Liputan6.com, Jakarta Menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan adalah kewajiban setiap umat Islam di dunia. Hal ini disebutkan dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 183 dan juga hadis Nabi Muhammad SAW tentang rukun Islam.
Pelaksanaan puasa ini dilakukan mulai imsak atau fajar shadiq (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari atau waktu maghrib.
Baca Juga
Bulan Ramadhan juga menjadi bulan yang penuh dengan keberkahan dan memberikan kesempatan untuk umat Islam memperbanyak amalan. Selain itu, kita juga harus menjauhi hal yang dapat membatalkan puasa.
Advertisement
Salah satunya yang sering ditanyakan oleh umat Islam adalah, apa sajakah yang dapat membatalkan puasa?
Hal-hal yang dapat membatalkan puasa terdapat dalam kitab-kitab fiqih, seperti kitab Safinatun-Naja, Fathul-Qarib, Fathul-Mu’in, Kifayatul Akhyar, dan lainnya.
Namun, apa saja sebenarnya macam-macam bentuk batalnya puasa dan bagaimana cara membayarnya? Kitab Safinatu an-Naja karya Syekh Sumair, Fashl wa Aqsamul-Ifthar menjelaskan tentang hal ini.
وَأَقْسَامُ الْإِفْطَارِ أَرْبَعَةٌ أَيْضًا مَا يَلْزَمُ فِيْهِ ألْقَضَاءُ وَالْفِدْيَةُ وَهُوَ إِثْنَانِ أَلْأَوَّلُ أَلْإِفْطَارُ لِخَوْفٍ عَلَى غَيْرِهِ وَالثَّانِيْ أَلْإِفْطَار مَعَ تَأْخِيْرِ قَضَاءِ مَعَ إِمْكَانِهِ حَتَّى يَأْتِيَ رَمَضَانُ أَخَرُ وَثَانِيْهَا مَا يَلْزَمُ فِيْهِ الْقَضَاءُ دُوْنَ الْفِدْيَةِ وَهُوَ يَكْثُرُ كَمُغْمَي عَلَيْهِ وَثَالِثُهَا مَا يَلْزَمُ فِيْهِ أَلْفِدْيَةُ دُوْنَ الْقَضَاءِ وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيْرٌ وَرَابِعُهَا لَا وَلَا وَهُوَ أَلْمَجْنُوْنُ أَلَّذيْ لَمْ يَتَعَدَّ بِجُنُوْنِهِ
Artinya:
"Macam-macam putusnya puasa dan hukumnya terdiri dari empat hal; Pertama, perkara yang mewajibkan qadha dan membayar fidyah, yaitu putusnya puasa sebab mengkhawatirkan orang lain dan tidak menqadha puasa disebabkan menunda-nunda pada waktu yang dimungkinkan, hingga datang bulan Ramadhan berikutnya. Kedua, perkara yang hanya mewajibkan qadha saja, dalam hal ini terjadi pada kebanyakan orang seperti sakit ayan dan lain-lain. Ketiga, perkara yang mewajibkan membayar fidyah tidak qadha, yaitu orang yang tua renta. Keempat, tidak wajib qadha dan tidak wajib fidyah, yaitu orang gila yang tidak disengaja gilanya." (Syekh Salim bin ‘Abdillah Bin Sumair, Safinatun-Naja fi Ushulid-Din wal-Fiqh, Surabaya: al-Bayan, hal. 114).
Emosi Membatalkan Puasa?
Salah satu yang sering juga ditanyakan adalah, apakah emosi atau marah-marah dapat membatalkan puasa?
Meski sudah dicoba ditahan, kadang di bulan puasa pun terjadi sesuatu hal yang kemudian membangkitkan marah. Akibatnya, tanpa bisa dikendalikan seseorang marah dan dan meluapkan emosinya pada yang lainnya, bisa jadi pada anak, istri atau bawahan. Apakah seperti itu menyebabkan batal puasa?
Seperti dikutip dari rumaysho.com, sesungguhnya marah tidak membatalkan puasa. Marah atau emosi tidak termasuk dalam hal-hal yang membatalkan puasa. Akan tetapi, jika orang marah saat puasa, maka puasanya tetap sah. Baik marah yang dilakukan punya tujuan syar’i dan ingin mendidik atau dalam rangka zalim, tidaklah membatalkan puasa.
Walaupun demikian, Rasulullah SAW mengajarkan bahwa orang yang berpuasa hendaklah memiliki sifat lemah lembut dan berusaha menahan marah, juga tidak sampai bertengkar dengan lainnya. Tetaplah bersikap lemah lembut terhadap yang berbuat nakal padanya. Hal ini sesuai hadis sahih sebagai berikut:
وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ ، أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى امْرُؤٌ صَائِمٌ
“Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah berkata-kata kotor, dan jangan pula bertindak bodoh. Jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa.” (HR. Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151)
Ibnu Baththol mengatakan, “Ketahuilah bahwa tutur kata yang baik dapat menghilangkan permusuhan dan dendam kesumat. Lihatlah firman Allah Ta’ala,
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Tolaklah (kejelekan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat: 34-35). Menolak kejelekan di sini bisa dengan perkataan dan tingkah laku yang baik.” (Syarh al Bukhari, 17: 273)
Advertisement
Konsekuensi Batalkan Puasa
Konsekuensi dalam membatalkan puasa ada dua, yakni qadha puasa dan membayar fidyah. Qadha yaitu mengganti ibadah puasa saat sebelum Ramadhan tahun berikutnya tiba yang dilakukan sesuai dengan jumlah puasa yang batal.
Sedangkan membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin untuk mengganti puasa yang ditinggalkan di bulan Ramadhan.
Orang-orang yang wajib mengadha puasa serta membayar fidyah terdiri dari dua, yakni orang-orang yang membatalkan puasa selain dirinya dan terlambat mengadha puasa hingga datangnya bulan Ramadhan berikutnya.
Syekh Nawawi memberikan contoh pada poin pertama seperti halnya orang yang menyelamatkan orang lain atau selainnya dan hal tersebut menyebabkan ia membatalkan puasanya. Misalnya, seorang ibu yang menyusui anaknya, ia mengkhawatirkan kesehatan anaknya tersebut ketika ia berpuasa.
Imam al-Ghazali turut menjelaskan dalam karyanya, kitab Ihya Ulumiddin;
واما الفدية فتجب على الحامل والمرضع إذا أفطرتا خوفا على ولديهما لكل يوم مد حنطة لمسكين واحد مع القضاء
Artinya:
"Adapun fidyah adalah wajib atas wanita hamil dan menyusui ketika keduanya membatalkan puasa karena khawatir akan keselamatan anaknya, setiap hari (yang ditnggalkan) satu mud untuk satu orang miskin, dan dibarengi dengan melakukan qadha (mengganti puasa)." (Imam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Indonesia: Dar al-Ihya, hal. 234, Juz 1).
Diwajibkan untuk mengqadha
Selanjutnya yaitu golongan yang mengaqdha saja tanpa membayar fidyah. Syekh Nawawi memberikan keterangan, orang-orang yang membatalkan puasa dan boleh mengadha saja yaitu orang yang meninggalkan puasa karena sakit ayan, melakukan perjalanan jauh, sakit tidak permanen, lupa berniat di waktu malam, menyengaja berbuka, dan sebagainya.
Advertisement
Wajib Bayar Fidyah Tanpa Harus Mengqadha
Bentuk yang ketiga yaitu hanya wajib membayar fidyah tanpa harus melakukan qadha puasa. Hal ini diperuntukan orang tua yang telah rentan dan sudah tidak mampu lagi untuk menjalankan ibadah puasa.
Selain itu, berlaku pula untuk orang-orang yang sakit dan tidak bisa diharapkan kesembuhannya. Hal tersebut dianggap logis karena lemahnya fisik yang tidak bisa memungkinkan untuk mengganti puasa.
Syekh Taqiyuddin dalam Kifayatu al-Akhyar, mengatakan;
وان خافتا على ولديهما بسبب إسقاط الولد في الحامل وقلة اللبن في المرضع أفطرتا وعليهما القضاء للإ فطار والفدية لكل يوم مد من الطعام
Artinya:
"Jika keduanya (wanita hamil dan menyusui) mengkhawatirkan kondisi anaknya; sebab keguguran bagi wanita hamil dan sedikit ASI bagi wanita yang menyusui, maka keduanya berbuka. Dan wajib atas keduanya mengqadha dan membayar fidyah satu mud untuk setiap hari (hari meninggalkan puasa)." (Syekh Taqiyuddin, Kifayatul-Akhyar, Indonesia: Dar al-Ihya, juz 1, hal. 213).
Tidak Diwajibkan Qadha dan Fidyah
Hukum ini diperuntukkan bagi orang gila, anak kecil yang belum baligh, dan juga orang kafir asli. (Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi, Syarah Kasyifatus-Saja, Surabaya: al-Bayan, hal. 114).
Advertisement