Liputan6.com, Jakarta - Melaksanakan ibadah haji dan umrah di tanah suci merupakan impian bagi setiap Muslim. Adapun keutamaan dari kedua ibadah ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:
"Antara umrah yang satu dan umrah lainnya adalah penebus dosa di antara keduanya, sedangkan balasan haji mabrur adalah surga."
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Kendati demikian, tidak semua orang mampu menjalankan ibadah haji maupun umrah. Hal ini bisa saja disebabkan oleh berbagai faktor, seperti ekonomi, waktu, dan halangan lainnya.
Namun, tidak perlu khawatir dan bersedih hati sebab ada satu amal sholeh yang lebih utama ganjarannya daripada ibadah haji dan umrah. Amalan apakah itu? Berikut ulasannya dikutip dari laman NU Online.
Saksikan Video Pilihan ini:
Kesholehan Sosial
Fudhail bin Iyadh mengatakan, kesholehan sosial berupa kejujuran pada takaran atau timbangan dalam transaksi memiliki ganjaran dua kali lipat pahala ibadah haji dan 20 kali pahala ibadah umrah.
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumidin-nya menceritakan bagaimana Fudhail bin Iyadh RA mengapresiasi anaknya yang jujur dalam takaran atau timbangan.
ونظر فضيل إلى ابنه وهو يغسل دينارا يريد أن يصرفه ويزيل تكحيله وينقيه حتى لا يزيد وزنه بسبب ذلك فقال يا بني فعلك هذا أفضل من حجتين وعشرين عمرة
Artinya: “Fudhail bin Iyadh menyaksikan anaknya yang sedang mencuci sekeping dinar yang ingin digunakan. Ia menyaksikan anaknya yang sedang berusaha menghilangkan karat dan membersihkannya sehingga bobot takarannya tidak bertambah karenanya. Fudhail lalu berkata, ‘Nak, apa yang kaulakukan lebih utama daripada pahala dua kali ibadah haji dan 20 kali ibadah umrah,’” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2009 M/1429-1430 H], juz II, halaman 89).
Soal kejujuran dalam timbangan mendapat perhatian besar dalam Islam. Kejujuran dalam timbangan atau takaran membangun kepercayaan pihak yang terlibat dalam transaksi. Kejujuran dalam timbangan ini juga membawa keuntungan dan maslahatan bagi semua pihak.
Advertisement
Larangan Berlaku Curang dalam Takaran
Sebaliknya, Al-Qur’an memperingatkan agar kita menjauhi sikap tidak jujur atau curang dalam timbangan atau takaran. Al-Qur’an bahkan menamakan secara khusus surat di dalamnya dengan “Surah Orang-orang yang Curang.”
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ ٱلَّذِينَ إِذَا ٱكْتَالُوا۟ عَلَى ٱلنَّاسِ يَسْتَوْفُونَ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوثُونَ لِيَوْمٍ عَظِيمٍ
Artinya: “Celaka besar bagi orang-orang yang curang. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar?” (QS. Al-Muthafifin: 1-5).
Surah Al-Muthafifin mengecam keras tindakan curang atau tidak jujur dalam soal takaran atau timbangan. Surah Al-Muthafifin ini menunjukkan keluhuran dan keagungan ajaran Islam termasuk urusan kesalehan muamalah maliyah. Sebaliknya, Islam sangat mengapresiasi kejujuran dalam soal takaran atau timbangan.
Hal tersebut tentu saja bukan dimaksudkan untuk mengecilkan nilai atau menggugurkan kewajiban ibadah haji dan umrah. Semua keterangan tersebut dimaksudkan untuk mengapresiasi amal kesholehan sosial berupa kejujuran dalam timbangan atau takaran yang harus dijaga dalam kehidupan duniawi yang tidak lepas dari muamalah. Wallahu a’lam.