Liputan6.com, Jakarta Mahasiswi program pendidikan dokter spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) dokter Aulia Risma Lestari diduga bunuh diri akibat perundungan atau bullying.
Menurut Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto, meninggalnya dokter muda RSUD Kardinah Tegal itu menjadi catatan hitam dunia pendidikan dan kedokteran.
Baca Juga
Apalagi kejadian ini muncul di saat upaya pemerintah untuk melakukan reformasi kesehatan dan pemerataan dokter di Tanah Air.
Advertisement
Edy mengucapkan belasungkawa kepada keluarga dokter berusia 30 yang ditemukan meninggal di kamar kosnya.
“Meninggalnya salah satu calon dokter spesialis anastesi ini mencederai keinginan bangsa ini untuk melakukan reformasi di bidang kesehatan. Saya turut berduka cita atas meninggalnya dokter Aulia,” kata Edy dalam keterangan tertulis yang diterima Health Liputan6.com, Kamis (15/8/2024).
Legislator dari Dapil Jawa Tengah III ini meminta agar penyelidikan motif dokter Aulia menyuntikan obat penenang dan berakhir meninggal dunia harus diusut tuntas. Apalagi polisi telah menemukan buku harian korban yang menceritakan beratnya tuntutan menjadi mahasiswa kedokteran dan aksi seniornya.
“Polisi menyebutkan kalau dokter Aulia tidak kuat menghadapi seniornya yang memerintah sewaktu-waktu dan minta banyak hal. Kecurigaan ini juga harus menjadi perhatian tidak hanya kepolisian tapi juga Kementerian Kesehatan dan Kemendikbudristek,” ucap Edy.
Perundungan dan Kelebihan Jam Kerja Selama PPDS adalah Masalah Klasik
Edy mendorong agar polisi, Kemenkes, dan Kemendikbudristek terbuka terhadap penyelidikan meninggalnya dokter Aulia. Apalagi Kemenkes mengakui adanya dugaan perundungan dan kelebihan jam kerja.
“Soal perundungan dan kelebihan jam kerja ini sebenarnya masalah klasik. Saya kira Pak Menteri dan dokter-dokter sudah tahu, harusnya ini diselesaikan dan tidak dibudayakan lagi,” katanya.
Edy meminta agar pemerintah dan organisasi profesi kedokteran mengakui adanya praktik ini lalu serius melakukan perbaikan.
Politisi PDI Perjuangan itu menyinggung adanya Instruksi Menteri Kesehatan (Imenkes) Nomor HK.02.01/Menkes/1512/2023 tentang upaya pencegahan dan penanganan perundungan di rumah sakit pendidikan dalam lingkungan Kemenkes.
Harusnya, lanjut Edy, aturan ini dibarengi dengan peraturan dari Kemendikbudristek. Sebab fakultas kedokteran berada di bawah Kemendikbudristek.
“Pengawasannya juga harus jalan. Jangan hanya membuat aturan saja. Saya anggap meninggalnya dokter Aulia ini sebagai nihilnya pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan dokter,” tuturnya.
“Apalagi Kemenkes telah memiliki wadah untuk menampung curhat dan laporan mahasiswa kedokteran yang mengalami perundungan. Apakah itu hanya platform atau sudah ada tindakan dari setiap pelaporan?” tanya Edy.
Advertisement
Segera Lakukan Reformasi Pendidikan Kedokteran
Edy juga menyarankan agar segera lakukan reformasi pendidikan kedokteran. Menurutnya, alibi pembentukan karakter calon dokter yang berujung pada perundungan adalah sebuah kesalahan.
“Tidak zamannya lagi senior menekan juniornya. Meminta ini itu. Biarkan mahasiswa kedokteran ini mengenyam pendidikan dengan merdeka karena beban akademiknya saja sudah berat,” saran Edy.
Adanya kasus ini juga menjadi desakan harus segera dibentuk kolegium dan konsil kedokteran yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Lembaga ini menurut Edy berhak melakukan transformasi dalam menyusun standar pendidikan, standar proses dan penilaian, serta menguji kompetensi.
“Jangan biarkan senior yang menjadi penentu proses pembelajaran dan kelulusan residen dokter spesialis dan akhirnya seniornya melakukan tindakan sewenang-wenang karena merasa punya kuasa,” ucap Edy.
Kemenkes Lakukan Investigasi
Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Mohammad Syahril sudah angkat bicara.
Menurutnya, pembinaan dan pengawasan PPDS ada pada Pendidikan Dokter Spesialis FK Undip bukan pada RS Kariadi, sebagai unit dari Kemenkes. Walau demikian Kemenkes sudah bergerak cepat dan tegas untuk menginvestigasi kejadian ini.
“Tim Itjen Kemenkes sudah turun ke RS Kariadi untuk menginvestigasi pemicu bundir untuk memastikan apakah ini ada unsur bullying atau tidak. Mudah-mudahan dalam seminggu sudah ada hasilnya,” kata Syahril dalam keterangan tertulis, Kamis (15/8/2024).
Dia menambahkan, walau PPDS ini program Undip, Kemenkes tidak bisa lepas tangan karena yang bersangkutan juga melakukan pendidikannya di lingkungan RS Kariadi sebagai UPT Kemenkes.
“Investigasi Itjen mencakup kegiatan almarhumah selama di RS Kariadi. Kemenkes juga sudah berkoordinasi dengan Mendikbudristek sebagai pembina Undip dan juga dengan Dekan FK Undip dalam melakukan investigasi ini.”
Advertisement
Hentikan Sementara Kegiatan PPDS Anestesi Undip di RS Kariadi
Akibat kejadian ini, Kemenkes memutuskan untuk melakukan penghentian sementara kegiatan PPDS Anestesi Undip di RS Kariadi.
Penghentian dilakukan Kemenkes RI lewat surat nomor TK.02.02/D/44137/2024 tentang Pemberhentian Program Anestesi Universitas Diponegoro di RSUP Dr. Kariadi.
“Yth. Direktur Utama RSUP Dr. Kariadi di Semarang. Sehubungan dengan dugaan terjadinya perundungan Program Studi Anestesi Universitas Diponegoro yang ada di RSUP Dr. Kariadi, yang menyebabkan terjadinya bunuh diri pada salah satu peserta didik program studi anestesi Universitas Diponegoro,” kata surat yang ditandatangani oleh Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes Azhar Jaya, Rabu, 14 Agustus 2024.
“Maka disampaikan kepada Saudara untuk menghentikan sementara program studi anestesi di RSUP Dr. Kariadi sampai dengan dilakukannya investigasi dan langkah-langkah yang dapat dipertanggungjawabkan oleh jajaran Direksi Rumah Sakit Kariadi dan FK UNDIP. Penghentian program studi sementara tersebut terhitung mulai tanggal surat ini keluarkan.”
Syahril menambahkan, penghentian sementara kegiatan PPDS Anestesi Undip bertujuan memberi waktu untuk pelaksanaan investigasi.
“Pengehentian sementara kegiatan PPDS Anestesi Undip di RS Kariadi untuk memberikan kesempatan investigasi dapat dilakukan dengan baik. Termasuk potensi adanya intervensi dari senior/dosen kepada juniornya serta memperbaiki sistem yang ada.”
“Kami juga meminta Undip dan Kemendikbud untuk turut membenahi sistem PPDS. Kemenkes tidak sungkan melakukan tindakan tegas seperti mencabut surat izin praktik (SIP) dan surat tanda registrasi (STR) bila ada dokter senior yang melakukan praktik bullying yang berakibat kematian,” ujar Syahril.
KONTAK BANTUAN
Bunuh diri bukan jawaban apalagi solusi dari semua permasalahan hidup yang seringkali menghimpit. Bila Anda, teman, saudara, atau keluarga yang Anda kenal sedang mengalami masa sulit, dilanda depresi dan merasakan dorongan untuk bunuh diri, sangat disarankan menghubungi dokter kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan (Puskesmas atau Rumah Sakit) terdekat.
Bisa juga mengunduh aplikasi Sahabatku: https://play.google.com/store/apps/details?id=com.tldigital.sahabatku
Atau hubungi Call Center 24 jam Halo Kemenkes 1500-567 yang melayani berbagai pengaduan, permintaan, dan saran masyarakat.
Anda juga bisa mengirim pesan singkat ke 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat surat elektronik (surel) kontak@kemkes.go.id.
Advertisement