Pengawasan Pemilu Adalah? Simak Sejarah dari Panwaslak ke Bawaslu

Pengawasan pemilu adalah kegiatan mengamati, mengkaji, memeriksa, dan menilai proses penyelenggaraan Pemilu sesuai peraturan perundang- undangan.

oleh Silvia Estefina Subitmele diperbarui 19 Jan 2024, 17:45 WIB
Diterbitkan 19 Jan 2024, 17:45 WIB
Jelang Pemilu 2024
Penyortiran dan pelibatan melibatkan 180 petugas yang direkrut melalui panitia pemilihan kecamatan (PPK). Penyortiran dan pelipatan mendapatkan pengawasan ketat Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Kota Banda Aceh serta pengamanan dari kepolisian. (CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP)

Liputan6.com, Jakarta Pengawasan pemilu merujuk pada serangkaian tindakan dan kegiatan yang bertujuan, untuk mengawasi dan memantau jalannya proses pemilihan umum (pemilu). Tujuan utama dari pengawasan pemilu adalah untuk memastikan bahwa pemilihan berlangsung dengan adil, transparan dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Proses pengawasan ini melibatkan pihak-pihak yang independen, baik dari lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun masyarakat umum. Pengawasan pemilu adalah kegiatan pemantauan seluruh rangkaian proses pemilihan, mulai dari pendaftaran pemilih, kampanye pemilu, pemungutan suara, hingga penghitungan suara.

Tujuannya pengawasan pemilu adalah untuk memastikan, bahwa setiap tahapan dilaksanakan sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku. Pengawasan ini juga berfungsi mencegah terjadinya kecurangan atau manipulasi dalam proses pemilihan. Pihak-pihak yang terlibat dalam pengawasan berupaya mengidentifikasi dan mengatasi potensi pelanggaran hukum, atau etika yang dapat merugikan integritas pemilu.

Berikut ini sejarah pengawasan pemilu yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (19/1/2024). 

Sejarah Pengawasan Pemilu

Ilustrasi surat suara Pemilu 2024 (Istimewa)
Ilustrasi surat suara Pemilu 2024 (Istimewa)

Pada pelaksanaan Pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955, istilah pengawasan pemilu ini belum dikenal. Suasana kepercayaan antara peserta dan warga negara, membangun keyakinan terhadap integritas pelaksanaan pemilu yang pada waktu itu bertujuan membentuk lembaga parlemen, atau yang disebut sebagai Konstituante.

Meskipun terdapat pertentangan ideologi yang cukup kuat, kecurangan dalam tahapan pelaksanaan Pemilu sangat minim dan bila terjadi gesekan, hal tersebut umumnya terjadi di luar wilayah pelaksanaan Pemilu. Oleh karena itu, pemilu 1955 sering dianggap sebagai pemilu yang paling ideal dalam sejarah Indonesia.

Kelembagaan Pengawas Pemilu mulai muncul pada Pemilu 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu). Pada saat itu, muncul kekhawatiran terhadap pelaksanaan Pemilu yang mulai dipengaruhi oleh kekuatan rezim penguasa. Pembentukan Panwaslak Pemilu pada Pemilu 1982 dipicu oleh protes terhadap pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara pada Pemilu 1971.

Seiring dengan meningkatnya pelanggaran pada Pemilu 1977, pemerintah dan DPR yang didominasi Golkar dan ABRI merespons protes ini dengan mengusulkan perbaikan undang-undang untuk meningkatkan "kualitas" Pemilu 1982. Untuk memenuhi tuntutan PPP dan PDI, pemerintah setuju untuk melibatkan wakil peserta pemilu dalam kepanitiaan pemilu dan mengenalkan badan baru yang mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU).

Pada era reformasi, tuntutan untuk membentuk penyelenggara Pemilu yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa semakin menguat. Inilah latar belakang dibentuknya Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang independen. Sementara itu, lembaga pengawas pemilu juga mengalami perubahan nomenklatur dari Panwaslak Pemilu menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).

Perubahan mendasar terkait dengan kelembagaan Pengawas Pemilu dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Menurut UU ini, lembaga ad-hoc dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan Pemilu, terlepas dari struktur KPU, dengan membentuk Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan. Selanjutnya, kelembagaan pengawas Pemilu diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang menciptakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Bawaslu bertanggung jawab hingga tingkat kelurahan/desa melalui Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, dan Pengawas Pemilu Lapangan (PPL). Meskipun UU Nomor 22 Tahun 2007 memberikan sebagian kewenangan pembentukan Pengawas Pemilu kepada KPU, Mahkamah Konstitusi kemudian mengubahnya melalui judicial review yang dilakukan oleh Bawaslu terhadap UU tersebut.

Hasilnya, rekrutmen Pengawas Pemilu sepenuhnya menjadi kewenangan Bawaslu. Kewenangan utama Pengawas Pemilu, menurut UU Nomor 22 Tahun 2007, termasuk mengawasi tahapan pemilu, menerima pengaduan, dan menangani pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana pemilu, serta kode etik.

 

Pentingnya Pengawasan Pemilu

Ilustrasi pemilu, pilkada, pilpres
Ilustrasi pemilu, pilkada, pilpres. (Foto oleh Edmond Dantès: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-orang-laki-laki-perempuan-kelompok-7103110/)

Demokrasi, sebagai bentuk pemerintahan yang meletakkan kekuasaan pada rakyat, memerlukan mekanisme yang tidak hanya mengamankan hak partisipasi, tetapi juga memastikan integritas proses pemilihan umum. Dalam konteks ini, pengawasan pemilu menjadi landasan utama yang mendukung dan mempertahankan kesehatan demokrasi suatu negara. Pertama-tama, pengawasan pemilu berfungsi sebagai penjaga integritas pemilihan.

Dalam atmosfer politik yang sering kali penuh dengan ketegangan, potensi risiko kecurangan dan manipulasi selalu mengintai. Pengawasan ini tidak hanya berperan sebagai penjaga, tetapi juga sebagai pemeriksa setia, mengungkapkan dan mencegah setiap praktik yang dapat menggoyahkan kepercayaan rakyat pada proses pemilihan.

Selanjutnya, pengawasan pemilu menciptakan pintu keterbukaan dan transparansi. Informasi yang terbuka selama seluruh proses pemilu menjadi pondasi yang kokoh, untuk membangun kepercayaan publik. Dengan memastikan bahwa setiap tahapan, dari pendaftaran pemilih hingga penghitungan suara, dapat diakses dan dimonitor oleh masyarakat, pengawasan pemilu membentuk fondasi bagi demokrasi yang responsif dan akuntabel.

Keberhasilan demokrasi juga sangat tergantung pada hasil pemilihan yang dapat diterima oleh masyarakat. Dalam hal ini, pengawasan pemilu berkontribusi pada pemberian legitimasi yang kuat terhadap pemerintahan yang terpilih. Kesadaran masyarakat bahwa pemilihan berlangsung dengan adil dan bersih, meningkatkan kecenderungan untuk mengakui dan menghormati otoritas yang muncul dari proses demokratis tersebut.

Perlindungan terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk memberikan suara tanpa intimidasi atau hambatan, juga menjadi aspek krusial dalam pengawasan pemilu. Melalui pemantauan yang cermat, tindakan intimidasi, penekanan, atau pelanggaran hak asasi manusia lainnya dapat diidentifikasi dan diatasi, menciptakan suasana yang aman untuk partisipasi politik yang bebas dan adil.

Selain itu, pengawasan pemilu tidak hanya berfokus pada prosesnya, tetapi juga terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin muncul. Mekanisme penyelesaian sengketa yang transparan dan adil memiliki peran penting dalam meredakan ketegangan politik dan menjaga stabilitas pasca-pemilu.

Mengajak masyarakat untuk terlibat dalam pengawasan pemilu adalah langkah lanjutan yang tak kalah penting. Partisipasi aktif masyarakat dalam pemantauan proses pemilihan bukan hanya meningkatkan kesadaran mereka akan hak pilih, tetapi juga menciptakan keterlibatan yang lebih dalam dalam proses demokratis.

 

Tugas Pengawas Pemilu di TPS

Ilustrasi pemilu, PTPS
Ilustrasi pemilu, PTPS. (Image by macrovector on Freepik)

Mengacu pada Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020, terdapat penjelasan terinci mengenai pembentukan dan fungsi pengawas Tempat Pemungutan Suara (TPS). Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwaslu Kecamatan) atau Panitia Pengawas Kecamatan (Panwas Kecamatan) berperan dalam membentuk pengawas TPS di setiap wilayahnya, dengan satu pengawas TPS untuk setiap TPS.

Pengawas TPS memiliki tugas, wewenang, dan kewajiban tertentu dalam melaksanakan pengawasan Pemilu atau Pemilihan, yang melibatkan beberapa fungsi strategis, antara lain:

1. Bertanggung jawab untuk mencegah dugaan pelanggaran Pemilu atau Pemilihan di TPS yang menjadi tanggung jawabnya.

2. Melakukan pengawasan aktif terhadap seluruh tahapan pemungutan dan penghitungan surat suara Pemilu atau Pemilihan di TPS yang diawasinya.

3. Menyelenggarakan pengawasan terhadap pergerakan hasil penghitungan suara, memastikan keamanan dan keabsahan seluruh proses tersebut.

4. Menerima laporan dan/atau temuan dugaan pelanggaran Pemilu atau Pemilihan dari berbagai pihak di wilayah TPS yang bersangkutan.

Dalam menjalankan tugasnya, Pengawas TPS memiliki wewenang untuk melakukan beberapa tindakan, termasuk koordinasi dengan Pengawas TPS di wilayah sekitarnya, konsultasi kepada Panwaslu Kelurahan/Desa/PPL dan konsultasi kepada Panwaslu Kecamatan/Panwas Kecamatan melalui Panwaslu Kelurahan/Desa/PPL. Koordinasi dan konsultasi ini dilakukan untuk kepentingan penyelenggaraan pengawasan Pemilu atau Pemilihan, serta untuk menyelesaikan permasalahan yang mungkin muncul.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya