Liputan6.com, Jakarta Mungkin Anda pernah mendengar sebelumnya, bahwa sup sirip hiu merupakan salah satu makanan yang menuai banyak kontroversi. Selain karena berkontribusi terhadap punahnya ikan hiu, ternyata hiu juga merupakan hewan yang mengandung banyak merkuri atau racun.
Baca Juga
Advertisement
Menjadi predator laut di tingkat tertinggi bukan berarti tidak memiliki kekurangan, ikan hiu sebenarnya bukan hewan yang layak untuk dikonsumsi, karena kandungan racun yang tinggi di dalam tubuhnya. Sebagai akhir dari rantai makanan, tentu ikan hiu-lah yang menyerap semua racun di dalam tubuh hewan lain yang dimakannya.
Lantas, bagaimana dengan keharusan adanya menu makanan shark fin soup atau sup sirip hiu saat Imlek? Masyarakat dalam kebudayaan Tionghoa memiliki kepercayaan bahwa dengan menyajikan sup sirip hiu adalah simbol dari kemampuan finansial atau kemakmuran, jika ditarik dari sejarah Dinasti Zhou, Song, sampai Ming, makanan ini hanya dapat disajikan oleh dapur istana.
"Sup sirip hiu itu bukan sebuah keharusan, yang mengharuskan itu keinginan untuk show off," papar Aji Bromokusumo, pakar kuliner dan budaya dari Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia saat ditemui oleh tim Liputan6.com pada acara Diskusi Terbuka Menghilangkan Hiu dari Menu, Rabu (25/1/2017).
Tingginya permintaan sup ikan hiu saat perayaan Imlek membuat hewan ini terus menerus diburu. Menurut data yang dikeluarkan oleh WWF Indonesia, setiap tahunnya, ada sekitar 100 juta hiu yang mati diambil siripnya.
"Lama kelamaan, bukan manusia takut hiu, tapi hiu takut pada manusia. Bayangkan saja, diburu untuk diambil sirip-siripnya, kemudian dibuang kembali ke laut. Manusia itu memang keji," tegas Aji.
Ya, proses produksi sirip hiulah yang menyebabkan makanan ini begitu kontroversial. Puluhan hingga ribuan hiu di laut diburu, diambil siripnya, kemudian dalam keadaan hidup, dilempar kembali ke laut. Hiu yang sudah tidak memiliki sirip, otomatis tidak bisa berenang dan bernapas, akan mati di dasar laut.
Dalam daftar 20 negara dengan konsumsi ikan hiu tertinggi di dunia, Indonesia telah masuk menjadi salah satunya. Maka dari itu, acara diskusi terbuka "Menghilangkan Hiu dari Menu" kali ini tidak hanya berkampanye #ImlekBebasHiu, namun juga menghadirkan Adrian Ishak, Chef Molecular Gastronomy di Indonesia yang bisa memberikan alternatif makanan, selain sup sirip hiu.
Apa itu molecular gastronomy? Molecular gastronomy adalah cabang ilmu yang mempelajari transformasi fisiokimiawi dari bahan pangan selama prosus memasak dan fenomena sensori saat dikonsumsi.
"Saat makan, indra manusia yang bekerja tidak hanya mulut, jadi makanan itu bukan hanya tentang rasa. Ada tekstur dan tekstur sirip hiu itu adalah kolagen," papar Adrian ketika ditemui oleh tim Liputan6.com di Soehana Hall, The Energy Building.
Menurut Adrian, tidak ada sesuatu yang sangat istimewa dari sirip hiu, yang membuatnya lezat adalah kaldu kuah supnya.
"Sirip ikan hiu sebenarnya tidak ada rasanya, yang enak adalah kaldu, dan kaldu itu tergantung dari chef yang memasak," jelas Adrian.
Selama beberapa waktu yang lalu, Adrian sempat bereksperimen untuk membuat sebuah makanan yang bisa menggantikan sup sirip hiu, tanpa sirip ikan hiu yang sesungguhnya.
"Akhirnya berhasil, saya bisa membuat bentuk yang sama persis seperti sirip hiu dengan tekstur yang sama, dan supnya tidak di luar, supnya justru di dalam sirip, itulah nikmatnya. Tanpa sirip ikan hiu sama sekali dan sepertinya, menu ini baru ada di restoran saya," papar pemilik restoran Namaaz Dining, restoran yang menyajikan menu makanan molecular gastronomy pertama di Indonesia.