Liputan6.com, Jakarta Istilah pungli sangat familiar di telinga masyarakat Indonesia. Pungli bisa terjadi di mana saja, baik itu di jalanan, di dalam perusahaan maupun di sebuah instansi atau birokrat pemerintah. Tindakan ini merupakan tindakan yang tercela.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, pungli merupakan akronim atau singkatan dari kata pungutan liar adalah tindakan meminta sesuatu berupa uang dan sebagainya kepada seseorang, lembaga atau perusahaan tanpa menuruti peraturan yang lazim. Hal ini biasanya disamakan dengan perbuatan pemerasan, penipuan atau korupsi.
Pungutan liar sebagai salah satu perbuatan buruk yang sering dilakukan oleh seseorang, seperti pegawai negeri atau pejabat negara dengan cara meminta pembayaran sejumlah uang yang tidak sesuai peraturan terkait pembayaran tersebut.
Advertisement
Untuk lebih rinci, berikut Liputan6.com ulas mengenai arti pungli beserta penyebab dan aturan hukumnya di Indonesia yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Kamis (26/5/2022).
Arti Pungli
Seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, bahwa arti pungli adalah singkatan dari pungutan liar. Pungutan liar adalah tindakan pengenaan biaya di tempat yang tidak seharusnya biaya dikenakan atau dipungut.
Secara etimologi, pungutan liar yang lebih populer dikenal dengan istilah pungli ternyata berasal dari bahasa China, yaitu dari kata Pung dan Li. Pung artinya persembahan dan Li artinya keuntungan, jadi pungli berarti mempersembahkan keuntungan.
Biasanya pungli dilakukan oleh pejabat atau aparat pemerintahan. Dalam hal ini, pungutan liar termasuk dalam kategori kejahatan jabatan yang konteknya mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan untuk memaksa seseorang agar memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran serta mengerjakan sesuatu yang menguntungkan diri sendiri.
Pada beberapa kasus, pungutan liar juga dapat berupa uang pelicin atau yang biasa disebut uang terima kasih, uang rokok, uang semir maupun uang kopi. Praktek uang pelicin biasanya terjadi di instansi pemerintah pemberi pelayanan yang prosedurnya tidak transparan, berbelit-belit dan tidak ada kepastian dalam hal waktu penyelesaian. Alih-alih diperbaiki, kebiasaan ini sering kali dianggap sebagai hal wajar dan menjadi standar dari pelayanan yang tepat waktu.
Uang pelicin memang tidak menyebabkan kerugian negara secara langsung, hanya saja apabila praktik tersebut berlangsung dalam jangka lama, maka dapat merusak integritas dan mental para pegawai instansi pemerintah. Bahkan hal ini bisa menjadi langkah awal terjadinya tindak korupsi dalam birokrasi.
Advertisement
Penyebab Terjadinya Pengutan Liar
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang melakukan pungutan liar yaitu:
1. Menyalahgunakan wewenang. Dengan jabatan atau kewenangan seseorang bisa melakukan pelanggaran disiplin oleh pelaku yang melakukan pungutan liar.
2. Adanya ketidakpastian pelayanan sebagai akibat adanya prosedur pelayanan yang panjang dan melelahkan. Sehingga masyarakat memilih menyerah ketika berhadapan dengan pelayanan publik yang korup.
3. Faktor ekonomi, penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup atau tidak sebanding dengan tugas/jabatan yang diemban, terkadang membuat seseorang terdorong untuk melakukan praktik pungli.
4. Faktor kultural dan budaya organisasi yang membiasakan terjadinya tindak pungli serta penyuapan berjalan terus menerus di suatu lembaga.
5. Terbatasnya sumber daya manusia.
6. Lemahnya sistem kontrol dan pengawasan dari atasan.
Hukum Pungli di Indonesia
Jauh sebelum masyarakat mengenal kata pungli, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengidentifikasi transaksi haram ini ke dalam beberapa istilah, seperti pemerasan (Pasal 368), gratifikasi / hadiah (Pasal 418) serta melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang (Pasal 23). Pasal-pasal terkait pungutan liar tersebut diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999, yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 dalam pasal penerimaan hadiah (gratifikasi), isinya sebagai berikut:
1. Pasal 12 huruf e
Berbunyi, Pegawai negeri / penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan / untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
2. Pasal 12 huruf f
Berbunyi, Pegawai negeri / penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri/ penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negara/ penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya. Padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
3. Pasal 12 huruf g
Berbunyi, Pegawai negara / penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima pekerjaan, atau penyerahan barang seolah-olah merupakan utang kepada dirinya. Padahal diketahui bahwa hal tersebut bukanlah utang.
4. Pasal 12 huruf h
Berbunyi, Pegawai negeri / penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan telah merugikan orang yang berhak. Padahal diketahui bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Para pelaku pungli atau pungutan liar lebih mudah dijerat dengan pasal gratifikasi yang meliputi 4 ayat diatas. Sebab asal usul uang gratifikasi (hadiah) tidak selalu merupakan ranah keuangan, dapat berupa uang pribadi atau uang dari pihak ketika. Sehingga akan lebih mudah untuk dibuktikan ketika berada di pengadilan.
Jika pelaku pungli didakwa dengan pasal suap menyuap (Pasal 5,6 dan 11), maka hakim penuntut umum akan kesulitan dalam membuktikan motif suap serta harus melakukan prosedur operasi tangkap tangan. Begitu juga apabila pelaku pungli didakwa dengan pasal pengelapan dalam jabatan (Pasal 8,9 dan 10), maka penuntut umum akan kesulitan dalam pembuktian kerugian keuangan negara dalam hal uang yang digelapkan.
Advertisement