Liputan6.com, Jakarta - Makanan lokal berpotensi memiliki gizi yang seimbang. Secara alami, makanan tradisional memiliki gizi yang baik.
“Sebutlah dalam sepiring masakan Padang terdapat sumber gizi yang bervariasi. Begitu juga bubur Manado dan bubur tinutuan yang memiliki komposisi gizi lengkap, karena adanya karbohidrat, protein, dan lemak dalam satu hidangan,” kata Pendiri Yayasan Makanan dan Minuman Indonesia (YAMMI), Khoirul Anwar dalam keterangan pers, Selasa (17/12/2024).
Advertisement
Baca Juga
Menurutnya, masyarakat Papua memahami, mengonsumsi papeda saja tidak cukup. Maka, mereka menyantapnya dengan sumber gizi lain, seperti ikan laut yang sangat melimpah, kuah kuning, dan sayuran yang dipetik dari kebun sendiri. Dengan begitu, kebutuhan gizinya akan terpenuhi.
Advertisement
CEO Eathink, Jaqualine Wijaya, menambahkan, Papua bahkan punya buah endemik, yaitu matoa yang semakin langka. Juga ada sayur swamening yang terbuat dari daun gedi.
Dari sisi tradisi, setiap makanan tradisional memiliki nilai tersendiri. Contohnya, menyantap ketupat saat lebaran sudah menjadi budaya yang melekat. Hanya saja, orang kini semakin sadar akan kesehatan.
“Tapi, dengan alasan kesehatan, bukan berarti kita melarang orang makan ketupat, lalu menggantinya dengan oat. Terkait tradisi, ketupat merupakan simbol permintaan maaf, tidak bisa dihilangkan begitu saja. Walaupun, pada zaman sekarang modifikasi makanan sudah menjadi sebuah kebutuhan. Namun, jangan sampai menghilangkan apa yang menjadi jati diri,” kata Khoirul.
Warisan Budaya Pangan Indonesia
Indonesia kaya akan warisan budaya pangan yang bernilai tinggi. Di dalam warisan tersebut tercakup resep kuno, teknologi masyarakat zaman dahulu ketika memasak, hingga cara mengonsumsi makanan.
Di berbagai daerah, dapat dilihat bagaimana budaya pangan memiliki makna mendalam. Misalnya, menyuguhkan makanan yang melimpah adalah simbol kemakmuran bagi beberapa kelompok masyarakat Indonesia. Di pedesaan, ultra-processed food sering kali dilekatkan dengan status sosial yang lebih tinggi. Sementara, makanan tradisional menjadi primadona di perkotaan.
“Fenomena ini mencerminkan kompleksitas budaya pangan kita, keterbukaan terhadap pangan baru dan keinginan mengeksplorasi rasa dan makna,” kata Koordinator Food Culture Alliance Indonesia dan Project Coordinator Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN Indonesia), Sutamara Lasurdi Noor, dalam keterangan yang sama.
“Budaya pangan mencakup lebih dari sekadar tradisi, ia mencerminkan bagaimana kita berpikir, menilai, dan menghargai makanan dalam konteks sosial yang lebih luas,” tambahnya.
Advertisement
Makanan Nenek Moyang Bisa Menyehatkan
Dari budaya pangan Nusantara, banyak nilai baik yang bisa diambil, lalu ditambahkan dengan nilai baru, sehingga menjadi nilai yang terus berkelanjutan.
“Kita ingin membangun kesadaran baru yang generatif untuk membangun budaya yang nantinya relevan, yang tujuannya adalah untuk kemajuan,” kata Virginia Kadarsan, yang selama 4 tahun membidangi riset di Akademi Gastronomi Indonesia dan sekarang menjadi bagian dari Gastronomi Indonesia Network.
Di sisi lain, Roby Bagindo, pendiri Masak TV, bercerita, terkait budaya pangan, nenek moyang kita makan bukan sekadar memberi makan raga, tetapi juga jiwa.
Saat ultra-processed food mengepung dan banyak orang menjadi sakit, banyak negara sibuk mempelajari makanan nenek moyang mereka yang bisa menyehatkan.
“Kita beruntung, karena mempunyai makanan purba yang hingga kini masih disantap. Orang masih makan sagu dalam bentuk sagu, rawon yang terkait dengan Prasasti Taji juga masih disajikan dalam rupa yang sama,” papar Roby.
Kunci Keberlanjutan Pangan
Sutamara alias Tama berpendapat, keselarasan antara pola makan gizi seimbang dan budaya pangan lokal menjadi kunci keberlanjutan pangan.
Selain mendukung diet berkelanjutan, pola makan tersebut mendukung kelestarian alam karena memutus rantai distribusi yang panjang.
“Seandainya beras tidak tersedia di Nusa Tenggara, kenapa masyarakat Nusa Tenggara harus membeli beras dari Jawa? Distribusi yang panjang akan menyumbang gas emisi rumah kaca,” ucap Tama.
Melihat kembali ke belakang, Roby bercerita, kebiasaan makan nasi dibentuk secara politik sejak era Kerajaan Mataram.
“Daripada susah-susah menanam jewawut, talas, ubi, singkong, atau gembili, isi saja lumbung dengan beras untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Padahal, yang dimakan nenek moyang kita adalah sagu. Ketika diberi nasi, tubuhnya tidak bisa memecah insulin secepat itu,” kata Roby.
Di zaman kolonial, lanjut Roby, yang mengonsumsi nasi adalah orang yang keren. Padahal, Indonesia kaya akan berbagai sumber karbohidrat lain. Namun, orang yang makan jewawut dibilang mengambil jatah makanan burung, sementara yang makan tiwul dibilang ndeso (kampungan).
Virginia juga mengungkap pendapat serupa. Orang yang makan ubi atau singkong akan diberi label kampungan.
Advertisement