Liputan6.com, Cilacap - Ulama kharismatik asal Rembang yang menekuni dunia sastra, khususnya puisi, KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) membeberkan hakikat cobaan hidup.
Menurut ulama yang kini menjadi Musytasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengibaratkan bahwa cobaan itu seperti ujian di sekolah. Tujuannya ialah agar naik kelas.
Demikian halnya dengan ujian dalam kehidupan seseorang, tujuannya tiada lain untuk menaikan derajatnya.
Advertisement
Gus Mus menjelaskan bahwa agar lulus menghadapi cobaan seseorang harus memiliki modal utama untuk menghadapi berbagai macam cobaan hidup.
Baca Juga
Lantas apa modal utama supaya seseorang bisa lulus menghadapi cobaan tersebut? Simak penjelasannya berikut ini.
Simak Video Pilihan Ini:
Modal Utama Hadapi Cobaan
Menurut Gus Mus modal utama menghadapi cobaan ialah dengan kesabaran, maka seseorang akan bisa lulus dari sebuah ujian. Melalui kesabaran pula cobaan hidup yang diterimanya akan mudah untuk dilewati.
“Cobaan hidup merupakan ujian –seperti di sekolah– untuk kenaikan Kelas. Modal utama untuk lulus ialah kesabaran,” tulis Gus Mus melalui akun Instagram pribadinya @skakung via laman hidayatuna.com, Minggu (22/9/2024).
Sebagai informasi, sabar dalam Islam adalah sikap bertahan diri untuk menjalankan ketaatan, menjauhi larangan, dan menghadapi ujian dengan rela dan pasrah.
Istilah sabar berasal dari bahasa Arab yang berarti menahan, mencegah, atau tabah.
Sebagai umat muslim tentunya kita harus senantiasa sabar. Entah itu dalam kondisi senang, sedih ataupun berduka.
Sabar itu memiliki segudang hikmah dan manfaat. Allah Swt dalam surat al-Baqarah ayat 153 berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”
Advertisement
3 Tingkatan Sabar
Menukil NU Online, menurut Syekh Ibnu Abid Dunya (208-281 H) dalam karyanya as-Shabru wa Tsawâb ‘alaihi, ada tiga tingkat kesabaran. Pertama, sabar atas musibah. Kedua, sabar dalam menjalani ketaatan. Ketiga, sabar atau menahan diri dari laku kemaksiatan. Sabar yang terakhir adalah sabar dengan tingkatan tertinggi. Dilansir dari NU Online, Syekh Ibnu Abid Dunya mencantumkan sebuah hadits riwayat Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Rasulullah ra bersabda:
الصَّبْرُ ثَلَاثٌ: فَصَبْرٌ عَلَى الْمُصِيبَةِ، وَصَبْرٌ عَلَى الطَّاعَةِ، وَصَبْرٌ عَنِ الْمَعْصِيَةِ، فَمَنْ صَبَرَ عَلَى الْمُصِيبَةِ حَتَّى يَرُدَّهَا بِحُسْنِ عَزَائِهَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ ثَلَاثَمِائَةِ دَرَجَةٍ بَيْنَ الدَّرَجَةِ إِلَى الدَّرَجَةِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ، وَمَنْ صَبَرَ عَلَى الطَّاعَةِ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ سِتَّمِائَةِ دَرَجَةٍ، مَا بَيْنَ الدَّرَجَةِ إِلَى الدَّرَجَةِ كَمَا بَيْنَ تُخُومِ الْأَرْضِ إِلَى مُنْتَهَى الْعَرْشِ، وَمِنْ صَبَرَ عَنِ الْمَعْصِيَةِ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ تِسْعَمِائَةِ دَرَجَةٍ، مَا بَيْنَ الدَّرَجَةِ إِلَى الدَّرَجَةِ كَمَا بَيْنَ تُخُومِ الْأَرْضِ إِلَى مُنْتَهَى الْعَرْشِ مَرَّتَيْنِ
Artinya: Sabar ada tiga tingkatan. Sabar atas musibah, sabar dalam menjalani ketaatan, dan sabar dari laku kemaksiatan. Siapa saja yang sabar menghadapi musibah, sampai ia mampu merestorasinya sebaik mungkin, Allah akan mengangkat 300 derajatnya. Di mana, satu dengan lainnya berjarak sejauh antara langit dan bumi. Dan, yang bersabar dalam menjalani ketaatan, Allah mengangkat 600 derajatnya. Di mana, satu dengan lainnya berjarak sejauh antara lapisan-lapisan bumi dan batas (ketinggian) ‘arsy. Sedangkan, bagi yang bersabar dari laku kemaksiatan, Allah mengangkat 900 derajatnya. Di mana, satu dengan lainnya berjarak sekitar dua kali lipat antara lapisan-lapisan bumi dan batas (ketinggian) ‘arsy.
Kitab as-Shabru wa Tsawâb ’alaihi ini, penuh dengan nasihat-nasihat sabar. Baik dari Al-Qur’an, hadist, kalam para sahabat, dan para ulama salafuna as-shalih yang lain. Seperti nasihat Imam Ibrahim at-Taimiy yang mengatakan:
مَا مِنْ عَبْدٍ وَهَبَ اللَّهُ لَهُ صَبْرًا عَلَى الْأَذَى، وَصَبْرًا عَلَى الْبَلَاءِ، وَصَبْرًا عَلَى الْمَصَائِبِ، إِلَّا وَقَدْ أُوتِيَ أَفْضَلَ مَا أُوتِيهِ أَحَدٌ، بَعْدَ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ
Artinya: Setiap kali Allah menganugerahi kesabaran pada hamba-Nya, baik atas rasa sakit, malapetaka, dan musibah, pasti juga memberinya yang lebih baik dari (ganjaran) keimanan itu sendiri.
Kalam at-Taimiy di atas, mengajarkan kita bahwa mempertahankan keimanan jauh lebih penting dari pada keimanan itu sendiri. Segala bentuk kesusahan dan derita yang dirasakan umat adalah ujian keimanan dari Allah. Mengingat, iman yang hakiki yaitu iman yang tak lekang waktu, tempat dan kondisi, suka ataupun duka, lapang atau sempit. Sungguh, nasihat yang besar.
Penulis: Khazim Mahrur/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul