Liputan6.com, Washington D.C - Menjalankan ibadah puasa Ramadhan jauh dari kampung halaman atau Tanah Air Indonesia menjadi pengalaman tersendiri. Berikut ini sejumlah cerita dari warga negara Indonesia (WNI) di AS yang menjalankan puasa Ramadhan 2022 di negeri orang, tepatnya Negeri Paman Sam, dikutip dari VOA Indonesia, Selasa (26/4/2022).
Imam Kurniawan
Baca Juga
Tahun ini adalah pertama kalinya WNI Imam Kurniawan menjalankan puasa Ramadhan di Amerika Serikat. Imam, mahasiswa S2 jurusan pekerjaan sosial di New York University, mengaku merasa beruntung karena tinggal tak jauh dari masjid Al-Hikmah yang didirikan oleh komunitas Indonesia di Queens, New York.
Advertisement
"Bapak itu selalu bilang, cari apartemen yang dekat masjid," cerita Imam Kurniawan kepada VOA belum lama ini.
Kesibukan Imam sebagai mahasiswa terkadang membuatnya harus berada di kampus seharian. Namun, mahasiswa kelahiran Lampung ini tidak perlu khawatir dalam mencari tempat ibadah. Pasalnya, New York University atau NYU di New York menyediakan tempat beribadah bagi mahasiswa dari beragam agama.
"Kalau mau shalat Jumat atau lagi Ramadhan ini shalat Tarawih, atau lagi Ramadhan ini ada iftar bersama saya bisa milih gitu, saya mau di masjid Al-Hikmah yang Indonesia dekat dengan apartemen, atau misalkan lagi sibuk atau lagi ngerjain tugas dan harus di kampus, saya bisa di kampus," ujar Imam Kurniawan kepada VOA belum lama ini.
Universitas ini bahkan memiliki pusat Islam dengan ruangan yang dapat digunakan untuk beribadah oleh mahasiswa muslimnya. Berbagai kegiatan seperti pengajian dan ceramah, khususnya sebelum waktu berbuka puasa kerap dilakukan.
"Ada azan yang berkumandang (red.di gedung pusat islam) dan Alhamdulilah, di kampus tuh benar-benar seluruh keyakinan terakomodasi secara baik dan tidak ada gangguan," jelas Imam.
Ilham Nugraha
Sama halnya dengan Imam, tahun ini adalah tahun pertama bagi mahasiswa asal Bandung, Ilham Nugraha berpuasa Ramadhan di Amerika Serikat. Mahasiswa S2 jurusan administrasi publik di Cornell University, di Ithaca, New York ini mengatakan, kampusnya memiliki pusat ibadah lintas agama, Anabel Taylor Hall, yang dapat digunakan oleh para mahasiswa untuk beribadah menurut agama masing-masing, termasuk shalat Jumat dan Tarawih.
"Saya termasuk salah satu yang senang ya, karena ternyata di sini juga komunitas religius, komunitas beragama pun diberikan kesempatan untuk melaksanakan ibadahnya. Terutama ya itu kongregasi Jumat, misalnya ya shalat Jumat atau shalat 5 waktu, itu diberikan kesempatan jadi saya senang banget," kata Ilham kepada VOA beberapa waktu lalu.
Peraih gelar S1 dari ITB ini merasa beruntung, karena kalau dulu kampusnya di Bandung berseberangan dengan masjid, kini di Amerika pun ia juga bisa beribadah bahkan tanpa harus keluar kampus.
RIfki Alfrianto
Kampus George Mason University yang berlokasi di negara bagian Virginia juga menyediakan beberapa ruang shalat bagi para mahasiswa muslimnya.
"Mungkin ada sekitar 3 atau 4 gedung dia punya musala kecil untuk orang-orang muslim untuk beribadah, tapi kalau untuk shalat Jumat, karena memang besar jumlah orangnya yang shalat Jumat, dipinjam satu ruangan gitu kadang-kadang di gedung A atau gedung B dikasih ruangan untuk shalat Jumat," cerita Rifki Alfrianto, mahasiswa S2 jurusan Teknik Sipil di George Mason University kepada VOA.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Buka Puasa Gratis
Berbagai universitas di Amerika Serikat kini memiliki organisasi yang mengakomodir berbagai kegiatan untuk para mahasiswa muslimnya. Di kampus Cornell misalnya, terdapat organisasi Muslim Education and Cultural Association atau MECA, di mana Ilham aktif bergabung.
"Kegiatan yang dilakukan MECA ada diskusi keagamaan, itu setiap pekan, ada juga recreational event, ada yang nulis kaligrafi, game night, sometimes orang-orangnya main basket, dan ya olah raga gitu," kata Ilham.
Biasanya MECA mengadakan acara buka puasa bersama dan shalat tarawih di Anabel Taylor Hall di kampus. Menu yang dihidangkan seringkali adalah menu khas Timur Tengah.
"Kayak chicken over rice, ya nasinya biryani yang warnanya kuning itu," tambah Ilham.
Di George Mason University di Virginia juga berdiri Muslim Students’ Association yang menurut Rifki ‘besar komunitasnya’ dan didukung penuh oleh pihak kampus. Organisasi ini kini diketuai oleh mahasiswa asal Pakistan. Anggotanya yang aktif mencapai lebih dari 200 orang yang berasal dari berbagai negara.
“Ada grup perempuannya, ada grup laki-lakinya. Kalau misalnya kita ada kajian bareng dan lain-lain, mereka selalu aktif. Setiap hari ada kadang-kadang ada acara sebelum buka puasa, ada kajian dari teman-teman, tiap minggu mereka ada mengundang orang lain juga buat jadi penceramah di kampus," jelas Rifki.
Namun, karena kampusnya tidak buka hingga malam, biasanya setelah buka puasa dan shalat Magrib, sebagian mahasiswa muslimnya lalu pergi ke masjid terdekat untuk melanjutkan shalat Tarawih.
Organisasi mahasiswa muslim di kampus New York University juga kerap menggelar acara buka puasa bersama dan shalat berjamaah. Acara ini juga dapat dihadiri oleh warga dari luar kampus, tetapi harus mengisi formulir terlebih dahulu.
Imam yang seringkali berada di kampus hingga mendekati waktu buka puasa kerap hadir di acara ini. Acara buka puasa biasanya lanjut hingga shalat Tarawih berjamaah.
"Jadi ketika azan itu peserta yang memang berpuasa dikasih kurma. Jeda 5 menit kemudian lanjut shalat Magrib, setelah shalat Magrib itu memang langsung makan. Menunya lebih ke Middle East," ujar Imam.
Tak jarang bagi para mahasiswa ini untuk juga mengikuti buka puasa dan shalat berjamaah di masjid. Bahkan masjid Al-Hikmah di New York kerap menyediakan berbagai makanan khas Indonesia, beserta takjil yang cukup dapat mengobati rasa rindu Imam akan tanah air.
“Waktu itu ada es buah, terus ada takjil, kurma, ada gorengan, ada lemper. Pas lagi makan kayak, ‘wow,’ lagi mengingat di rumah,” cerita Imam.
Biasanya setelah menikmati takjil, para jemaah lalu melanjutkan shalat Magrib dan makan malam setelahnya.
"Menu makan besarnya ada ayam gulai, kentang balado, sama udang balado. Kemudian ada kerupuknya juga, kerupuk keripik yang kayak di Indonesia, jadi memang kalau ingin merasakan menu rumahan di Indonesia ke masjid Al-Hikmah itu," kata Imam.
Berbeda dari tahun sebelumnya, tahun ini Rifki berkesempatan untuk menjalankan puasa bulan Ramadhan bersama istri dan anaknya di Amerika. Kalau tahun lalu ia lebih sering berbuka puasa di luar, khususnya di kampus, kini ia lebih banyak berbuka puasa bersama keluarganya di rumah.
"Kita menyiapkan makanannya sendiri, belanja, masak, dan lain-lain. Kemudian kadang-kadang kita pergi juga ke masjid terdekat, seperti di IMAAM Center (red.masjid yang didirikan oleh komunitas Indonesia) di Washington, D.C., kita sempat ke sana. Kemudian di masjid dekat rumah juga pernah pergi buat buka bareng," ujar Rifki.
Organisasi Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat atau PERMIAS wilayah Washington, D.C., Maryland dan Virginia belum lama ini juga mengadakan acara buka puasa bersama duta besar Indonesia di Washington, D.C., Rosan Roeslani, yang dihadiri oleh mahasiswa dengan latar belakang agama yang beragam.
"Memang kita belum pernah ada pertemuan sama sekali dengan pak dubes, jadi saya mengundang semua rekan student yang ada di DMV area, dari DC, Maryland, sampai Virginia, yang dari Charlottsville, dan dari Richmond,” kata Rifki selaku ketua PERMIAS.
Advertisement
Masak Makanan Khas Indonesia
Karena juga aktif di masjid komunitas Ithaca, biasanya setiap akhir pekan Ilham berbuka puasa di masjid bersama warga muslim dari berbagai negara.
Namun, tak jarang bagi Ilham untuk menyiapkan makanan berbuka, sekaligus untuk sahur di rumah.
"Saya usahakan ya seotentik mungkin dengan menu Indonesia. Jadi beberapa waktu ini saya coba bikin bumbu sate ayam, sudah lama ingin mencoba sate lagi akhirnya, wah, bisa bikin, meskipun memang cukup tricky,” kata Ilham.
Begitu pula dengan Imam yang terkadang masak makanan Indonesia di rumah untuk menu sahur dan berbuka puasa.
“Saya sahurnya pakai opor ayam. Biasanya kalau sahur itu memang, di mana saya harus porsi makannya tuh yang cukup. Yang selalu ada tuh saya selalu buat smoothies, soalnya di sini kan puasanya 15 jam ya, apalagi saya sambil kuliah, sambil belajar, ngerjain tugas," kata Imam.
Namun, untuk masak makanan khas Indonesia juga terkadang menjadi tantangan bagi Rifki, mengingat tidak semua bahan makanan atau rempah yang dibutuhkan tersedia di supermarket-supermarket Amerika.
"Kita harus memilah-milah bahan makanan yang kita siapkan. Menyesuaikan terhadap makanan yang nanti kita mau makan saat buka puasa," ujar Rifki
Rindu Ramadhan di Tanah Air
Rindu menjalankan ibadah bulan Ramadhan di tanah air bukanlah suatu hal yang baru. Tidak hanya jauh dari keluarga dan tradisi yang selalu dilakukan, namun suasana Ramadhan yang syahdu di Indonesia tidak sebanding dengan di tanah rantau.
Ilham dan Imam mengaku rindu dengan suasana dan festival yang selalu menghiasi bulan Ramadhan di Indonesia.
"Jalan-jalan di sekeliling rumah itu baru jalan sedikit juga sudah ada yang jualan banyak sudah ngantre, terus jalanan macet karena pada jajan gitu ya," kenang Ilham.
"Paling enak itu Ramadhan di Indonesia karena masih bisa nemuin bazar makanan kalau sore-sore. Kita tuh termanjakan mata, sama termanjakan banyak pilihan kalau mau buka. Kalau di sini kan benar-benar harus prepare, kalau misalnya buka di apartemen harus masak sendiri," kata Imam.
Meskipun ada tantangannya, ditambah lagi harus menjalani puasa dengan waktu yang lebih lama daripada di tanah air, yaitu lebih dari 14 jam, Rifki mengaku pengalaman puasa di Amerika cukup menyenangkan. Apalagi jika diisi dengan berbagai kegiatan.
"Itu bisa memangkas waktu sehingga kita ternyata, 'oh puasa itu bisa dijalani juga, nggak terlalu susah juga meskipun lebih lama'," tambahnya.
Tak lupa Rifki juga mengajak teman-teman untuk terus aktif mencari berbagai kegiatan agar tetap semangat dalam menjalani sisa-sisa hari di bulan Ramadhan kali ini.
Advertisement