Perjalanan Panjang Demokrasi Indonesia

Pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 banyak kejadian penting berkaitan datangnya kembali Belanda ke Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Jun 2023, 14:53 WIB
Diterbitkan 25 Jun 2023, 23:06 WIB
Tenaga Profesional Bidang Politik Lemhanas RI Prof. Ikrar Nusa Bhakti. (Liputan6.com/ ist)
Tenaga Profesional Bidang Politik Lemhanas RI Prof. Ikrar Nusa Bhakti. (Liputan6.com/ ist)

Liputan6.com, Jakarta - Gerakan-gerakan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia bukanlah suatu perencanaan yang hebat, namun merupakan keputusan tepat yang diambil pempimpin bangsa saat itu. Karena keputusan-keputusan besar itulah, Bangsa Indonesia tidak kehilangan momen-momen penting guna mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Hal itu diutarakan oleh Tenaga Profesional Bidang Politik Lemhanas RI Prof. Ikrar Nusa Bhakti dalam Podcast Bung Karno Series bersama host Mirza Ahmad yang tayang pada akun Youtube BKN PDI Perjuangan.

Pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 banyak kejadian penting berkaitan datangnya kembali Belanda ke Indonesia. Duta Besar RI untuk Tunisia 2017-2021 ini menegaskan bahwa Belanda tidak mau kehilangan Dutch East Indies alias Hindia Belanda alias Indonesia karena semua kebutuhan keuangan Belanda berasal dari Indonesia.

"Berjuta gulden dihisap Belanda dari Indonesia dalam artian Indonesia sebagai ATM dari Belanda saat itu," kata Ikrar.

Dengan bantuan sekutu, Belanda masuk ke Indonesia lagi kemudian meletuslah perlawanan Arek-Arek Suroboyo dan berhasil menewaskan Jendral Mallaby, yang menjadi peristiwa penting perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kemudian dipeingati sebagai Hari Pahlawan 10 November.

Ikrar melanjutkan, pada periode 1948 Amerika Serikat mulai mendukung perjuangan Indonesia karena khawatir pengaruh komunis yang masuk di Indonesia.

"Amerika sampai harus membuat kantor khusus untuk melihat perkembangan geopolitik Asia Tenggara, khususnya Indonesia," ujarnya.

Akibat Agresi Militer 1948 serta pembangunan karakter bangsa yang dibangun Bung Karno, mengubah pemikiran pimpinan negara-negara Republik Indonesia Serikat (RIS) untuk kembali bergabung dalam NKRI.

"Usia RIS itu hanya 8 bulan. Puncaknya 17 Agustus 1950 Bung Karno mengumumkan pembubaran RIS dan kembali pada NKRI," urai Wakil Sekretaris Dewan Pakar Pengurus Pusat Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa (PA GMNI) ini.

Masuk periode 1950-1957 merupakan masa keemasan civil demokrasi Indonesia, menurut Prof. Ikrar seluruh tokoh negara melakukan praktik demokrasi dengan sangat baik, menjamin dan menghormati hak demokrasi seluruh warga negara.

"Namun, pada periode 1959-1965 terjadi disrupsi pada demokrasi Indonesia saat MPRS memainkan peran antagonis dalam melemahnya civil demokrasi Indonesia dan puncaknya penolakan Pidato Nawaksara Bung Karno," jelasnya.

Di akhir perbincangan, Ikrar mengingatkan agar seorang pemimpin jangan sampai membuka kotak pandora kekuasaan yang mendegradasi peran sipil dan partai politik di Indonesia.

"Perjalanan demokrasi kita memang tidak sempurna, tapi jangan berhenti dan jangan menghentikan proses demokrasi itu sendiri, sehingga kembali membalikkan jarum jam ke era 1949-1959. Kita sepakat pada tujuan 2045 Indonesia masuk lima besar negara dengan kesejahteraan terbaik di dunia. Masa depan Satu Abad Indonesia adalah masa depan emas bagi anak-anak Indonesia, bukan masa depan yang suram," ia menambahkan.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya