Liputan6.com, Jakarta - 21 Februari 2005, hujan deras memicu gunungan sampah setinggi 60 meter di TPA Leuwi Gajah longsor. Bencana itu menghantam permukiman dekat TPA yang berlokasi di Cimahi, Jawa Barat tersebut. Akibatnya, 157 warga tewas dan dua kampung, yakni Kampung Cilimus dan Kampung Pojok, tertimbun longsor sampah. Setahun kemudian, insiden itu diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).
Lima belas tahun berlalu, HPSN kembali dirayakan melalui berbagai seremoni. Khusus tahun ini, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengangkat tema "Sampah Bahan Baku Ekonomi di Masa Pandemi." Inspirasinya dari arah positif pertumbuhan sektor industri pengolahan sampah di tengah ekonomi yang sedang resesi akibat pandemi Covid-19.
Advertisement
Baca Juga
Namun, apakah pengelolaan sampah di Indonesia sudah membaik sejak tragedi memilukan di TPA Leuwi Gajah? Kepala Sub Direktorat Barang dan Kemasan, Direktorat Pengelolaan Sampah KLHK, Ujang Solihin Sidik, mengakui pengelolaan sampah di Indonesia belum optimal.Â
"Dari 514 kabupaten/kota, kapasitas pengelolaan sampah rata-rata di bawah 50 persen, kecuali di kota-kota besar, sudah 70--80 persen. Meski, polanya belum berubah, masih pola lama," kata Uso, biasa ia dipanggil, dalam jumpa pers virtual Unilever Indonesia Kembali Mengajak Masyarakat Untuk Mewujudkan Ekonomi Sirkular dalam Peringatan Hari Sampah Nasional 2021, Kamis, 18 Februari 2021.
Pola lama yang dimaksud adalah kumpul-angkut-buang, alias pola linear. Itu membuktikan pola pikir pengelolaan sampah di Indonesia ketinggalan zaman. Pola terkini semestinya mengadopsi konsep ekonomi sirkular, yakni memanfaatkan nilai ekonomi sampah secara maksimal dengan menerapkan 3R.
"Sirkular itu kunci pengelolaan sampah berkelanjutan. Kalau tidak bergerak, masalah sampah akan terus menumpuk. Janganlah kita wariskan sampah untuk anak cucu kita," ucap Uso.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Semua Bertanggung Jawab
Meski diakui belum berubah, Uso menyebut sudah ada pergerakan dalam adopsi pola sirkular, terutama lima tahun terakhir. Sejumlah masyarakat dan produsen mulai menunjukkan aksinya. Tapi, keterlibatan secara kolektif harus lebih digencarkan, mulai dari pemerintah hingga akademisi.Â
Uso menilai sudah mendesak pemaksimalan sistem formal dalam pengelolaan sampah, seperti lewat bank sampah. Tapi, dalam situasi industri pengelolaan sampah masih didominasi bisnis informal, posisi pemulung dan pelapak jadi sangat vital. Namun, peran tersebut hingga kini masih dipandang sebelah mata.
"Pemulung beri kontribusi besar untuk industri daur ulang. 80 persen, tapi kontribusi mereka kurang dikenal. Pekerjaan pemulung dipandang sebelah mata, banyak yang jadi warga kelas dua," kata Alin Halimatussadiah, Ketua Kajian Ekonomi Lingkungan dari LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
Dengan keberadaan para pemulung saja nyatanya belum mampu meningkatkan tingkat pengumpulan sampah di Indonesia. Alin merujuk data statistik yang menyebutkan collection rate sampah di Indonesia kurang dari 40 persen, di bawah negara-negara Asia Tengah dan Pasifik yang rata-rata sudah 70 persen.
"60 persen yang tak terkumpul akhirnya berceceran di mana-mana, termasuk ke laut," sahutnya.
Masalah kedua terkait pengelolaan sampah di Indonesia adalah tingkat daur ulang yang masih rendah. Data KLHK menyebut 11 persen, walau studi West Atlas menyebut 6,5 persen saja. Bandingkan dengan angka daur ulang Korea Selatan yang mencapai 50 persen dari total sampah yang dihasilkan, atau Kolombia yang sudah 20 persen.
"Kita belum terbiasa untuk memilah. Kalaupun memilah, stres juga, karena ujung-ujungnya dicampur lagi sampahnya," ucap Alin.
Advertisement
Apa Solusinya?
Alin mendorong agar ke depannya pemilahan secara bertahap bukan lagi dijadikan tindakan sukarela, tapi sebuah kewajiban dengan penegakan hukum yang tegas bagi setiap orang. Menuju tahap itu, pola pikir warga harus berubah. Mereka tak boleh lagi menganggap tindakan mereka harus dibayar dengan insentif.
"Rumah tangga ini maunya dibayar, padahal dari segi ekonomi, pemilahan ini seperti buang external negative. Tapi, banyak rumah tangga lihat sampah jadi beban, bukan semata uang, tapi lebih ke tenaga dan waktu," ujarnya.
Dari segi akademis, ia mendorong lebih banyak peneliti muda yang mau meriset tentang ekonomi sirkular pengelolaan sampah. Dengan data, akan lebih mudah merancang kebijakan yang tepat untuk masyarakat. Di sisi lain, pemerintah dan produsen juga harus lebih berperan dalam menciptakan situasi kondusif bagi pertumbuhan ekonomi sirkular.
Ia juga menyinggung soal peningkatan kelayakan kerja dan insentif ekonomi bagi para pemulung yang sudah berkontribusi. Diharapkan hal tersebut bisa mengubah citra tentang pekerjaan pemulung, bahkan bisa diakui sebagai peran yang menjanjikan di masa depan.
Sementara itu, Head of Corporate Affairs and Sustainability PT Unilever Indonesia, Tbk, Nurdiana Darus, mengatakan perusahaannya akan memberi pelatihan dan edukasi bagi para pemulung, khususnya yang tergabung di Perkumpulan Pemulung Indonesia Mandiri. Ada tiga hal yang akan dilatih, yakni soal perilaku hidup bersih dan sehat, literasi keuangan, dan keterampilan komunikasi.
"PHSBS sangat penting. Agar mereka hadir jadi pebisnis, bukan hanya pemulung, perlu keterampilan mengatur keuangan dan negosiasi," ujar Ade, biasa disapa, sembari menyebut 3.000 orang ditargetkan jadi penerima manfaat.
Sampah Sebelum dan Sesudah Pandemi
Advertisement