Abdurrahman bin Auf, Sahabat Nabi 'Crazy Rich' yang Gila Sedekah

Beberapa tahun terakhir, atau tepatnya pada 2018 muncul istilah crazy rich, dimana di Surabaya ada pernikahan yang yang membagikan souvenir berupa smartphone. Jika ditilik, crazy rich adalah orang-orang dengan kekayaan berlimpah yang memiliki berbagai bisnis, rumah, mobil mewah, serta memamerkan gaya hidup kalangan kelas atas.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Mei 2023, 10:30 WIB
Diterbitkan 27 Mei 2023, 10:30 WIB
Gemar Sedekah Bikin Hidup Cerah (Watchara Ritjan/Shutterstock)
Gemar Sedekah Bikin Hidup Cerah (Watchara Ritjan/Shutterstock)

Liputan6.com, Jakarta Beberapa tahun terakhir, atau tepatnya pada 2018 muncul istilah crazy rich, di mana di Surabaya ada pernikahan yang yang membagikan souvenir berupa smartphone.

Jika ditilik, crazy rich adalah orang-orang dengan kekayaan berlimpah yang memiliki berbagai bisnis, rumah, mobil mewah. Seringkali mereka memamerkan gaya hidup kalangan kelas atas.

Lalu, pada zaman kenabian, atau sahabat Nabi ada pula sosok crazy rich, alias benar-benar kaya.

Adalah Abdurrahman bin Auf, konglomerat di kalangan sahabat Nabi Muhammad SAW.

Hanya saja kekayaan Abdurrahman bin Auf ini bukan menjadikan pribadi yang pelit harta. Melainkan menjadi sosok yang gila sedekah dan super dermawan.

Bagaimana kisah teladan pebisnis muslim sukses ini, mari simak kisah Abdurrahman bin Auf sebagai pedagang paling berhasil pada masanya.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Saat Abdurahman bin Auf Masih Miskin

Dikisahkan di laman keislaman nu.or.id, menjadi miliarder tidak membuat Abdurrahman bin Auf  lupa diri, Abdurrahman tetap sebagai sahabat Nabi yang rajin beribadah dan gemar bersedekah.

Kian banyak yang ia donasikan di jalan Allah, justru membuat hartanya semakin melimpah.

Disebutkan, Abdurrahman bin Auf, sebagaimana profesi sahabat Nabi di Makkah pada umumnya, merupakan sosok yang sangat konsen di usaha sektor bisnis perdagangan.

Saat itu, salah satu tempat yang ramai menjadi tempat usaha ini adalah Pasar Bani Qainuqa’, salah satu pasar milik orang Yahudi. (Jawwad Ali, Al-Mufashshal fi Tarikhil ‘Arab Qablal Islam, tanpa tahun: juz XIII, halaman 309)

Dikisahkan, saat umat Muslim Makkah hijrah ke Madinah pada 622 M, Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar yang tujuan utamanya untuk menciptakan kerukunan dan menghindari ketimpangan ekonomi. Rasul menyadari, Anshar sebagai imigran telah meninggalkan semua hartanya di kampung halaman. Mereka pindah ke Madinah dengan tangan hampa.

Kebetulan, Rasulullah mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin Rabi’, orang terkaya dari kaum Anshar saat itu. Hebatnya, Sa’ad tidak saja dengan senang hati menerima Abdurrahman yang sudah jatuh miskin sebagai saudaranya, tetapi juga menawarkan separuh hartanya, bahkan rela andaikan ia harus menceraikan salah satu istrinya untuk Abdurrahman.

“Aku adalah orang Anshar yang paling kaya, maka akan aku beri separuh hartaku untukmu. Kemudian lihatlah di antara kedua istriku, siapa yang engkau suka nanti akan aku ceraikan untukmu, jika ia telah halal maka nikahilah,” kata Sa’ad.

Tidak diduga, Abdurrahman justru menolak tawaran Sa’ad. Bukan karena sombong tidak mau menerima uluran tangan, hanya ia ingin hidup mandiri dengan jerih payah sendiri. Di saat tak memiliki harta sepeser pun, lelaki Muhajirin itu masih menunjukkan pribadinya sebagai seorang pekerja keras yang tidak menggantungkan hidupnya dari pemberian orang lain.

“Semoga Allah memberkahi harta dan keluargamu. Tapi maaf, aku tidak membutuhkan itu. Begini saja, apakah ada pasar yang sedang berlangsung transaksi jual beli saat ini?” tanya Abdurrahman.

Berawal Jual Keju dan Minyak Samin

Sa’ad pun menunjukannya Pasar Bani Qainuqa’. Sesampainya di pasar, Abdurrahman melakukan riset market dan memutuskan untuk menjual keju dan minyak samin. Usahanya sukses dan ia berhasil menjadi milirader. Terbukti, sejak saat itu tampilan Abdurrahman tampak mapan.

Pakaiannya mewah dengan wangi parfum yang membuatnya lebih berwibawa. Dikatakan juga, sekarang ia sudah menikah dengan salah satu wanita Anshar. Kisah ini disampaikan dalam salah satu hadits Nabi riwayat Imam Bukhari.

Dalam riwayat lain disebutkan, setelah tahu harga sewa di Pasar Bani Qainuqa’ mahal, ia bekerja sama dengan Sa’ad untuk membeli tanah di sana dan disewakan kepada para pedagang. Dari jasa sewa tanah inilah ia berhasil meraup banyak untung.

Tampaknya etos kerja Abdurrahman ini sudah dimilikinya sejak di Makkah. Sebelum hijrah, ia dikenal sebagai sosok yang kaya raya. Semangat kerja keras lelaki Muhajirin ini senapas dengan ajaran Nabi Muhammad saw sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Artinya, “Tidak ada seseorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya (bekerja) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud as memakan makanan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari).

Sedekah Abdurrahman bin Auf yang Luar Biasa

Gemar bersedekah Kesuksesan Abdurrahman tidak saja karena etos kerja yang dimilikinya, tetapi juga semangat ibadahnya yang tidak pernah redup. Salah satu amal salehnya adalah gemar bersedekah. Menjadi miliarder tidak membuat sahabat Nabi ini larut dalam kesibukan duniawi, sampai-sampai ia pernah mengungkapkan, “Aku adalah orang terkaya di Makkah.

Tapi semua ini justru membuatku takut. Jangan-jangan hartaku sendiri yang akan menjerumuskanku.” Dalam hadits riwayat Imam Ahmad, yang juga dicatat Muhibuddin ath-Thabari dalam Ar-Riyadhun Nadhrah fi Manaqibil ‘Asyrah, dikisahkan, sekali waktu saat Siti ‘Aisyah sedang di rumah (Madinah), tiba-tiba ia dikagetkan dengan suara gemuruh.

“Suara apa ini?” tanya ‘Aisyah. Orang-orang menjawab, “Itu adalah kawanan unta milik Abdurrahman bin ‘Auf yang baru saja pulang dari Syam membawa serbaneka komoditas. Jumlahnya sebanyak 700 unta. Itu yang menimbulkan suara gemuruh tadi.”

Aisyah kemudian berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku melihat Abdurrahman masuk ke surga dalam keadaan merangkak (karena kekayaan yang dimilikinya).’” Setelah ucapan ‘Aisyah itu terdengar Abdurrahman, ia pun berucap, “Jika bisa, aku akan tetap masuk ke surga dengan berdiri.”

Ia pun menyedekahkan semua gandum dan pelana unta miliknya untuk didermakan ke jalan Allah. (Muhibuddin ath-Thabari, Ar-Riyadhun Nadhrah fi Manaqibil ‘Asyrah, tanpa tahun: juz IV, halaman 305)

Sejarawan Muslim Jawwad Ali melaporkan tentang kedermawanan Abdurrahman bin ‘Auf ini. Menurutnya, ia tidak tanggung-tanggung menyedekahkan separuh hartanya, pernah juga bersedekah 40.000 dinar, 500 ekor kuda dan 500 kendaraan untuk keperluan perang, dan memerdekakan 30.000 hamba sahaya, dan masih banyak lagi kisah kemurahannya.

Ia juga pernah bersedekah kepada seluruh tentara Muslim yang masih hidup dalam Perang Badar masing-masing 400 dinar. Saat itu jumlah mereka adalah 100 orang. Kekayaan yang dimilikinya merupakan hasil dari bisnis berjualan. (Jawwad Ali, Al-Mufashshal fi Tarikhil ‘Arab Qablal Islam, tanpa tahun: juz XIII, halaman 311) Dari kisah Abdurrahman bin ‘Auf di atas dapat dipetik hikmah. Kerja keras, usaha yang halal, serta tetap taat beribadah kepada Allah swt merupakan kunci kesuksesan di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.

Penulis: Nugroho Purbo

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya