Batavia, dari Impor Gadis hingga Kuburan Orang Belanda

Batavia, atau yang kini dikenal sebagai Jakarta, memiliki sejarah perkembangan kota yang panjang.

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 10 Mar 2016, 13:00 WIB
Diterbitkan 10 Mar 2016, 13:00 WIB
Nyai Betawi
Foto: Ketoprak Betawi, penerbit PT Intisari Mediatama

Liputan6.com, Jakarta Dalam membaca sejarah pembentukan Kota Jakarta, tentu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemerintahan kolonial di masa lampau. Susan Blackburn dalam Jakarta 400 Tahun (2011) mengatakan Belanda selalu menganggap Batavia adalah kreasi bangsa Eropa yang didirikan di lahan kosong dengan bahan yang benar-benar baru. Padahal, Kota Jakarta pada mulanya adalah sebuah pelabuhan yang ramai di tepi laut bernama Sunda Kelapa yang ada di bawah penguasaan Kerajaan Hindu Pajajaran. Sumber-sumber sejarah menyebutkan kota ini sudah berdiri sejak abad ke-12. Di kemudian hari, yakni pada awal abad ke-17, Belanda datang merebutnya dan lantas mengubah nama kota ini menjadi Batavia—dari nama leluhur orang-orang Belanda.

Ditaklukkannya Sunda Kelapa oleh perusahaan dagang Hindia Belanda, VOC, berkaitan dengan motif ekonomi. Salah satunya adalah ketertarikan komersial bangsa Eropa terhadap rempah-rempah yang merupakan produk jarak jauh paling menguntungkan yang dapat disediakan wilayah tersebut bagi Eropa. Lada, cengkih, dan pala menjadi komoditas yang paling diburu orang Eropa di Nusantara. Sunda Kelapa pun menjadi salah satu pelabuhan penghubung ke jalur perdagangan dunia.

Orang yang dianggap paling berperan dalam pembentukan Kota Batavia adalah Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC 1618- 1623 dan 1627-1629). Orang Betawi menyebutnya Mur Jangkung. JP Coen-lah yang meletakkan dasar bagi pembangunan tata kota dan masyarakat di Batavia. Ia membangun Batavia sebagai kota benteng yang di dalamnya orang Jawa tidak diizinkan tinggal. Dinding kota dibuat kuat dan besar untuk menghadapi gangguan perampok dari Banten. Coen beranggapan berkumpulnya orang Jawa di dalam benteng bisa menimbulkan kemungkinan mereka kasak-kusuk merencanakan pemberontakan. Karena itulah, ia mengumpulkan orang-orang dari berbagai daerah untuk memenuhi kebutuhan kota.

JP Coen membayangkan Batavia menjadi kota yang ideal dan bermartabat. Dalam visi Coen, Batavia tidak dirancang untuk menjadi sebuah ibu kota dari pemerintahan kolonial yang besar. Perusahaan dagang Hindia Belanda hanya menginginkan kota ini menjadi pelabuhan tempat kapal-kapal dapat diperbaiki, tempat segala barang komoditas yang menguntungkan dikumpulkan, serta markas besar administratif untuk segala kegiatan VOC di wilayah ini. Berkat bimbingan Coen, pada abad ke-17 Batavia berkembang pesat menjadi sebuah kota dengan jaringan perdagangan Belanda di Asia yang kokoh. Batavia kemudian menjadi kota VOC dan bukan kota Jawa.

Di mana batas kota benteng Batavia? JJ Rizal menyebutkan kota lama Batavia terbentang dari Pasar Ikan hingga wilayah yang dikenal sebagai kota tua, dengan ikonnya Museum Sejarah Jakarta, dulu Balai Kota alias pusat pemerintahan Belanda di Jakarta. “Segitu doang,” ucap JJ Rizal beberapa waktu lalu.

Impor Gadis

Impor Gadis
Meski demikian, ada satu hal yang menggelisahkan JP Coen. Di Batavia terlampau banyak kaum laki-laki. Komunitas Eropa di sana kekurangan gadis. Padahal, dalam suratnya kepada Heeren XVII, ia menulis, “Siapa pun tahu bahwa laki-laki tidak dapat hidup tanpa perempuan. Namun, sepertinya Tuan-tuan mengharapkan sebuah koloni yang dibangun tanpa perempuan. “ Coen merasa putus asa lantaran terlalu sedikit bangsa Eropa yang berminat datang ke Batavia, sementara kaum Eropa yang sudah ada di sana kebanyakan adalah “sampah masyarakat.” Lalu, muncullah ide untuk membeli gadis.

Namun, benarkah Belanda mengimpor gadis ke Batavia?

Bondan Kanumayoso, doktor sejarah dari Universitas Indonesia, menyatakan pada Sabtu, 4 Maret 2016, JP Coen memang bercita-cita menjadikan kota sebagai koloni yang berisikan Belanda totok. Maka, ia meminta agar pemerintah pusat di Belanda mengirimkan gadis-gadis agar orang-orang Belanda di Batavia terjaga kemurnian darahnya. Namun sayang yang dikirim justru perempuan-perempuan nakal dari tempat pelacuran.

“Akibatnya perempuan-perempuan ini justru bertingkah dan membuat masalah. Padahal, Coen mengharapkan terbentuknya masyarakat yang taat dengan kesadaran sosial yang tinggi,” ucap Bondan Kanumayoso.

Program ini pun akhirnya dihentikan. “Barangkali hanya satu atau dua kali kirim,” ucap Bondan lagi.

Tak ada catatan tertulis mengenai nasib para perempuan yang lebih dulu dikirimkan. Padahal diketahui pada 1609 pernah dikirimkan 36 wanita Belanda dalam kapal-kapal yang menempuh pelayaran selama lebih dari 10 bulan. Dan pada 1921 beberapa gadis muda juga dikirim dan meneken kontrak untuk tinggal lima tahun di Hindia Belanda. Bahkan jika mereka mendapat jodoh di Batavia, mereka akan diberi “emas kawin” oleh VOC. Sementara para istri yang menemani para suami mereka bertugas terikat kontrak tinggal selama 15 tahun.

Kurangnya perempuan Eropa totok di Batavia kemudian membuat terjadinya praktik pergundikan antara pria Eropa dengan perempuan Asia. Dari mana para perempuan itu dikirim? Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia (2009) menyebutkan para gadis itu dibeli dari India, Birma (Myanmar), dan Indonesia Timur.

Salah satu alasan kurangnya minat orang Eropa ke Batavia adalah monopoli VOC terhadap kegiatan perdagangan di Batavia. Hampir setiap aktivitas ekonomi yang menguntungkan dilakukan oleh petugas VOC. Lantas, apa yang dapat mereka lakukan di sana? Bahkan para tukang-tukang Eropa yang terlatih pun kalah bersaing dengan tukang-tukang Asia yang bersemangat, bekerja lebih keras, dan mau dibayar lebih murah. Ditambah ketika lahan di sekeliling dibuka untuk pertanian, kondisi iklim tropis Batavia bukanlah sesuatu yang biasa dihadapi para petani Belanda.

Selain itu, perempuan Belanda totok yang terhormat tentu merasa keberatan pergi jauh ke Batavia. Perjalanan masa itu dari Belanda ke Batavia memakan waktu hingga berbulan-bulan dan sangat berbahaya. Risiko kehilangan nyawa sangat besar. Kebanyakan yang datang, selain pelacur, adalah perempuan miskin atau yatim piatu yang mencari keberuntungan dan kekayaan di Batavia. Mereka mengincar harta di tanah koloni untuk kemudian dipamerkan ketika kembali ke kampung halaman.

Batavia, Queen from The East?

Batavia, Queen from The East?

Molenvliet Oost and West, yang kini berada di Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada.

Batavia pada awalnya adalah kota yang berisikan orang-orang yang dibawa demi tujuan VOC. Kaum Eropa untuk pemerintahan, bangsa Asia termasuk Jepang dan Filipina dijadikan tentara bayaran demi menjaga garnisun kota, dan orang-orang Cina menjadi penghubung perdagangan. Berbagai tenaga kerja budak dikumpulkan dari wilayah di seluruh Nusantara karena mereka terlalu curiga terhadap orang Jawa. Ini adalah kota yang didesain dan dijalankan demi kepentingan VOC sendiri.

Bukan hanya sekadar nostalgia jika akhirnya Batavia dibangun seperti kampung halaman para pembesar VOC. Kanal-kanal indah membelah kota. Rumah-rumah besar bertingkat milik orang kaya didirikan di depan kanal-kanal yang terbaik dengan jalan-jalan yang sempit dan terusan yang dibangun menurut pola-pola kota Belanda. Pada masa kejayaannya, bahkan perahu perdagangan bisa berlayar melintasi kanal-kanal buatan itu. Sungguh jelas bahwa Batavia menjelma menjadi kota cantik yang sangat berciri Eropa, sampai-sampai kota ini dijuluki Queen from the East (Ratu dari Timur).

Nama-nama jalan di sana juga mengingatkan kita bahwa daerah itu pernah dikelilingi tembok. Jalan Pintu Besar umpamanya dulu bernama Nieuwpoorstraat. Namun, sungguhkah perencanaan Coen terhadap kota ini berjalan baik?

Bondan Kanumayoso menjawab iya. “Saya kira itu berhasil, paling tidak menurut ukuran VOC. Sampai kira-kira ada pabrik gula di luar kota benteng pada abad ke-18. Pabrik itu dijalankan oleh orang-orang Cina dan limbahnya dibuang ke sungai,” ucapnya.

Limbah yang dibuang ke sungai tentu pada akhirnya mengalir ke laut, melewati kanal-kanal yang begitu dibanggakan JP Coen. Terusan yang membawa limbah juga mengendapkan lumpur, sehingga air menjadi mandek, berbau busuk, dan menjadi sarang malaria yang ganas. Kanal-kanal ini akhirnya membawa malapetaka. Penyakit malaria berjangkit, terutama di kalangan pegawai muda VOC yang belum lama tinggal di Batavia. Berdasarkan catatan sejumlah sejarawan, saat itu tak seorang pun merasa heran bila mendengar teman dengan siapa ia semalam makam bersama akan dikubur keesokan harinya. Begitu banyak orang Belanda tewas akibat penyakit sehingga, mengutip kata Valentijn, Batavia kemudian menjadi kuburan bagi orang-orang Belanda (Graf der Hollanders).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya