan dalam jumlah yang sudah ditentukan dan aman untuk dikonsumsi.
Makanan dengan Pewarna Karmin Halal atau Haram?
Namun, bagi warga Indonesia, aman saja tidak cukup. Bahan makanan dan minuman yang dijual bebas harus halal mengingat mayoritas warga Indonesia beragama Islam.
Terkait hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan, cochineal adalah binatang yang mempunyai banyak persamaan dengan belalang dan darahnya tidak mengalir.
“Adapun pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga karmin hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan,” mengutip laman resmi Halal MUI, Rabu (27/9/2023).
Membuat Produk Jadi Lebih Menarik
Pewarna alami carmyne (karmin) kerap digunakan industri sebagai bahan pewarna makanan untuk mempercantik tampilan makanan kemasan dan olahan sehingga tampak lebih menarik.
Berbagai jenis makanan yang beredar di pasaran, misalnya es krim, susu, yoghurt, makanan ringan anak-anak, banyak yang menggunakan bahan pewarna karmin.
Karmin juga digunakan untuk mewarnai produk perawatan tubuh seperti shampoo, lotion, serta make-up seperti eyeshadow.
Dosen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB University Prof. Sedarnawati Yasni, menerangkan, karmin dibuat dari serangga cochineal (Dactylopius coccus) atau kutu daun yang menempel pada kaktus pir berduri (genus Opuntia).
Serangga jenis ini banyak ditemukan di Amerika Tengah dan Selatan. Saat ini Peru dikenal sebagai penghasil karmin terbesar di dunia, mencapai 70 ton per tahun. Kaktus digunakan sebagai sumber makan cochineal karena memiliki kelembaban dan nutrisi tanaman.
Advertisement
Cara Produksi Pewarna Karmin
Auditor Halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM MUI) itu juga menjelaskan soal cara produksinya.
Menurutnya, cara produksi cochineal kering dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Pasangan cochineal diinduksikan pada kaktus.
- Cochineal menjadi dewasa, ditandai dengan bentuk tubuh membesar dan berisi.
- Serangga cochineal pun berkembang biak.
- Setelah serangga menjadi besar dan berisi, kemudian dipanen dengan cara disikat, dikeringkan dengan sinar matahari, ditampi untuk menghilangkan bulu.
Untuk mengolah menjadi pewarna, kata Sedarnawati, serangga cochineal dijemur hingga kering lalu dihancurkan dengan mesin. Setelah itu, jadilah serbuk berwarna merah tua. Untuk menonjolkan aspek warna yang diinginkan, biasanya ekstrak cochineal ini dicampur dengan larutan alkohol asam untuk lebih memunculkan warna.
Fatwa MUI Soal Kehalalan Karmin
Sementara, Direktur Utama LPPOM MUI, Ir. Muti Arintawati, M.Si menjelaskan, dilihat dari bahan dasarnya yakni cochineal, MUI telah mengeluarkan fatwa, yakni halal.
Pada 2011, MUI melalui Keputusan Komisi Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011, menjelaskan bahwa serangga cochineal merupakan serangga yang hidup di atas kaktus dan makan pada kelembaban dan nutrisi tanaman.
Cochineal merupakan binatang yang mempunyai banyak persamaan dengan belalang dan darahnya tidak mengalir. Adapun pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga cochineal hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.
Muti Arintawati mengingatkan bahwa penggunaan pewarna juga membutuhkan adanya bahan pelarut, bahan pelapis, hingga bahan pengemulsi agar warna semakin cerah, tidak mudah pudar, dan stabil.
Bahan pelarut dapat menggunakan bahan etanol, triacetin atau gliserin. Gliserin salah satunya dapat dihasilkan dari proses hidrolisis lemak hewani. Bahan pelapis dapat menggunakan sumber gelatin, yang umumnya berasal dari gelatin hewani. Bahan pengemulsi dapat menggunakan turunan asam lemak yang berasal dari asam lemak hewani.
“Mengingat bahan tambahan pada pewarna alami tersebut banyak menggunakan bahan dari hewan, maka harus dipastikan bahwa bahan tersebut berasal dari hewan halal yang diproses secara halal,” tutup Muti.
Advertisement