Liputan6.com, Jakarta Sekali dalam setahun, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyelenggarakan salah satu acara penting bernama Pidato Kebudayaan.
Dimulai sejak tahun 1989, tradisi yang senatiasa dirawat ini selalu menghadirkan tokoh-tokoh penting untuk menyampaikan “suara jernih” mereka, menjawab tantangan yang tengahmelanda Indonesia dengan pemikiran-pemikiran dari perspektif kebudayaan.
“Suara jernih merepresentasikan pemikiran-pemikiran otonom yang terbebas dari model budaya komando yang represif mengecilkan perbedaan,” kata Iwan Karseno selaku Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta dalam pengantarnya.
Advertisement
Jika pada tahun 2016 lalu yang menyajikan pidato sebanyak dua tokoh, maka pada tahun ini, DKJ menerapkan kembali sistemasi penyaji pidato tunggal. Pihak DKJ pada kali ini mengundang Roby Muhamad sebagai penyaji pidato. Seperti diketahui, Roby Muhamad merupakan petualang lintas disiplin ilmu akademis, ilmuwan, dan juga pengusaha.
Dibuka dengan cerita tentang tokoh bernama Ateis dan Taat, Roby Muhamad menyampaikan gagasan-gagasan pidatonya yang diberi judul Nostalgia Masa Depan Manusia. Dalam pembuka tersebut, Roby menyampaikan bagaimana gambaran atau ilustrasi realitas manusia masa kini.
“Kita hidup dalam kantong-kantong arogansi. Saking sulitnya keluar dari kantong-kantong itu, orang lebih suka mengajak bahkan memaksa orang lain masuk ke dalam kantongnya sendiri.” kata Roby, “Orang enggan keluar berkelana, apalagi membangun penghubung antar-kantong. Alih-alih didukung, mereka yang berusaha membangun jembatan lebih sering dicurigai oleh kedua belah pihak.”
Sarjana Fisika Teori dari ITB tersebut kemudian menjelaskan, lewat pengalamannya di bidang akademis selama 35 tahun terakhir, bagaimana kenyataan yang tengah dialami sekarang ini adalah persoalan kompetisi. Selain itu, ditambahkan olehnya bahwa pada tataran alasan kolektif, peradaban manusia berada dalam situasi “Lampu Kuning”, di mana ia menjelaskan bahwa kuning merupakan situasi transisi.
Kompetisi, Ambiguitas, dan Kreativitas
Terkait kompetisi dalam kehidupan, Roby mengatakan bahwa fenomena tersebut membuat manusia mulai mencari keunggulan individu. Sebuah keunggulan yang tidak dimiliki orang lain, tetapi dibutuhkan atau diinginkan orang lain. “Jawaban dari fenomena ini adalah spesalisasi,” kata Roby.
Kondisi seperti sekarang ini, menurut Robby, mirip dengan yang terjadi di Florence, Italia pada abad ke-15. Pada masa itu, bibit Gerakan Pencerahan Eropa mulai disemai. Begitu banyak keluarga kecil yang berkompetisi di Florence, tapi hanya ada satu keluarga yang memenangkan persaingan, yakni keluarga Medici.
Namun, kata Robby, Cosimo Medici digambarkan sebagai keluarga yang pasif dan lebih senang berada di balik layar. “Medici memenangkan persaingan bukan karena jadi keluarga paling kuat, paling kaya, dan paling berkuasa, tapi karena posisi strukturalnya dalam jejaring sosial yang ada pada saat itu. Medici menjalin berbagai relasi yang membentuk jejaring besar yang berpusat pada keluarganya.”
Dilanjutkan oleh Roby, bahwa Medici membentuk jejaringnya secara perlahan, tekun dan sulit ditebak. Medici membangun relasi berlapis-lapis dan jejaring rumit yang tak seorang pun, termasuk Medici, mengetahui pasti arena dan konstelasi sebenarnya.
“Ambiguitas, ketidaktahuan dan ketidakpastian ini tidak menjadi penghalang, tapi justru menjadi sumber kekuatan Medici, karena segala manuvernya menjadi tersamar,” jelas Roby.
Dari cerita itu, Roby mengatakan bahwa Indonesia bisa belajar dari keluarga Medici dalam memperkokoh kebudayaan. Itu karena, menurut Roby, strategi budaya yang kokoh untuk jangka panjang mungkin bukan berasal dari strategi yang terencana matang, menyeluruh dan rasional, melainkan dari strategi ambigu yang mampu mengelola ketidakpastian dan keberagaman.
Terkait dengan ambiguitas dan ketidakpastian, Roby optismistis bahwa hal tersebut dapat dijadikan sumber kreativitas. Selain itu, menurutnya, ambiguitas juga merupakan sumber keberagaman. Dengan dua hal itulah, manusia Indonesia bisa menciptakan kemungkinan-kemungkinan dan peluang-peluang baru.
“Kekuatan Indonesia adalah kelihaiannya mengelola ambiguitas,” kata Roby. “Dengan kekuatan ambiguitas ini, Indonesia dapat menjadi salah satu sumber kreativitas dan keberagaman dunia.”
Advertisement