Mengenal Perjanjian Giyanti, Isi, Sejarah, dan Dampaknya yang Perlu Diketahui

Perjanjian Giyanti merupakan tonggak penting dalam sejarah Jawa yang menandai berakhirnya konflik berkepanjangan antara Kerajaan Mataram dan VOC.

oleh Ayu Rifka Sitoresmi diperbarui 31 Mei 2024, 17:13 WIB
Diterbitkan 15 Mei 2024, 18:10 WIB
Mengenal Perjanjian Giyanti, Isi, Sejarah, dan Dampaknya yang Perlu Diketahui
Peringatan Perjanjian Giyanti ke 266 di Kranganyar, Jawa Tengah begitu istimewa dengan hadirnya pihak Kasultanan Yogyakarta dan Pemda DIY.

Liputan6.com, Jakarta Perjanjian Giyanti merupakan tonggak penting dalam sejarah Jawa yang menandai berakhirnya konflik berkepanjangan antara Kerajaan Mataram dan VOC. Ditandatangani pada tahun 1755, perjanjian ini membagi Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, yakni Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pembagian ini tidak hanya meredakan ketegangan, tetapi juga mengubah peta politik di Jawa pada masa itu.

Latar belakang Perjanjian Giyanti bermula dari perselisihan internal di Mataram yang dimanfaatkan oleh VOC untuk memperluas pengaruhnya. Sultan Pakubuwono III dari Surakarta dan Pangeran Mangkubumi, yang kemudian menjadi Sultan Hamengkubuwono I, terlibat dalam perebutan kekuasaan. VOC bertindak sebagai mediator, namun dengan agenda tersembunyi untuk melemahkan kekuatan Mataram demi keuntungan kolonial.

Dampak dari Perjanjian Giyanti sangat signifikan bagi sejarah Jawa dan Nusantara. Selain memecah belah kekuatan politik lokal, perjanjian ini membuka jalan bagi pengaruh VOC yang semakin dominan. Warisan dari perjanjian ini masih terasa hingga kini, dengan dua kerajaan besar yang masih eksis sebagai simbol budaya dan sejarah di Indonesia.

Agar lebih paham, berikut Liputan6.com ulas mengenai isi Perjanjian Giyanti, sejarah, dan dampaknya yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Rabu (15/5/2024).

Menenal Perjanjian Giyanti

Mengenal Perjanjian Giyanti, Isi, Sejarah, dan Dampaknya yang Perlu Diketahui
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Solo, Jawa Tengah. (Foto: Dok. JIBI/Solopos.com)

Perjanjian Giyanti merupakan tonggak penting dalam sejarah Jawa yang menandai berakhirnya konflik berkepanjangan antara Kerajaan Mataram dan VOC. Perjanjian  tersebut secara resmi membagi kekuasaan Kesultanan Mataram kepada Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi.

Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa tidak ikut dalam perjanjian ini. Setelah perjanjian damai ditandatangani, Pangeran Mangkubumi yang sudah bergelar Sultan Hamengkubuwana I kemudian ikut memerangi kelompok Pangeran Sambernyawa. Mereka kemudian juga akan menandatangi perjanjian damai dalam kesepakatan selanjutnya, yaitu Perjanjian Salatiga, pada tahun 1757. Nama "Giyanti" diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian, yaitu di Desa Janti, dalam ejaan van Ophuijsen menjadi Gijanti. Kini terletak di Dusun Kerten, Desa Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah.

Sejarah Perjanjian Giyanti

Mengenal Perjanjian Giyanti, Isi, Sejarah, dan Dampaknya yang Perlu Diketahui
Pihak Keraton Kasunanan Solo, Jawa Tengah, akan menggelar Malam 1 Suro pada Kamis, 21 September 2017. (Liputan6.com/Fajar Abrori)

Perjanjian Giyanti merupakan peristiwa yang menandai pecahnya Mataram Islam. Awal mula kisah perpecahan kerajaan di Jawa ini bermula dari pertikaian antar keluarga yang disebabkan politik adu domba VOC. Konflik saudara tersebut melibatkan Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa. Berdasarkan silsilahnya, Pakubuwana II (raja pendiri dari Kasunanan Surakarta) dan Pangeran Mangkubumi adalah kakak beradik, yang merupakan sama-sama putra dari Amangkurat IV (1719-1726). Sedangkan Raden Mas Said merupakan salah sati cucu Amangkurat IV, atau lebih tepatnya ialah keponakan dari Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi. Raden Said sendiri meminta haknya sebagai pewaris takhta Mataram yang diduduki oleh pamannnya yakni, Pakubuwana II. Alasan utamanya ialah bahwa ayah Raden Mas Said, Pangeran Arya Mangkunegara merupakan putra sulung dari Amangkurat IV. Oleh karenanya, Arya Mangkunegara lah yang seharusnya menjadi raja Mataram meneruskan Amangkurat IV. Namun, karena Arya Mangkunegara sering menentang kebijakan VOC akhirnya berimbas harus diasingkan ke Srilanka hingga meninggal dunia. VOC pun kemudian menaikkan putra Amangkurat IV lainnya, yakni Pangeran Prabusuyasa, sebagai penguasa Mataram selanjutnya dan bergelar Paku Buwana II.

Ketika Pakubuwana II memangku tampuk kepemimpinan Mataram Islam, ia memindahkan ibu kota kerajaan tersebut dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Febuari 1745.  Perpindahan tersebut terjadi setelah Keraton Kartasura hancur akibat adanya pemberontakan yang dipimpin Mas Garendi atau Sunan Kuning pada 1742 dan mengakibatkan istana Mataram Islam di Kartasura rusak. Hal ini semakin memperkuat Raden Mas Said ingin merebut tahta Mataram Islam dari pamannya Pakubuwana II. Karena memiliki tujuan yang sama, akhirnya Raden Mas Said bekerjasama dengan Pangeran Mangkubumi untuk merebut tahta Mataram Islam dari Pakubuwana II yang dibantu oleh VOC.

Pada 20 Desember 1749 Pakubuwono II wafat. Kekosongan pemerintahan ini kemudian dimanfaatkan oleh Pangeran Mangkubumi untuk mengangkat dirinya sebagai raja baru Mataram Islam. Mengetahui hal tersebut maka VOC tidak mengakui Pangeran Mangkubumi sebagai penguasa dari Mataram Islam karena sebelum Pakubuwana II wafat ia memberikan wewenang pengangkatan raja baru kepada VOC.Situasi memanas ketika VOC  mengangkat putra Pakubuwana II, Raden Mas Soerjadi menjadi raja Mataram Islam dengan gelar Pakubuwana III. Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi kembali melancarkan serangan pada VOC dan Pakubuwana III.

Untuk mengatasi serangan dari Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi, VOC kemudian menyusun siasat adu domba kedua tokoh tersebut.  VOC mengirimkan utusan khusus untuk menghasut Raden Mas Said agar berhati-hati terhadap Pangeran Mangkubumi yang bisa mengkhianatinya. Politik adu domba yang dilancarkan VOC membuahkan hasil, pada 1752 terjadi perselisihan antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh VOC untuk berunding dengan Mangkubumi. VOC membujuk Mangkubumi dengan menjanjikan setengah wilayah kekuasaan Mataram yang dipegang Pakubuwan III.

Pada 22-23 September 1754 VOC mengadakan perundingan dengan mengudang Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi untuk membahas pembagian wilayah kekuasaan Mataram, gelar yang akan digunakan, kerja sama VOC dengan kesultanan. Perundingan ini akhirnya mencapai kesepakatan dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang membagi kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani, maka Pangeran Mangkubumi pun mendapat setengah wilayah Mataram Islam yang kemudian memunculkan kerajaan baru bernama Kasultanan Ngayogyakarta  Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi lalu mendeklarasikan sebagai raja dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I. dengan demikian, maka Riwayat Kerajaan Mataram Islam telah berakhir baik secara de facto maupun de jure.

Isi Perjanjian Giyanti

Mengenal Perjanjian Giyanti, Isi, Sejarah, dan Dampaknya yang Perlu Diketahui
Keraton Pura Mangkunegaran Solo, simbol masyarakat adat Solo. (foto : Liputan6.com / Fajar Abrori)

Berikut ini isi dari Perjanjian Giyanti meliputi 9 pasal diantaranya:

  1. Pengangkatan Mangkubumi menjadi Sultan Hamengkubuwana Senopati Ing Alang Ngabdurrahman Sayyidin Panotogomo Kalifatullah atau separuh Kerajaan Mataram.
  2. Diusahakan kerjasama rakyat dibawah kekuasaan Kompeni dengan rakyat Kesultanan
  3. Pepatih Dalem dan bupati menjalankan tugasnya masing-masing dan menjalankan sumpah setia kepada Kompeni di tangan gubernur.
  4. Sri Sultan tidak memberhentikan Pepatih Dalem serta bupati sebelum memperoleh persetujuan Kompeni.
  5. Sri Sultan mengampuni bupati selama peperangan memihak Kompeni.
  6. Sri Sultan tidak menuntut hak atas Pulau Madura serta daerah pesisir, yang sudah diserahkan Sri Sunan Pakubuwono II terhadap Kompeni pada 18 Mei 1746.
  7. Sri Sultan memberi bantuan kepada Sri Sunan Pakubuwono III.
  8. Sri Sultan berjanji menjual terhadap Kompeni bahan makanan dengan harga tertentu.
  9. Sultan berjanji menaati semua macam perjanjian yang sudah diadakan antara raja-raja Mataram dengan Kompeni.

Dampak dari Perjanjian Giyanti

Berikut ini ada beberapa dampak bagi masyarakat setelah adanya Perjanjian Giyanti, yakni:

1. Pecahnya Mataram Islam Menjadi Dua

Pasca disahkannya Perjanjian Giyanti, Mataram Islam terpecah menjadi dua yaitu Kerajaan Islam disebelah timur Sungai Opak yang dipimpin Susuhunan Pakubuwana III bernama Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sedangkan Mataram Islam bagian Sungai Opak dipimpin oleh Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengku Buwana I bernama Kasultanan Ngayogyakarta.

2. Terjadinya Pergeseran Nilai – Nilai Budaya dalam Masyarakat Mataram Islam

Dalam Perjanjian Giyanti sangat terlihat otoritas VOC dalam pemerintahan Mataram Islam. Hal ini sangat fatal karena akan menimbulkan kekacauan dalam sistem pemerintahan Mataram Islam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya