Bagaimana Hukum Menahan Kentut Ketika Sholat, Apakah Batal?

Rasa ingin kentut atau buang angin bisa muncul kapan saja termasuk ketika kita sedang melaksanakan sholat. Kondisi demikian tentu saja dapat mengganggu kekhusyuan ibadah sholat kita.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Des 2023, 20:30 WIB
Diterbitkan 25 Des 2023, 20:30 WIB
Ilustrasi Sholat. ©2021 Merdeka.com/pexels-michael-burrows
Ilustrasi Sholat. ©2021 Merdeka.com/pexels-michael-burrows

Liputan6.com, Cilacap - Rasa ingin kentut atau buang angin bisa muncul kapan saja termasuk ketika kita sedang melaksanakan sholat. Kondisi demikian tentu saja dapat mengganggu kekhusyuan ibadah sholat kita.

Dalam situasi yang demikian, terbersit keinginan untuk membatalkan sholat dan membuang gas. Setelah itu kita berwudlu lagi dan kembali melaksanakan ibadah sholat.

Hal ini mungkin saja dilakukan ketika waktu sholat masih senggang. Tidak demikian halnya jika kita melaksanakan sholat pada waktu yang sempit sehingga jika kita membatalkan sholat, maka waktu sholat akan habis.

Oleh sebab itu, maka kita sekuat tenaga menahan kentut agar tidak sampai keluar. Atas dasar itu maka muncul pertanyaaan bagaimana hukum menahan kentut saat sholat, apakah batal?

 

Simak Video Pilihan Ini:


Tidak Batal Tapi Makruh

Ilustrasi sholat tasbih
Ilustrasi sholat tasbih (dok.Freepik)

Menukil NU Online, persoalan menahan kentut di tengah sholat tidak pernah dibicarakan secara langsung dalam hadits Rasulullah saw, tetapi yang kami temukan adalah hadits yang terkait menahan keinginan untuk makan ketika makanan telah disuguhkan dan menahan kencing atau buang air besar ketika dalam sholat.

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ وَلَا وَهُوَ يُدَافِعُهُ الْاَخْبَثَانِ

Artinya: "Tidak ada shalat di hadapan makanan, begitu juga tidak ada shalat sedang ia menahan air kencing dan air besar (al-akhbatsani)." (H.R. Muslim)

Yang dimaksud dengan “tidak ada shalat” adalah tidak sempurna shalatnya (seseorang). Sedangkan yang maksud dengan "di hadapan makanan" adalah ketika makanan dihidangkan dan ia ingin memakannya. Begitu juga ketika menahan air kencing dan buang air besar.

Hadits di atas, menurut Imam Muhyiddin Syaraf an-Nawawi mengandung hukum makruh shalat bagi seseorang ketika makanan telah dihidangkan dan ia ingin memakannya, dan bagi orang yang menahan kencing dan buang air besar.

Makruh artinya boleh dikerjakan tetapi lebih baik ditinggalkan. Kenapa menjalankan shalat dalam kondisi seperti itu dihukumi makruh? Karena dapat mengganggu pikiran dan menghilangkan kesempurnaan kekhusyuannya. Jadi, yang menjadi illah al-hukm atau alasan hukum kemakruhannya adalah hilangnya kekhusyuan.


Hukum Makruh Jika Waktu Masih Longgar

Ilustrasi Sholat Tarawih (Istimewa)
Ilustrasi Sholat Tarawih (Istimewa)

Sehingga dari sini dapat dipahami bahwa sesuatu yang menimbulkan hilangnya kemakruhan seperti kasus di atas dapat dihukumi sama. Sebagaimana dikemukakan oleh Imam Muhyiddin Syaraf an-Nawawi. Lebih lanjut menurut beliau kemakruhan tersebut menurut pandangan dari kalangan madzhab Syafi'i dan selainnya, dengan catatan selagi waktu shalat itu masih longgar.

وَفِي رِوَايَةٍ لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ وَلَا وَهُوَ يُدَافِعُهُ الْاَخْبَثَانِ فِي هَذِهِ الْأَحَادِيثِ كَرَاهَةُ الصَّلَاةِ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ الَّذِي يُرِيدُ أَكْلُهُ لِمَا فِيهِ مِنَ اشْتِغَالِ الْقَلْبِ بِهِ وِذِهَابِ كَمَالِ الْخُشُوعِ وَكَرَاهَتِهَا مَعَ مُدَافَعَةِ الْأَخْبَثَيْنِ وَهُمَا الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَيُلْحَقُ بِهَذَا مَا كَانَ فِي مَعْنَاهُ مِمَّا يُشْغِلُ الْقَلْبَ وَيُذْهِبُ كَمَالَ الْخُشُوعِ وَهَذِهِ الْكَرَاهَةُ عِنْدَ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا وَغَيْرُهُمْ إِذَا صَلَّى كَذَلِكَ وَفِي الْوَقْتِ سَعَةٌ

Artinya: "Dalam sebuah riwayat dikatakan: ‘Tidak ada shalat di hadapan makanan, begitu juga tidak shalat sedang ia menahan air kencing dan air besar’. Dalam hadits-hadits ini mengandung kemakruhan shalat ketika makanan dihidangkan dimana orang yang sedang shalat itu ingin memakannya. Hal ini dikarenakan akan membuat hatinya kacau dan hilangnya kesempurnaan kekhusyuan. Kemakruhan ini juga ketika menahan kencing dan buang air besar. Dan di-ilhaq-kan dengan hal tersebut adalah hal sama yang mengganggu hati dan menghilangkan kesempurnaan kekhusyuan. Hukum kemakruhan ini menurut mayoritas ulama dari kalangan kami (madzhab syafii) dan lainnya. Demikian itu ketika waktu shalatnya masih longgar”. (Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Muslim bin al-Hajjaj, Bairut-Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabi, cet ke-2, 1393 H, juz, 5, h. 46)

Berpijak dari keterangan ini maka ketika ada seseorang yang menahan kentut ketika menjalankan shalat maka shalatnya menjadi makruh sepanjang waktunya masih longgar. Yaitu, apa bila ia membatalkan shalat dan masih ada sisa waktu untuk menjalankan shalat yang telah dibatalkan.

Sebab, menahan kentut dalam shalat juga termasuk hal yang bisa merusak atau menghilangkan kekhusyuan. Karenanya, ketika orang tersebut melakukan shalat dalam keadaan seperti itu maka ia melakukan hal yang dimakruhkan.

 


Pendapat Lain

Warga Dubai Sholat Tahajud di Malam Lailatul Qadar
Umat Muslim melaksanakan sholat Tahajud selama Malam Lailatul Qadar pada bulan suci Ramadhan di Masjid Naif di Dubai (5/5/2021). Malam Lailatul Qadar di mana Alquran pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad. (AFP/Karim Sahib)

Menurut madzhab Syafi'i dan mayoritas ulama shalatnya tetap sah, namun disunnahkan untuk mengulanginya. Sedangkan menurut madzhab zhahiri shalatnya batal sebagaimana dikemukakan oleh Qadli Iyadl.

وَإِذَا صَلَّى عَلَى حَالِهِ وَفِي الْوَقْتِ سَعَةٌ فَقَدْ ارْتَكَبَ الْمَكْرُوهَ وَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ عِنْدَنَا وَعِنْدَ الْجُمْهُورِ لَكِنْ يُسْتَحَبُّ اِعَادَتُهَا وَلَا يَجِبُ وَنَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌ عَنْ أَهْلِ الظَّاهِرِ أَنَّهَا بَاطِلَةٌ

Artinya: "Dan ketika ia melakukan shalat dalam kondisi seperti itu dan waktunya masih longgar maka sesungguhnya ia telah melakukan perkara yang dimakruhkan, sedang shalatnya menurut kami dan mayoritas ulama adalah sah akan tetapi sunnah baginya untuk mengulangi shalatnya. Sedangkan Qadli Iyadl menukil pendapat dari kalangan zhahiriyah bahwa shalatnya adalah batal." (Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Muslim bin al-Hajjaj, Bairut-Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabi, cet ke-2, 1393 H, juz, 5, h. 46)

Penulis: Khazim Mahrur/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya