Tatkala Bumi Jadi Saksi Perbuatan Manusia di Dunia pada Hari Kiamat

Sudah semestinya bumi dijadikan tempat berbuat kebaikan atau untuk beribadah. Begitu pula sebaliknya, jika orang justru berbuat maksiat di suatu tempat, maka hendaknya ia tidak meninggalkan tempat itu begitu saja.

oleh Putry Damayanty diperbarui 10 Apr 2023, 04:30 WIB
Diterbitkan 10 Apr 2023, 04:30 WIB
Tadarus Alquran di Tengah Sawah
Santri dari Pondok Pesantren Nurul Hidayah melakukan tadarus alquran dengan penerangan obor di tengah sawah Dusun Tempel, Desa Sempu, Kecamatan Andong, Kabupaten Boyolali, Selasa ( 21/5/2019). Pengajian tersebut untuk menyambut malam Nuzulul Quran pada 17 Ramadan 1440 Hijriah. (Liputan6.com/Gholib)

Liputan6.com, Jakarta - Sudah semestinya bumi dijadikan tempat berbuat kebaikan (ibadah). Begitu pula sebaliknya, jika orang justru berbuat maksiat di suatu tempat, hendaknya ia tidak meninggalkan tempat itu begitu saja, sebelum menggunakannya untuk berbuat kebaikan atau beribadah.

Mazhab Ahlussunnah wal Jamaah menyatakan bahwa kelak pada hari kiamat bumi akan diberi kehidupan, kemampuan berakal dan dapat berbicara. Pada hari kiamat atas perintah Allah SWT, ia akan mengabarkan baik-buruk perilaku manusia di atas permukaannya. 

Pernyataan ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Khazin dalam tafsirnya, Lubabut Ta'wil:

إن الله تعالى يخلق في الأرض الحياة، والعقل، والنطق حتى تخبر بما أمر الله به وهذا مذهب أهل السنة

Artinya, "Sesungguhnya Allah menciptakan kehidupan, akal dan kemampuan berbicara pada bumi, hingga ia nanti akan memberi kabar sesuatu yang telah Allah perintahkan padanya. Ini adalah mazhab Ahlussunnah." (Abul Hasan Ali bin Muhammad Al-Khazin, Lubabut Ta'wil Fi Ma'ani Tanzil, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 1415 H], juz IV halaman 409). 

 

Saksikan Video Pilihan ini:

Bumi Menjadi Saksi Setiap Perbuatan Manusia

Meminjam penjelasan Imam Ar-Razi, ini merupakan pendapat jumhur ulama dan menurut Ahlussunnah wal Jama'ah tidak jauh dari kebenaran. Sebab bunyah (struktur makhluk hidup seperti manusia dan hewan) tidak menjadi syarat suatu benda menerima kehidupan. Bumi dengan tetap pada bentuknya, kering dan kotor, dapat diciptakan oleh Allah menjadi hidup dan berbicara. 

Kembali kepada Imam Al-Khazin. Ia menyampaikan penjelasan seperti itu saat menafsirkan Surat Az-Zalzalah ayat 4 dan 5:

يَوْمَئذٍ تُحَدِّثُ اَخْبَارَهَاۙ (٤) بِاَنَّ رَبَّكَ اَوْحٰى لَهَاۗ (٥)

Artinya, "(4) Pada hari itu (bumi) menyampaikan berita (tentang apa yang diperbuat manusia di atasnya); (5) karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang demikian itu) kepadanya." 

Dijelaskan juga dalam hadis riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abu Hurairah sebagaimana disebutkan Imam An-Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin bahwa segala perbuatan dan tingkah laku manusia di atas permukaan bumi baik-buruknya telah terekam oleh bumi. 

Nanti pada hari kiamat, bumi akan menyampaikan rekaman tersebut. Karena itulah dalam fiqih mazhab Syafi'i disunahkan untuk berpindah-pindah tempat sholat, karena nanti tempat tersebut akan menjadi saksi sholatnya di akhirat. 

Dengan demikian, sudah semestinya bumi dijadikan tempat berbuat kebaikan atau untuk beribadah. Begitu pula sebaliknya, jika orang justru berbuat maksiat di suatu tempat, maka hendaknya ia tidak meninggalkan tempat itu begitu saja, sebelum menggunakannya untuk berbuat kebaikan atau beribadah, sebagaimana diwasiatkan oleh Syaikhul Akbar Ibnu Arabi: 

وصية: إذا عصيت الله تعالى بموضع، فلا تبرح من ذلك الموضع حتى تعمل فيه طاعة وتقيم فيه عبادة، فكما يشهد عليك، إن استشهد، يشهد لك وحينئذ تنتزح عنه، وكذلك ثوبك إن عصيت الله فيه، فكن كما ذكرته لك؛ اعبد الله فيه

Artinya, "Wasiat: Jika engkau bermaksiat kepada Allah SAW di suatu tempat, maka jangan engkau tinggalkan tempat itu hingga engkau berbuat ketaatan dan mendirikan ibadah di situ. Sebagaimana tempat itu akan bersaksi atas maksiatmu, ia pun jika diminta untuk bersaksi akan bersaksi untuk kebaikanmu. Kemudian baru tinggalkan tempat itu. Seperti itu juga pakaianmu, jika engkau gunakan untuk bermaksiat, maka lakukan seperti yang telah aku sebutkan kepadamu. Beribadahlah kepada Allah dengan pakaian itu." (Muhyiddin Ibnu Arabi, Al-Washaya lis Syaikhil Akbar Ibnu Arabi, [Damaskus, Darul Iman: 1988 H), halaman 15). Wallahu a'lam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya