Liputan6.com, Jakarta Ukuran kesuksesan yang konvensional bahwa sukses adalah ketika seseorang bisa membeli mobil dan rumah tampaknya sudah usang. Belakangan ini semakin marak anak-anak muda dari seluruh dunia yang enggan untuk membeli keduanya.
Penelitian menunjukkan, para generasi milenial, yang notabene sekarang berusia 30-35 tahun tapi masih belum punya rumah dan mobil, bukan berarti mereka tak mampu. Mereka hanya tidak mau lagi membeli barang yang mahal. Di Amerika Serikat, generasi di bawah 35 tahun kini disebut juga sebagai ‘generasi penyewa’. Menurut sosiolog, penyebabnya, mereka adalah generasi yang mengalami langsung krisis finansial. Itulah kenapa mereka takut untuk mengambil pinjaman jangka panjang. Tapi, bukan itu sebetulnya alasan utamanya. Menurut artikel yang dilansir dari Brightside.me pada Rabu (12/10/2016), berikut adalah beberapa alasan generasi milenial enggan membeli rumah dan mobil.
Advertisement
Generasi ini berbeda dengan orang tuanya dan punya nilai sendiri
Anak muda sekarang menganggap, orang sukses sekarang tak butuh properti, toh bisa menyewa. Pandangan tentang sukses mengalami pergeseran. Orang disebut sukses jika: dia banyak traveling, melakukan olahraga ekstrem, atau menjadi pendiri start up company. Orang tak lagi menginginkan kemakmuran dan kemapanan, yang mereka inginkan adalah waktu yang fleksibel dan kebebasan menentukan kota tempat tinggal.
Advertisement
Benda kepemilikan tak lagi penting, yang penting fungsinya
Kenapa harus naik mobil sendiri kalau bisa naik taksi, atau sekarang gampangnya tinggal buka aplikasi semacam Uber, supir datang menjemput ke rumah. Kita pun tak perlu membayar mahal untuk fasilitas ini. Kenapa harus punya rumah bagus, kalau kita bisa memilih untuk tinggal di rumah manapun yang kita suka, di kota manapun. Lagipula, kalau membeli rumah sendiri, kita tidak tahu sampai berapa lama kita akan tinggal di situ.
Mengambil kredit KPR, dengan jangka waktu 10-15 tahun terlalu lama
Rasanya seperti berutang seumur hidup. Pilihannya, ya menyewa saja. Bukan tidak mungkin nantinya kita akan pindah pekerjaan dalam beberapa tahun ke depan. Dan, kalau pindah kerja, itu artinya rumah juga ikut pindah ke dekat kantor. Menurut majalah Forbes, kaum muda berganti pekerjaan rata-rata tiga tahun sekali. Konsep untuk memiliki rumah tinggal dengan membeli rasanya tidak lagi relevan.
Pengalaman lebih membahagiakan
James Hamblin, kolumnis The Atlantic menjelaskan fenomena ini, “Selama satu dekade terakhir, psikolog sering menyampaikan riset tentang kebahagiaan. Menghabiskan uang untuk pengalaman baru lebih bisa memberikan kesenangan, daripada membeli barang baru.”
Pengalaman bisa membuat kita punya teman baru
Tingkat interaksi sosial dengan orang lain bisa menentukan kebahagiaan seseorang. Bisa ngobrol, hang out, dan mengunjungi teman bisa membuat kita bahagia. Punya banyak teman adalah hal yang menyenangkan. Bukankah orang lain akan lebih kagum jika anda bercerita, pernah tinggal di kota atau negara mana-mana, dibandingkan dengan berapa rumah yang sudah anda beli? Bahkan pengalaman yang menyeramkan bisa menjadi bahan obrolan yang menarik dengan orang lain. Bukan materi.
Membeli barang hanya membuat kita cemas
Benda yang kita beli apalagi kalau harganya sangat mahal seringkali membuat kita khawatir. Mobil misalnya, takut kalau sampai tergores, dicuri, atau rusak. Kalau punya rumah dengan banyak barang berharga, takut akan kerampokan. Tapi jika uang dihabiskan untuk mencari pengalaman, pengalaman itu tak bisa dirusak maupun dicuri.
Setiap barang yang dibeli nilainya akan turun
Harga mobil, jika sudah dibeli, pasti akan mengalami depresiasi. Begitu juga, bagi orang yang suka gonta ganti gadget, harganya pasti turun dari harga beli. Properti pun kalau dalam masa krisis, bisa saja harganya turun, ataupun sulit terjual.