Liputan6.com, Jakarta - Penataan dan pembangunan sarana dan prasarana (sarpras) di Loh Buaya, Pulau Rinca di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menuai polemik. Balai Taman Nasional Komodo menutup sementara Resort Loh Buaya dari kunjungan wisatawan mulai 26 Oktober hingga 30 Juni 2021.
Hal itu semakin ramai dibahas sejak viralnya foto komodo mengadang sebuah truk, beberapa hari lalu yang kini disebut warganet dengan nama proyek "Jurassic Park". Menjawab foto tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengaskan, bahwa apa yang terjadi tidaklah demikian.
"Nama Jurassic Park itu saya tidak tahu dari mana. Jadi ini sebetulnya pengganti sarana dan prasarana yang terpencar digabung jadi satu sistem terpadu," terang Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno dalam konferensi pers virtual, Rabu, 28 Oktober 2020.
Advertisement
Baca Juga
Menurut Wiratno, pihak KLHK memastikan protokol ketat pembangunan sarana dan prasarana TN Komodo di NTT dijalankan dengan baik. Ia menyebut setiap hari ada 10 ranger yang bertugas memastikan tidak ada komodo yang masuk ke wilayah proyek pembangunan sarana dan prasarana taman nasional di Loh Buaya yang sedang dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) itu.
Sedangkan penggunaan alat berat di habitat komodo, tidak bisa dihindari karena ada sejumlah material yang tidak bisa diangkut oleh tenaga manusia. Namun, dia mengklaim penggunaan alat berat mengedepankan prinsip kehati-hatian.
Wiratno menambahkan, sarana dan prasarana yang dibangun oleh pemerintah, antara lain dermaga, pengaman pantai, elevated deck, pusat informasi, serta pondok untuk ranger atau pawang komodo, peneliti, dan pemandu. Semua sarana dan prasarana itu diklaim berada pada lokasi yang lama.
Adapun izin lingkungan, dia berkata keluar pada 4 September 2020. Selain itu dia juga menyebut izin lingkungan itu telah memperhatikan dampak pembangunan terhadap habitat dan perilaku komodo. "Izin tersebut disusun sesuai dengan Permen LHK Nomor 16 Tahun 2020 tentang pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup," ucap Wiratno.
"Tapi tentu dengan saya hadir di lapangan, juga untuk memastikan protokol yang lebih ketat tentang pembangunan di daerah yang sensitif ini," sambung Wiratno yang pada Jumat (30/10/2020) akan menuju Labuan Bajo dan selanjutnya ke Taman Nasional Komodo untuk mengecek langsung pembangunan sarana dan prasarana di sana.
Menurut Wiratno, komodo sebenarnya juga ada di sana saat dulu sarana dan prasarana yang lama pertama kali dibangun. Komodo tidak diusir, hanya digiring ke tempat yang lebih aman. Meski pihak pemerintah termasuk KLHK memastikan pembangunan dan penataan di Pulau Rinca sudah memenuhi semua persyaratan, hal itu justru dibantah oleh pihak Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia). Apa alasannya?Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Memastikan Keselamatan dan Kelestarian Komodo
Menurut Umbu Wulang selaku Direktur Walhi NTT, pemerintah harus memprioritaskan terlebih dahulu urusan sains dan konservasi ekosistem komodo.
"Contohnya, berdasarkan data kami, mereka minim ahli komodo. Misalnya ahli genetika, etologi, paleontologi, ekosistem dan lain-lain. Bahkan, hanya tiga sampai empat saja ahli komodo di Indonesia (berdasarkan penjelasan Dirjen BKSDA). Dari ahli yang ada, tidak ada orang asli NTT," jelasnya dalam pesan elektronik pada Liputan6.com, Rabu, 28 Oktober 2020.
"Padahal habitat komodo sudah lama dikelola negara dari status suaka margasatwa pada 1965 lalu menjadi taman nasional di 1980. Pertanyaannya, kenapa bukan urusan sains yang diurus serius terlebih dahulu. Logikanya bagaimana mungkin kita mengatakan serius mengurus konservasi (di tengah masuk urusan wisata), kita kekurangan ahli dan laboratorium risetnya," tambahnya.
Menurut Umbu, kekhawatiran publik harusnya dapat dimengerti mengingat spesies komodo adalah kemewahan peradaban lampau yang masih tersisa di muka bumi. Dan kita bersyukur karena kemewahan peradaban ini hanya ada di Indonesia (khususnya di NTT).
Jadi prioritas utama adalah memastikan keselamatan dan kelestariannya. Umbu menambahkan, umumnya publik bisa mempercayai kalau urusan sains atau keterangan ilmiah yang disampaikan para ahli komodo yang lebih dahulu sampai ke ruang ruang publik. Tapi justru yang mengemuka di publik didominasi oleh narasi ekonomi semata.
"Izin lingkungan yang dikeluarkan KLHK tidak melibatkan partisipasi publik dan stakeholder pemerhati lingkungan di NTT yang sejak tahun lalu sudah menolak praktik pembangunan pariwisata skala besar di habitat asli komodo," tutur Umbu.
"Sarana prasarana seharusnya tidak merusak habitat asli komodo, fakta yang ada terjadi pembangunan di habitat asli komodo. Jadi, Walhi NTT, menolak pembangunan infrastruktur skala besar dan rakus lahan di kawasan habitat komodo," sambung Umbu Wulang.
Advertisement