Liputan6.com, Jakarta - Ilmu pesantren sering kali dipandang sebagai sesuatu yang sederhana dan tradisional. Namun, dalam realitasnya, banyak profesor dan doktor dari berbagai perguruan tinggi yang justru merasa kagum dengan kebijaksanaan yang diajarkan di pesantren.
Ulama yang merupakan santri Mbah Moen asal Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, mengungkapkan bahwa banyak akademisi yang gelisah dengan kehidupan mereka, meskipun telah mengenyam pendidikan tinggi.
Advertisement
"Di kampus itu saya berkali-kali ketemu doktor, profesor, dan mereka umumnya itu orang-orang yang galau, yang gelisah. Lucunya, mereka memposisikan saya sebagai penasihat," ujar Gus Baha dalam ceramahnya,yang kutip dari tayangan video di kanal YouTube @Gusbahaterbaru1
Advertisement
Gus Baha menjelaskan bahwa ilmu pesantren memiliki keunikan tersendiri. Ilmu ini tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga memberikan solusi atas berbagai permasalahan kehidupan.
Dalam ceramahnya, Gus Baha menceritakan bagaimana seorang profesor datang kepadanya dengan kegelisahan yang mendalam.
Profesor itu mengaku berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya adalah orang desa yang polos, namun berhasil menjadikannya seorang akademisi terkemuka.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Pengalaman Gus Baha, Profesor Bingung dengan Ilmu Pesantren
Namun, setelah menempuh pendidikan tinggi dan memahami berbagai teori dari Eropa maupun Amerika, ia justru mengalami kesulitan dalam mendidik anaknya.
"Pak Baha, saya ini orang kampung. Bapak saya itu orang utun, utun itu lugu. Bisa jadikan saya doktor, profesor, dekan, rektor. Tapi setelah di kota, dengan sekian ilmu yang saya pelajari dari Eropa, dari Amerika, sekadar anak saya tidak narkoba itu sudah susah," ungkap profesor tersebut.
Ia mengaku tidak lagi peduli dengan peringkat akademik anaknya. Yang lebih penting baginya adalah anaknya tidak terjerumus ke dalam narkoba atau perilaku menyimpang lainnya.
Ironisnya, ia baru menyadari bahwa ilmu yang diperolehnya di perguruan tinggi tidak cukup untuk menjaga keluarganya dari kehancuran moral.
Di sinilah, menurut Gus Baha, kearifan lokal yang diajarkan oleh para kiai pesantren memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dari sekadar gelar akademik.
Seorang kiai pesantren, dengan ajaran agama dan nilai-nilai moral yang kuat, dapat membimbing santri-santrinya menjadi orang sukses tanpa kehilangan arah dalam hidup.
Advertisement
Akademisi tapi Kesulitan Didik Anak
Sementara itu, seorang akademisi yang memahami berbagai teori pendidikan modern justru mengalami kesulitan dalam mendidik anaknya sendiri.
Gus Baha menekankan bahwa banyak orang baru menyadari pentingnya ilmu pesantren setelah menghadapi berbagai persoalan dalam hidup.
Ilmu pesantren bukan hanya sekadar mengajarkan kitab-kitab kuning, tetapi juga membentuk karakter dan kepribadian seseorang agar lebih bijak dalam menghadapi kehidupan.
Dalam dunia akademik, banyak profesor dan doktor yang merasa kehilangan pegangan dalam mendidik anak-anak mereka.
Mereka memahami berbagai teori psikologi dan pendidikan, tetapi gagal menerapkannya di dalam keluarga mereka sendiri.
Kearifan pesantren mengajarkan bahwa pendidikan bukan hanya soal kepandaian intelektual, tetapi juga soal ketenangan hati dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan.
Nilai-nilai yang diajarkan di pesantren, seperti menghormati guru, menjaga adab, dan mengutamakan keberkahan, terbukti mampu membentuk karakter seseorang dengan lebih baik.
Banyak santri yang belajar di pesantren akhirnya menjadi orang sukses tanpa mengalami kegelisahan seperti yang dialami oleh sebagian akademisi modern.
Gus Baha mengingatkan bahwa ilmu modern yang tidak diimbangi dengan kebijaksanaan agama sering kali justru membawa seseorang kepada kebingungan dan kegelisahan.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya untuk tetap menjaga nilai-nilai pesantren dalam kehidupan sehari-hari, meskipun telah menempuh pendidikan tinggi.
Pesantren bukan hanya tempat untuk belajar agama, tetapi juga lembaga yang membentuk karakter manusia agar lebih tenang, bijak, dan tidak mudah terombang-ambing oleh arus zaman.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
