Pengertian Istihsan adalah Upaya Menetapkan Hukum, Ini Pendapat Ulama dan Macamnya

Istihsan adalah apa yang dipandang baik boleh dikerjakan atau dipedomi.

oleh Laudia Tysara diperbarui 12 Jan 2022, 08:30 WIB
Diterbitkan 12 Jan 2022, 08:30 WIB
Ilustrasi Muslim, Islami
Ilustrasi Muslim, Islami. Photo by Rachid Oucharia on Unsplash

Liputan6.com, Jakarta Apa itu istihsan? Istihsan adalah pendapat tentang sebuah kebaikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan pengertian istihsan adalah pendapat yang berpegang pada kebaikan sesuatu bagi umat manusia sehingga apa yang dipandang baik boleh dikerjakan atau dipedomi. 

Istihsan adalah upaya untuk menetapkan hukum. Bagaimana para ulama memandang pengertian istihsan? Para ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanabiyah memiliki pendapat serupa tentang istilah dan penetapan tujuan adanya sebuah istihsan. Berbeda dengan ulama dari mazhab Syafi’iyyah.

“Pengertian istihsan adalah mengambil (mengamalkan) kemaslahatan juz’iyyah (khusus) ketika bertentangan dengan dalil yang kulli (umum),” dijelaskan sesuai pendapat mazhab Maliki dalam kitab al-Muwafaqot fi ushul asy-Syari’ah oleh Abu Ishaq asy-Syatibi.

Khusus para ulama dari mazhab Syafi’iyyah, Imam al-Gazali dijelaskan dalam kajian teori penelitian yang diterbitkan Universitas Islam Negeri Sultan Kasim Riau, tegas menolak istilah istihsan tetapi secara konsep tetap menerima istihsan.

Penerapan konsep pengertian istihsan adalah tak hanya menggunakan akal, tetapi hukum sesuatu ditetapkan berdasarkan dalil yang lebih kuat. Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang pengertian istihsan, pendapat para ulama, dan macam-macamnya, Rabu (12/1/2022).

Pengertian Istihsan Menurut Para Ulama

Ilustrasi Muslim - Image by Igor Ovsyannykov from Pixabay
Ilustrasi Muslim - Image by Igor Ovsyannykov from Pixabay

Para ulama dari mazhab Hanafi, Imam Bazdawi dalam kitab Kasyf al-Asror fi Ushul al-Bazdawi oleh Abdul Aziz al-Bukhari menjelaskan pengertian istihsan adalah berpaling dari kehendak qiyas (sumber hukum yang disepakati) kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat.

Sementara para ulama dari mazhab Maliki dalam kitab al-Muwafaqot fi ushul asy-Syari’ah oleh Abu Ishaq asy-Syatibi menjelaskan pengertian istihsan adalah mengambil (mengamalkan) kemaslahatan juz’iyyah (khusus) ketika bertentangan dengan dalil yang kulli (umum).

Para ulama dari mazhab Hanabilah dalam kitab Raudah an-Nazhir wa Jannat al-Munazhir oleh Ibnu Qudamah menjelaskan pengertian istihsan adalah berpaling dari hukum dalam suatu masalah disebabkan adanya dalil khusus yang menyebabkan pemalingan ini, baik dari Kitab maupun dari Sunah.

Dijelaskan dari kesepakatan di atas, pengertian istihsan adalah upaya memalingkan suatu dalil dari dalil yang lemah untuk diganti ke dalil yang lebih kuat, tujuan kegiatan istihsan tak lain untuk kemaslahatan umat manusia.

 

Penolakan Istihsan

Ilustrasi Muslim - Image by Muhammad Afwan from Pixabay
Ilustrasi Muslim - Image by Muhammad Afwan from Pixabay

Khusus para ulama dari mazhab Syafi’iyyah, Imam al-Gazali dijelaskan dalam kajian teori penelitian yang diterbitkan Universitas Islam Negeri Sultan Kasim Riau, tegas menolak istilah istihsan tetapi secara konsep tetap menerima istihsan.

Apa alasan para ulama itu menolak istihsan untuk menyimpulkan adanya hukum pada suatu perkara? Dalam jurnal berjudul Istihsan sebagai Sumber dan Metode Hukum Islam oleh H. Kadenun dijelaskan alasan tersebut. Bagaimana?

1. Syari’at itu berupa Nash atau mengembalikan kepada Nash dengan Qiyas, maka di manakah letaknya Istihsan dan dalam hal ini bertentangan dengan firman Allah SWT yang terdapat di dalam Al-Qur’an surat al-Qiyamah ayat 36 yang artinya: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungan jawab)?”

2. Istihsan tidak ada dlabit-nya dan tidak ada ukuran-ukuran untuk mengqiyaskannya, sehingga apabila dihadapkan kepada seseorang mujtahid suatu kasus, maka dia akan menetapkan hukum sesuai dengan apa yang dianggap baik sesuai dengan seleranya.

3. Apabila Istihsan dibolehkan dalam berijtihad yang tidak berdasarkan dengan Nash atau tidak dikembalikan kepada Nash, maka Istihsan boleh dilakukan oleh siapa saja meskipun tidak mengetahui Al-Qur’an.

Atas dasar alasan-alasan ini, maka Imam asy-Syafi’I berkesimpulan “Man Istahsana Faqad Syara’a” yang artinya: “Barang siapa yang menetapkan hukum dengan Istihsan berarti dia telah membuat syari’at sendiri.”

Macam-Macam Istihsan

Ilustrasi Muslim - Image by İbrahim Mücahit Yıldız from Pixabay
Ilustrasi Muslim - Image by İbrahim Mücahit Yıldız from Pixabay

Ulama Hanafiyah membagi istihsan menjadi tiga macam. Dalam jurnal berjudul Istihsan sebagai Sumber dan Metode Hukum Islam oleh H. Kadenun dijelaskan tentang macam-macam istihsan tersebut:

1. Berpindahnya suatu hukum dari Qiyas Zhahir kepada suatu Qiyas Khafi.

Contoh:

Berdasarkan Qiyas Zhahir yaitu hak pengairan tanah pertanian dan hak lalu lintas di dalam harta wakaf tanah pertanian tidak termasuk harta wakaf apabila tidak disebut dengan tegas pada waktu mewakafkannya.

Sebab wakaf di-qiyas-kan kepada hal jual beli yaitu sama-sama berakibat hilangnya (mengeluarkan) hak milik dari seorang pemiliknya. Dalam hak jual beli, hak pengairan dan hak lalu lintas tidak termasuk, maka yang demikian ini terjadi pula pada wakaf.

Akan tetapi menurut Istihsan (Qiyas Khafi), wakaf tersebut dipersamakan dengan Ijarah (sewa menyewa) sebab tujuannya sama yaitu mengambil manfaat barang yang bukan miliknya sendiri.

Di dalam kegiatan sewa-menyewa, hak tanah pengairan dan lalu lintas termasuk yang disewa meskipun tidak disebut dengan tegas. Adapun dasar peninggalannya (sanadnya) yaitu pengambilan manfaat dari barang yang diwakafkan (maslahah).

2. Berpindahnya suatu hukum yang ditetapkan oleh Nash yang umum kepada yang khusus.

Contoh:

Kasus pencurian pada musim/masa kelaparan, berdasarkan Nash yang umum telah tersebutkan dalam surat al-Maidah ayar 38 yang artinya: “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan hendaklah dipotong tangannya.”

Melihat ayat tersebut di atas bahwa setiap pencuri, baik laki-laki maupun perempuan harus dipotong tangannya, akan tetapi Umar Bin Khathab tidak melakukan hal tersebut yaitu memotong tangan terhadap pencuri pada masa kelaparan.

Demikian halnya di dalam pembagian zakat bagi seorang mu’alaf dan binatang unta yang kabur/lepas harusditangkap padahal pada zaman Nabi SAW tidak harus ditangkap, tetapi dibiarkan lepas begitu saja.

3. Berpindahnya suatu hukum yang Kulli kepada hukum yang merupakan kekecualian.

Contoh:

Orang yang dititipi barang harus bertanggung jawab atas barang yang dititipkan kepadanya, apabila yang menitipkan meninggal dunia, maka orang yang dititipi barang tersebut harus mengganti barang tadi jika melalaikan dalam pemeliharaannya.

Dalam kasus ini, berdasarkan Istihsan, maka seorang ayah tidak diwajibkan menggantinya, karena ia dapat menggunakan harta anaknya untuk mengongkosi hidupnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya