Liputan6.com, Jakarta - Sebuah buku baru berjudul Modelling a Healthy Creative Scene diluncurkan di Yogyakarta, pada Sabtu siang, 21 November 2020. Buku tersebut dipersembahkan untuk kalangan pelaku industri kreatif yang tergabung dalam Global Centre of Excellence and International For Creative Economy (G-CINC), termasuk dari Indonesia.
Buku setebal 150 halaman tersebut disusun oleh tim dari Institut Teknologi Bandung dan disponsori oleh Kemenparekraf/Baparekraf. Seluruh rangkaian proses pembuatan buku, mulai dari penentuan metodologi, pengumpulan data, hingga penyusunan, dituntaskan dalam dua bulan. Target utama pembaca buku itu adalah para pelaku industri kreatif yang ingin membuat ekosistem kreatif yang berkelanjutan dan para pemangku kepentingan terkait.
Advertisement
Baca Juga
Salah satu periset dan penulis, Dina Dellyana menyebut timnya menyajikan sederet studi kasus untuk dianalisis mengenai pengelolaan komunitas kreatif yang sehat. Ada 39 komunitas kreatif dari lima kota, yakni Jakarta, Bandung, Malang, Yogyakarta, dan Bali yang dijelaskan dalam buku tersebut. Selain itu, ada pula creative scene dari empat negara lain yang masuk dalam daftar, yakni dari Thailand, Kamboja, Malaysia, dan Vietnam.
"Ini adalah dokumen yang hidup, dengan begitu akan ada banyak revisi, banyak penyempurnaan, dan kami butuh lebih banyak panduan. Kami cinta kritik," kata Dina. Karena itu, buku bisa diunduh secara gratis oleh publik lewat laman gcinc.id.
Sementara, Sonny Rustiadi yang bertindak sebagai salah satu tim penulis dan editor buku tersebut mengatakan, komunitas kreatif sangat penting bagi para pelaku industri kreatif karena bisa jadi pendorong kesuksesan para anggota yang terlibat. Faktor ekonomi bukanlah penentu lahirnya komunitas, melainkan lebih kepada keinginan untuk berbagi pengetahuan dan keterampilan.
Di dalam buku itu, tim periset menyebut komunitas yang sehat setidaknya memiliki sembilan variabel. Di antaranya keterbukaan terhadap keterampilan baru dan kolaborasi, mampu menumbuhkan pola pikir para anggota, memiliki platform atau ruang komunikasi, dan hubungan yang erat dengan komunitas lain.
"Tidak mesti seluruhnya ada, karena bisa jadi komunitas memiliki kelebihan di sini, tetapi kekurangan di bagian lain," kata Sonny.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Tanggapan Para Pelaku Kreatif
Sejumlah pelaku industri kreatif kemudian menanggapi buku baru tersebut. Maria Tri Sulistyani yang dikenal sebagai Ria Papermoon mempertanyakan proses kurasi komunitas yang dijadikan sebagai studi kasus. Ia menilai beberapa di antaranya bahkan sudah tidak aktif sehingga semestinya tak masuk di dalamnya.
"Kesannya yang ada di luar daftar itu adalah creative scene yang tidak sehat," ujarnya.
Penanggap lainnya juga berpendapat pemodelan komunitas kreatif tidak sepenuhnya cocok bagi semua pelaku industri kreatif. Ia menyebutkan ada tipikal seniman yang terbiasa menciptakan karya, tapi hanya untuk kepuasan pribadinya semata. Sementara, untuk kehidupan sehari-hari, ia mengandalkan usaha lain.
Ada pula yang menyarankan agar tim penyusun bekerja sama dengan pihak yang sudah lebih dulu mengarsip data komunitas kreatif, seperti komunitas Kelola. Tujuannya adalah untuk menghemat waktu sekaligus membantu mengkurasi komunitas kreatif yang layak dimasukkan ke dalam basis data.
Merespons hal itu, Dina mengaku terbuka dengan segala masukan. Ia pun mendorong agar komunitas mendaftarkan diri di situs G-CINC agar bisa melengkapi data yang ada. "Siapapun bisa mendaftarkan diri asal memang komunitasnya eksis. Atau, kalau ada yang mau merekomendasikan komunitas yang dinilai layak, itu bisa juga," imbuh Sonny.
Advertisement