Donald Trump Tunda Tarif Resiprokal, Ekonomi Global Tetap Goyang

Ketidakpastian ekonomi global berada di depan mata. Pasalnya, AS yang sebelumnya menerapkan prinsip perdagangan bebas tiba-tiba berubah dengan 'tarif balasan'.

oleh Arief Rahman H Diperbarui 11 Apr 2025, 20:45 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2025, 20:45 WIB
Presiden AS, Donald Trump dan Presiden FIFA, Gianni Infantino
Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk menunda pengenaan tarif ke puluhan negara. Meski begitu, seluruh negara yang jadi target AS tetap terkena tarif dasar 10 persen. (AFP/Mandel Ngan)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memutuskan untuk menunda penerapan tarif resiprokal selama 90 hari, kecuali China. Meski ditunda, ekonomi global diramal tetap kena dampaknya.

Diketahui, awalnya tarif resiprokal dengan besaran bervariasi ke negara mitra dagang AS akan diberlakukan pada 9 April 2025 lalu. Namun, Donald Trump memutuskan untuk menunda hal tersebut. Meski begitu, seluruh negara yang jadi target AS tetap terkena tarif dasar 10 persen.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan meski ada penundaan itu, ekonomi global tetap akan terguncang.

"Nah dampak ke ekonomi global sih sebetulnya mau ditunda (atau) enggak ditunda itu sama saja ya, memang ini akan mengguncang perekonomian global terutama perdagangan akan turun," kata Eko dihubungi Liputan6.com, Jumat (11/4/2025).

Menurutnya, ketidakpastian ekonomi global berada di depan mata. Pasalnya, AS yang sebelumnya menerapkan prinsip perdagangan bebas tiba-tiba berubah dengan 'tarif balasan'.

"Apa yang dilakukan Trump itu kan sudah menggerus aspek kredibilitas ya, Amerika Serikat sebagai negara yang biasanya konsisten menjaga value-nya begitu ya Yaitu perdagangan bebas. Nah tapi kemudian dengan situasi ini maka untuk menjalin hubungan yang lebih erat Atau punya prospek jangka panjang ke depan," terangnya.

Melihat perkembangan itu, kata Eko, sejumlah negara di dunia mulai mengambil ancang-ancang dalam mengantisipasi penerapan tarif tinggi usai ditunda 90 hari. Indonesia sendiri rencananya akan terkena tarif 32 persen.

"Sekarang negara-negara itu dengan Amerika Serikat jaga jarak gitu ya, pasang kuda-kuda begitu untuk mengantisipasi kalau ternyata 90 harinya juga dilanggar misalnya gitu ya," ujarnya.

"Kalau ternyata tarifnya tidak bisa dinegosiasikan tetap saja berjalan seperti itu, dan seterusnya sehingga dalam 90 hari ke depan itu akan selalu ada ketidakpastian," sambung Eko.

 

Investor RI Bisa Kabur

FOTO: IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Suasana gedung perkantoran di Jakarta, Sabtu (17/10/2020). International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 menjadi minus 1,5 persen pada Oktober, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya pada Juni sebesar minus 0,3 persen. (Liputan6.com/Johan Tallo)... Selengkapnya

Perang tarif antara Amerika Serikat dan China memanaskan persaingan dagang antara kedua negara. Investor di berbagai negara lain, termasuk Indonesia dikhawatirkan hengkang.

Ekonom Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita menyampaikan kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan Presiden AS Donald Trump akan turut berpengaruh ke Indonesia. Belum lagi ada serangan balasan dengan tarif tinggi oleh China bagi produk asal AS.

"Jadi pengaruh langsungnya itu kalau ke Indonesia bahwa proses premature deindustrialization (deindustrialisasi dini) ini akan berlanjut dan akan sulit untuk diantisipasi kalau ini dibiarkan," kata Ronny saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (11/4/2025).

Kebijakan Donald Trump diprediksi akan berpengaruh pada penguatan nilai mata uang dolar AS. Ketika ekonomi global dilanda ketidakpastian, investor bakal mencari instrumen yang lebih aman, salah satunya adalah aset berbasis dolar.

"Biasanya memang dolar akan menguat dalam kondisi seperti ini karena dolar dianggap sebagai salah satu safe haven dan hard currency. Di mana ketika ketidakpastian ekonomi semakin bertambah maka para investor dan pemegang aset itu akan berpindah kepada dolar berpindah kepada aset berdenominasi dolar," katanya.

"Sehingga membuat permintaan terhadap dolar meningkat nilai dolar semakin bertambah dan nilai rupiah semakin melemah karena banyak yang melepas rupiah," imbuh Ronny.

Dampak turunannya, biaya impor bahan-bahan yang dibutuhkan oleh Indonesia akan bertambah. Mengingat lagi, banyak industri di Tanah Air yang membutuhkan bahan baku dari luar negeri.

"Nah kalau biaya impornya bertambah maka biaya produksi dalam negeri akan bertambah dan akan membuat harga-harga produk manufaktur dalam negeri menjadi bertambah dan naik," terangnya.

 

Daya Beli Melemah hingga Ancaman PHK

Berikutnya, daya beli masyarakat turut akan terdampak negatif imbas dari kenaikan harga di sektor hilir. Lebih jauh, ancaman tersebut menimbulkan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) karena industri manufaktur yang melemah.

"Ini akan menciptakan inflasi juga, akan menekan daya beli dan akan membuat biaya produksi di sektor industri kita bertambah yang membuat sementara pasarnya berkurang, akan membuat permintaannya berkurang lalu membuka peluang untuk terjadinya PHK lebih lanjut di sektor industri manufaktur," jelas Ronny.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya