Alasan Kenapa Seseorang Orang Tone Deaf Sosial, Begini Cara Menghindarinya

Tone deaf sosial merujuk pada sikap seseorang yang tidak peduli atau menutup diri dari apa yang terjadi di sekitarnya.

oleh Fitriyani Puspa Samodra diperbarui 27 Agu 2024, 18:10 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2024, 18:10 WIB
tutup kuping
Tone deaf sosial merujuk pada sikap seseorang yang tidak peduli atau menutup diri dari apa yang terjadi di sekitarnya. /Copyright pexels.com/Lizza Summer

Liputan6.com, Jakarta Tone deaf kembali menjadi topik hangat di media sosial. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tidak peka terhadap isu-isu yang sedang ramai diperbincangkan. Tone deaf secara harfiah berarti tuli nada atau kesulitan membedakan atau menyanyikan nada secara akurat. Namun, istilah ini kini berkembang menjadi istilah sosial yang menggambarkan ketidakpedulian seseorang terhadap perasaan dan situasi orang lain.

Tone deaf sosial merujuk pada sikap seseorang yang tidak peduli atau menutup diri dari apa yang terjadi di sekitarnya. Mereka cenderung mengabaikan perasaan orang lain dan tidak tertarik untuk memahami dampak dari tindakan atau kata-kata mereka terhadap orang lain. Sikap ini bukan hanya bentuk ketidakpekaan, tetapi juga sebuah perilaku yang mencerminkan keengganan untuk berempati.

Seseorang yang tone deaf sosial cenderung bersikap acuh tak acuh, bahkan ketika tindakan atau kata-katanya berpotensi menyakiti orang lain. Mereka mungkin berpikir bahwa orang lain harus menerima mereka apa adanya, tanpa mempertimbangkan bahwa sikap ini bisa merugikan hubungan sosial mereka.

Bagaimana ini bisa terjadi? Berikut alasan lebih lanjut tentang bagaimana seseorang menjadi tone deaf sosial, dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Selasa (27/8/2024).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


1. Zona Nyaman dan Gaya Hidup Mewah

Ilustrasi Orang Kaya
Ilustrasi Zona Nyaman dan Gaya Hidup Mewah

Salah satu penyebab utama seseorang menjadi tone deaf sosial adalah kenyamanan yang diberikan oleh gaya hidup mewah di zona nyaman mereka. Orang-orang yang hidup dalam kemewahan sering kali merasa terlindungi dari masalah sosial yang mungkin memengaruhi masyarakat secara luas. 

Terbiasa dengan fasilitas yang memadai dan kehidupan yang nyaman membuat orang-orang tone deaf sosial cenderung lebih fokus pada kepentingan pribadi dan kurang memperhatikan isu-isu yang memengaruhi orang lain. Jika terus dipertahankan, kebiasaan ini dapat menyebabkan sikap yang acuh tak acuh terhadap kondisi sekitar.

2. Pengaruh Lingkungan dan Keluarga

Empati seseorang dapat "terkurung" atau terbatasi oleh pengaruh eksternal seperti keluarga atau lingkungan pertemanan. Jika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang kurang peduli terhadap masalah sosial, atau jika mereka diberi nasihat untuk "tidak ikut campur" demi keamanan diri sendiri, maka mereka mungkin akan menutup mata terhadap isu-isu yang sebenarnya membutuhkan perhatian. 

Orang-orang yang cenderung penurut dan tidak memiliki sifat pemberontak lebih rentan terhadap pengaruh ini. Akibatnya, mereka bisa menjadi tone deaf karena enggan melawan atau keluar dari zona nyaman tersebut.

3. Fokus pada Kepentingan Pribadi

Bagi banyak orang yang tone deaf sosial, isu-isu yang memengaruhi masyarakat luas, seperti kenaikan harga barang atau meningkatnya angka PHK, dianggap bukanlah urusan mereka. Mereka lebih memilih untuk fokus pada kehidupan pribadi yang penuh dengan kesenangan dan kemewahan, tanpa memperhatikan dampak dari peristiwa-peristiwa tersebut terhadap orang lain. Sikap ini memperkuat kecenderungan mereka untuk menutup mata, hati, dan jiwa terhadap apa yang terjadi di sekitar mereka, memperburuk tone deaf sosial.


Apakah Benar Generasi Saat Ini Semakin Tone Deaf?

Ilustrasi Generasi Milenial (iStockphoto)
Apakah Benar Generasi Saat Ini Semakin Tone Deaf?(Ilustrasi/iStockphoto)

Generasi Z tumbuh dalam era teknologi dan media sosial yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya. Akses informasi dan konten tidak pernah semudah sekarang, dan meskipun ini bisa menjadi keuntungan, ada juga sisi gelapnya. Paparan terhadap konten sensitif dan grafis melalui media sosial dan berita dapat membuat orang menjadi terbiasa, bahkan tidak peka, terhadap situasi serius. 

Contoh dari fenomena ini terlihat jelas di media sosial TikTok. Pada awal Januari 2024, ada tren konten di mana anak-anak mengerjai orang tua mereka dengan berpura-pura bahwa seorang selebriti terkenal telah meninggal. Video reaksi orang tua ini menjadi viral dan dianggap sebagai hiburan oleh banyak orang. 

Namun ketika seorang pembawa acara terkenal, Andy Cohen, menyuarakan kemarahannya terhadap tren ini karena menunjukkan betapa tone-deaf-nya masyarakat dalam menyadari dampak emosional dari berpura-pura tentang kematian seseorang.

Contoh lainnya adalah insiden yang melibatkan Damar Hamlin, seorang pemain sepak bola Amerika yang mengalami serangan jantung di lapangan. Sementara dunia olahraga terguncang oleh kejadian ini, sebuah cuitan dari kolumnis olahraga terkenal, Skip Bayless, yang lebih mementingkan kelanjutan jadwal pertandingan daripada kondisi Hamlin, menunjukkan betapa mudahnya orang bisa menjadi tone-deaf ketika terlalu fokus pada hal-hal yang mereka anggap penting, sementara mengabaikan nyawa dan kesejahteraan orang lain.

Namun, penting untuk diingat bahwa tone deaf sosial bukanlah sesuatu yang tidak dapat diperbaiki. Meskipun beberapa orang mungkin sengaja bersikap tidak peka, masyarakat yang memiliki kesadaran dapat bersatu untuk terus menyuarakan empati dan berusaha untuk memahami perspektif orang lain. Empati dan rasa hormat adalah kunci untuk mencegah diri kita menjadi tone-deaf dalam situasi yang sensitif.

Hampir semua orang di era modern pernah menjadi tone deaf, terutama dalam momen-momen yang sangat sensitif. Maka penting untuk menyadari kesalahan tersebut, meminta maaf, dan belajar untuk tidak mengulanginya. Dengan terus mendidik diri sendiri tentang cara bersikap lebih peka, kita bisa menghindari menjadi tone-deaf dan membangun lingkungan sosial yang lebih empatik dan penuh pengertian.

Dengan begitu, meskipun generasi saat ini tampak lebih rentan terhadap tone deaf sosial karena paparan media yang terus-menerus, ada upaya yang dapat dilakukan untuk menghindarinya. Dengan usaha sadar untuk mendengarkan, memahami, dan menghormati orang lain, kita semua bisa mengatasi kecenderungan ini dan menciptakan masyarakat yang lebih peduli.


Akibat dari Tone Deaf Sosial

Ilustrasi masyarakat, kehidupan, stratifikasi sosial
Ilustrasi masyarakat, kehidupan, stratifikasi sosial. (Photo by mauro mora on Unsplash)

Ketika seseorang bersikap tone deaf, ada beberapa konsekuensi negatif yang bisa muncul, baik bagi individu tersebut maupun bagi lingkungan sosial mereka.

1. Hubungan Sosial yang Terganggu 

Sikap tone deaf dapat merusak hubungan sosial. Ketika seseorang tidak mampu atau tidak mau memahami perasaan orang lain, mereka cenderung memberikan respons yang tidak sesuai atau bahkan menyakiti orang lain tanpa disadari. Hal ini dapat menyebabkan orang-orang di sekitar mereka merasa tidak dihargai atau diabaikan, yang pada akhirnya bisa memutuskan ikatan sosial dan membuat individu tersebut terisolasi.

2. Kehilangan Kepercayaan dan Reputasi

Individu yang sering menunjukkan sikap tone deaf mungkin akan kehilangan kepercayaan dari orang lain. Ketika seseorang dianggap tidak peduli atau tidak sensitif terhadap isu-isu penting, orang lain mungkin enggan untuk berbagi perasaan atau pendapat dengan mereka. Hal ini dapat merusak reputasi mereka, baik di lingkungan sosial, tempat kerja, maupun di komunitas yang lebih luas.

3. Menyebabkan Kesalahpahaman dan Konflik

Tone deafness sering kali memicu kesalahpahaman dan konflik. Misalnya, komentar atau tindakan yang tidak peka terhadap situasi yang serius dapat dianggap sebagai tanda ketidakpedulian atau bahkan penghinaan. Ini bisa memicu perasaan marah, sakit hati, dan perpecahan, baik dalam lingkup pribadi maupun profesional.

4. Memperkuat Sikap Acuh Tak Acuh di Masyarakat 

Jika sikap tone deaf ini meluas di dalam masyarakat, hal ini dapat memperkuat sikap acuh tak acuh terhadap masalah-masalah sosial yang penting. Ketika banyak orang mulai mengabaikan isu-isu yang sebenarnya membutuhkan perhatian, ini bisa menghambat perubahan sosial yang positif dan memperburuk kondisi sosial di berbagai lapisan masyarakat.

5. Menghambat Perkembangan Empati dan Pengertian 

Sikap tone deaf menghalangi perkembangan empati dan pengertian. Ketidakmampuan atau keengganan untuk memahami perspektif orang lain membuat individu lebih sulit untuk berempati dan berhubungan secara mendalam dengan orang lain. Akibatnya, mereka mungkin kesulitan untuk membangun hubungan yang bermakna dan saling mendukung, yang penting untuk kehidupan sosial yang sehat dan harmonis.


Cara Agar Tidak Menjadi Individu yang Tone Deaf

Ilustrasi Mengobrol dan Menyapa
Ilustrasi mengobrol, menyapa, akrab. (Unsplash.com/Christina)

Menyadari bahwa Anda mungkin terdengar tone deaf adalah langkah pertama menuju perubahan positif. Keinginan untuk memperbaiki diri menunjukkan keterbukaan terhadap kenyataan dan tekad untuk menjadi lebih baik. Berikut adalah beberapa cara untuk menghindari menjadi individu yang tone deaf dan lebih peka terhadap perasaan orang lain.

1. Coba Lihat dari Perspektif Lain

Salah satu cara termudah untuk memahami perasaan orang lain adalah dengan membayangkan diri Anda berada dalam posisi mereka. Misalnya, jika Anda terbiasa dengan kemudahan membeli barang, cobalah membayangkan bagaimana rasanya jika Anda harus menabung lama karena memiliki keterbatasan finansial. Dengan membayangkan situasi dari sudut pandang orang lain, Anda akan lebih mudah merasakan dan memahami apa yang mereka alami.

2. Berikan Respon Emosional yang Tepat

Ketika seseorang berbicara dengan Anda, perhatikan baik-baik cerita mereka. Jika mereka menceritakan sesuatu yang sedih, tunjukkan rasa simpati dengan ikut merasa sedih. Jika cerita mereka penuh dengan kebahagiaan, tersenyumlah dan beri selamat. Respon emosional yang sesuai tidak hanya menunjukkan empati tetapi juga membuat orang lain merasa dihargai dan dipahami.

3. Bertanya untuk Memahami Lebih Baik 

Terkadang, cerita atau perasaan orang lain mungkin terdengar tidak masuk akal bagi Anda. Dalam situasi seperti ini, jangan ragu untuk bertanya tentang bagaimana perasaan mereka. Dengan bertanya, Anda menunjukkan bahwa Anda benar-benar ingin memahami perasaan mereka, dan ini membantu membangun komunikasi yang lebih dalam dan bermakna.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya